Metode Umum Hukum Perdata, Terbitan Ulang Terjemahan Indonesia Bab I Jilid Umum Seri Asser tentang Hukum Perdata Belanda, Ditulis oleh Paul Scholten dan Diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono

Siti Soemarti Hartono
Paul Scholten

DPSP Annual Volume 2 (2021)
ISSN: 2667-2790

Digital Paul Scholten Project
https://paulscholten.eu/

Article Info

Category: edited reissue
Cite as: Hartono, Siti Soemarti, Scholten, Paul. "Metode Umum Hukum Perdata, Terbitan Ulang Terjemahan Indonesia Bab I Jilid Umum Seri Asser tentang Hukum Perdata Belanda, Ditulis oleh Paul Scholten dan Diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono". DPSP Annual, III: Edited Reissues, Volume 2 (2021), 121-254.
5
Kata pengantar untuk publikasi ulang online
Algemeen Deel oleh Paul Scholten diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1986 oleh Siti Soemarti Hartono dan diterbitkan pada tahun 1992 oleh pers Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta, Indonesia).
Beberapa orang tahu tentang terjemahan bahasa Indonesia, tetapi tidak ada yang tahu di mana menemukannya, sampai Marjanne Termorshuizen-Arts menemukannya di arsip Koninklijke Bibliotheek di Den Haag, bersama dengan terjemahan bahasa Indonesia bab ketiga oleh Koerdi Soemintapoera. Digital Paul Scholten Project tidak dapat menjangkau kerabat kedua penerjemah, tetapi memperoleh izin dari penerbit untuk menerbitkan terjemahan Hartono dalam akses terbuka.
Algemeen Deel adalah buku pengantar dalam seri buku pegangan tentang hukum perdata Belanda: Asser-serie. Awalnya itu adalah bagian pengantar dari buku pertama dalam seri, yang berhubungan dengan hukum pribadi dan keluarga. Melalui revisi dan perluasan terus-menerus, bagian ini telah berkembang menjadi buku filosofis independen, yang membahas aspek-aspek umum hukum perdata. Karena sifat umum dari materi yang dibahas, buku ini harus mendahului seri lainnya. Untuk alasan ini, judul Algemeen Deel telah dipilih.
Asser-serie saat ini diterbitkan oleh Wolters Kluwer. Scholten's Algemeen Deel masih merupakan bagian dari seri, tetapi sementara itu tiga buku pengantar baru telah ditambahkan, Algemeen Deel 2, 3 dan 4, yang ditulis oleh J.B.M Vranken.
Algemeen Deel yang lama dihargai secara luas segera setelah publikasi pertamanya pada tahun 1931. Pada tahun-tahun berikutnya, bab pertama dianggap sebagai mahakarya yang unik, sedangkan dua bab lainnya, yang jauh lebih pendek, menjadi usang. Penerbitan ulang hanya mencakup bab pertama buku dan memiliki judul baru yang mengacu pada isi bab itu: Metode Umum Hukum Perdata.
Seperti terjemahan Wielenga dalam bahasa Prancis tahun 1954 dan terjemahan bahasa Inggris baru-baru ini, terjemahan bahasa Indonesia dari Hartono dan Soemintapoera didasarkan pada edisi kedua tahun 1934. Keempat versi tersebut telah diterbitkan bersama sebagai bagian dari Digital Paul Scholten Project. Nomor blok telah ditambahkan ke empat edisi, sehingga terjemahan yang berbeda dapat dibandingkan satu sama lain. Sebuah bibliografi juga termasuk dalam keempatnya. Terjemahan bahasa Inggris memiliki lampiran dengan catatan dari editor dan komentar dari komite terjemahan.- # -Versi Belanda telah sedikit dimodifikasi untuk rilis ulang untuk menghindari sebanyak mungkin referensi hukum yang usang. Terjemahan bahasa Inggris mengikuti versi Belanda dalam hal ini. Penerbitan ulang online terjemahan Prancis dan Indonesia belum diperbarui dengan cara ini. Namun, nomor blok memungkinkan perbandingan dengan versi Belanda asli dan dengan versi yang diedit. Nomor halaman yang diberi tanda merah mengacu pada terjemahan bahasa Indonesia Hartono edisi 1992.
LHC
Amsterdam, 2020.
 
6
Prakata untuk edisi pertama Algemeen Deel
   Tujuan buku ini tidak untuk mengorientasikan seorang yang mulai belajar hukum ke dalam materinya. Bukannya untuk mengantarkan ke dalam studi tujuannya, melainkan untuk mendampinginya di dalam studi. Mahasiswa—juga sarjana hukum yang lebih tua—menurut pendapat saya harus belajar mengikuti metode yang dianut oleh ilmu hukum perdata, harus menjelaskan kepada dirinya sendiri mengapa ia memutus demikian dan tidak lain, apa unsur-unsurnya yang menentukan keputusannya.
   Jelaslah, bahwa penguasaan seperti itu hanya mungkin, jika orang menggeluti sendiri pekerjaannya—tidak sebelumnya, juga tidak sesudahnya Karena itu perkataan “Pengantar” harus hapus dari judulnya dan dipilihlah judul “Bagian Umum”.
   Buku ini dimaksudkan sebagai bagian dari Buku Penuntun karya Asser, akan tetapi tidak membicarakan bagian khusus dari hukum perdata, melainkan membicarakan hal yang umum pada semua bagian hukum badan pribadi, hukum benda, hukum perikatan, hukum waris: metodenya. Dengan istilah bagian umum hendaknya orang jangan teringat kepada bagian umum dari Kitab undang-undang Jerman, yang mengangkat beberapa pengertian umum seperti pernyataan kehendak, badan hukum dan sebagainya dari materinya dan memberikan peraturan-peraturan untuk hal-hal itu. Bukannya abstraksi semacam itu yang saya bayangkan, melainkan pertanyaan apakah dan sejauh manakah abstraksi diizinkan dan diperintahkan.
   Akhirnya, saya kira, hanya dengan menyadari metodenya sarjana hukum memperoleh pengertian lebih jauh apa sebenarnya hukum itu.
   Penjelasan lebih jauh mengenai maksud-maksud saya lebih baik tidak saya bicarakan; semoga buku ini cukup jelas.
   Di sini masih ada beberapa catatan.
   Pertama-tama mengenai maksud buku ini. Sifat umum dari jilid ini hanya dapat dimengerti sebagai keseluruhan. Berbagai paragraf dari bab pertama harus dibaca berturut-turut sekaligus, berbagai pandangan berhubungan satu sama lain dan saling melengkapi, dan tidak dapat dilepaskan dari hubungan itu tanpa kemungkinan akan salah dimengerti.
   Kemudian mengenai kutipan-kutipannya. Siapa yang menulis buku seperti ini, terus-menerus terbentur pada pendapat-pendapat yang menyimpang dari pendapatnya—saya sudah menyatakan pendirian saya terhadap itu, sering saya menganggap perlu untuk memperjelas jalan pikiran saya sendiri. Namun demikian saya hindari polemik maupun penjelasan panjang-lebar mengenai berbagai pendapat. Dalam materi yang begitu sulit dan untuk sebagian belum digarap saya tidak dapat sekaligus menguraikan penilaian saya sejelas mungkin dan mensistematisasi serta mengecam pendapat-pendapat orang- orang lain. Ini membawa akibat, bahwa kutipan-kutipan sedikit banyak menurut selera sendiri—hendaknya orang jangan menyimpulkan, bahwa saya tidak cukup menghargai beberapa karya yang tidak dikutip. Sifat dari buku ini tidak dapat lain membawa serta hal ini. Bagaimanapun saya percaya, bahwa aliran-aliran penting dalam ilmu menjadi lebih jelas.
   Di samping bagian umum yang diperuntukkan bagi metode, juga suatu sejarah hukum perdata pada umumnya, tidak khusus mengenai hukum perikatan atau hukum benda, akan pada tempatnya. Sejarah Burgerlijk Wetboek akan merupakan salah satu bagian daripadanya. Dalam pada itu buku seperti itu tidak ada, seperti halnya buku mengenai metode sampai sekarang tidak ada. Karena banyak alasan bagi saya tidak mungkinlah saya melengkapi kekosongan itu. Hanya pekerjaan pendahuluannya saja yang diperlukan untuk itu akan menuntut banyak waktu. Namun demikian kiranya penting bagi saya, bahwa para pemakai Penuntun karya Asser dapat menemukan data-data historis yang paling diperlukan, setidak-tidaknya mengenai sejarah Burgerlijk Wetboek dan apa yang terdapat sesudah itu, didalam bukunya sendiri-ini terlebih-lebih, di mana ini juga tidak diringkaskan di manapun juga. Sekarang hal ini disajikan oleh bab ketiga.
   Akhirnya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Ny. Mr. B.J Redeker-van Greven yang telah membantu saya pada penyusunan register-register dari jilid ini dan koreksi cetakan percobaan.
P.S.
Amsterdam, 1931.
7

§ 1 Pengantar. Problema penemuan hukum.

   Tujuan studi hukum perdata nampaknya mudah ditentukan. Barang siapa mulai belajar hukum ingin mengetahui apa kewajiban orang-orang terhadap satu sama lain dalam pergaulan dan dalam hubungan keluarga. Ia menghendaki jawaban yang sudah siap-pakai bilamana seseorang datang kepadanya dengan pertanyaan: Apakah saya harus membayar mobil yang saya beli meskipun ada cacat-cacat yang tidak saya duga sebelumnya? Apakah saya boleh memecat buruh yang menolak bekerja? Apakah isteri yang dianiaya mempunyai alasan untuk minta cerai? Dan sebagainya, dan sebagainya.
   Metode untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak terhitung jumlahnya yang setiap hari dilontarkan orang itu sepintas lalu nampaknya sederhana. Metode itu adalah metode yang selalu pertama-tama dipakai orang yang menghadapi pertanyaan seperti itu. Ia tahu bahwa dia membutuhkan dua hal, yaitu pengetahuan tentang fakta-faktanya dan pengetahuan tentang peraturannya. Penerapan peraturannya pada faktanya memberikan jawabannya, penggunaan sederhana dari aturan logika yang paling sederhana, yaitu silogisme. Itulah satu-satunya yang harus ia lakukan. Dan aturan itu diberikan oleh undang-undang, demikianlah titik tolak dari setiap orang yang mencari hukum, undang-undang. Jadi segalanya serba sederhana: undang-undang, yaitu aturan yang diberikan oleh kekuasaan tertinggi, dan fakta. Lalu dapat dipersoalkan lagi: kekuasaan yang manakah yang wenang menentukan peraturan itu dan mengapa kekuasaan itu diberi kewenangan itu? Tetapi orang yang ingin menyelami hukum perdata tidak memusingkan kepalanya dengan pertanyaan di atas; itu adalah pertanyaan-pertanyaan hukum tata negara.
pagina-2
8
Bagi orang yang mempelajari hukum perdata boleh dianggap pasti, bahwa kitab-kitab undang-undang dan undang-undang tersendiri (diatur kitab undang-undang) wadah pembentuk undang-undang menuangkan pengaturannya, adalah mengikat. Dan mengenai fakta-faktanya, kadang-kadang sulit untuk menetapkan apa yang sesungguhnya terjadi di antara orang-orang yang bersangkutan, tetapi kesulitan ini, juga meskipun pembentuk undang-undang telah menetapkan beberapa peraturan tentang caranya pekerjaan itu seharusnya dilakukan, sebetulnya tidak bersifat yuridis. Para sarjana hukum dengan khas menyebut keputusan tentang hal itu sebagai “mengenai kenyataannya”. Dengan demikian kita tetap ada dalam lingkungan silogisma yang sederhana.
9
   Barang siapa membela metode ini boleh mengemukakan pembelaannya itu bahwa para penyusun kitab-kitab undang-undang kita bertitik tolak dari gagasan yang sama. Pada masa revolusi Prancis, yang diletakkan dasar kodifikasi, maka gagasan bahwa semua hukum itu termuat dalam undang-undang merupakan gagasan yang dominan. Orang menganggap, bahwa dalam kitab-kitab undang-undang materinya diatur secara menyeluruh dan tuntas. Hakim—(orang mengingat pertama-tama kepada hakim kalau orang menghadapi pertanyaan-pertanyaan kita di atas, meskipun ia bukan satu-satunya yang harus menemukan hukum)—menerapkan peraturan perundang-undangan pada peristiwa yang diajukan kepadanya. Ajaran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan dengan tegas memaksa hakim bergerak dalam batas-batas penerapan undang-undang. Sangat terkenal kata-katanya:
Hakim-hakim rakyat tidak lain daripada corong yang mengucapkan teks undang-undang. Bilamana teks itu tidak berjiwa (tidak manusiawi), mereka tidak boleh mengubahnya, baik mengenai kekuatannya maupun mengenai keketatannya. (Esprit des lois VI, 5).

10
   Tidak hanya tujuan dan bahasa dari kitab-kitab undang-undang kita dan terutama undang-undang tahun 1829 yang berisi ketentuan-ketentuan umum perundang-undangan menunjukkan jalan pikiran ini, juga lembaga kasasi mempunyai alasan adanya dalam ajaran Montesquieu itu. Usaha yang karakteristik dari revolusi untuk dengan menugaskan kasasi kepada pembentuk undang-undang, menempatkan hakim langsung di bawah pengawasan pembentuk undang-undang memang dihapuskan, tetapi kasasi kita juga bertumpu pada kedua gagasan ini, yaitu penemuan hukum adalah penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya dan yang memberikan peraturan-peraturan itu hanyalah undang-undang. Suatu keputusan dibatalkan (dikasasi) bukan karena pada umumnya tidak tepat, melainkan hanya karena dinodainya atau salah diterapkannya undang-undang. (ps. 99 R.O, ps. 406 pagina-3 N.Rv.). Perlindungan undang-undang terhadap hakim, itulah tugas dari pengadilan kasasi.
11
   Namun juga bagi orang yang cenderung untuk melihat demikian kekanak-kanakan hubungan yang kita persoalkan di sini sebagaimana digambarkan diatas, ada satu kesulitan yang memaksanya untuk mendalami lebih jauh lagi metode yang dia pergunakan. Undang-undang tidak selalu jelas: tidak mungkin undang-undang memberikan penyelesaian bagi 1001persoalan yang diajukan kepadanya dengan semudah itu.
12
   Adalah suatu impian yang selalu didambakan oleh pembentuk undang-undang bahwa ia telah mengatur dengan tuntas perkara yang diajukan kepadanya. Dalam setiap masa, di mana pembentuk undang-undang bekerja keras dan meliputi suatu bidang yang utuh, ia mengira bahwa dengan kodifikasinya itu ia telah memberikan peraturan yang lengkap bagi semua kasus-kasus yang terjadi. Akibatnya adalah bahwa interpretasi itu tidak perlu. Memang orang mengakui bahwa setiap pekerjaan manusia itu mengandung kelemahan atau tidak sempurna dan karenanya mungkin saja di sana-sini kelihatan adanya kekurangan atau ketidakjelasan, akan tetapi dalam hal itu orang harus lari kepada pembentuk undang-undang untuk minta penjelasan atau untuk minta melengkapinya. Justinianus mengancam dengan pidana kepada barang siapa yang memberanikan diri untuk menafsirkan undang-undang. Interpretasi adalah salah (perversio), hanyalah atas dasar persetujuan kaisar diberikan kewenangan untuk menafsirkan undang-undang. (Codex I, 17, 2, 21).
13
   Sejarah berulang kembali pada akhir abad ke-18, di mana Publikations Patent dari hukum negara Prusia dari 1794 memerintahkan:
und es soll. . . kein Collegium, Gericht oder Justizbedienter sich unterfangen . . . das neue Landrecht nach besagten aufgehobenen Rechten und Vorschriften zu erklären oder aus zu deuten am allerwenigsten aber von klaren und deutlichen Vorschriften der Gesetze, auf dem Grund eines vermeintlichen philosophischen Raisonnements oder unter dem Vorwande einer aus dem Zwecke und der Absicht des Gesetzes ab zu leitenden Auslegung, die geringste eigenmächtige Abweichung, bei Vermeidung Unsrer höchsten Ungnade und schwerer Ahndung, sich zu erlauben.
Tidak hanya raja absolut berpikiran demikian, juga seorang revolusioner sama saja: kedua-duanya melihat dalam hukum hanya peraturan yang berasal dari mereka.
14
Juga Robespierre mengemukakan dalam jiwa yang sama:
Kata yurisprudensi seharusnya dihapuskan dari bahasa kita. Dalam suatu negara, yang hanya mempunyai satu konstitusi, satu pembentuk undang-undang, yurisprudensi berarti tidak lain dari pada undang-undang”1.
Suatu badan pengadilan pada waktu itu mengatakan tentang interpretasi dan komentar sebagai “cambuk perusak undang- pagina-4undang”.2
15
   Jadi hanyalah undang-undang. Akan tetapi pengalaman berulang kali menunjukkan lain. Setiap undang-undang, juga yang paling baik dirumuskan sekalipun, membutuhkan penafsiran. mengadakan penafsiran ini adalah juga tujuan dari ilmu hukum perdata. Salah satu pasal yang paling terkenal dari B.W. (KUHPerd.) kita, yaitu ps. 1365 B.W. mengatakan: “Setiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya mengakibatkan kerugian itu untuk menggantinya”. Timbullah pertanyaan-pertanyaan: “Kapankah suatu perbuatan itu melawan hukum? Apakah yang diartikan dengan kesalahan? Apakah yang diartikan dengan kerugian? Hubungan antara sebab dan akibat yang manakah yang disyaratkan oleh undang-undang antara keduanya?”. Barang siapa ingin menjelaskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dengan pertimbangan-pertimbangan yang layak, paling sedikit harus menulis uraian yang cukup luas, yang barang kali bahkan menjadi buku yang cukup tebal. Akan tetapi bagaimanakah dia akan mendapatkan jawaban itu? Melalui jalan yang manakah ia menemukannya?
16
   Marilah kita ambil pertanyaan yang pertama dari yang dikemukakan di atas itu. Sebelum tahun 1919 H.R. berpendapat bahwa melawan hukum hanyalah perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau melanggar hak perdata orang lain; sejak keputusan H.R.31 Januari 19193 yang diartikan dengan melawan hukum oleh H.R. juga perbuatan “yang bertentangan dengan tata susila atau sikap hati-hati yang selayaknya berlaku terhadap diri atau barang orang lain dalam kehidupan bermasyarakat”.
17
Atas dasar apakah H.R sampai pada kesimpulan ini? Jelaslah bahwa teks undang-undang saja bagi orang yang tidak mencari lebih jauh, tidak memutuskan pertentangan antara kedua pendapat itu. Orang lalu mencoba menggali lebih dalam dan mempergunakan bermacam-macam metode penafsiran; orang mencoba mengupas arti kata-kata itu lebih lanjut menurut ilmu bahasa, menanyakan sejarah terjadinya ketentuan undang-undang itu, seperti halnya H.R. dalam keputusan yang dikutip di atas, menyelidiki sejarah lembaga perbuatan melawan hukum dan mencari pertolongan dari ketentuan-ketentuan lain yang mengatur hal-hal yang ada hubungannya dengan itu, sedangkan akhirnya, terutama didalam buku-buku modem, juga harus diindahkan dayakerja kema pagina-5syarakatannya peraturan tersebut. Secara tradisional orang membedakan: interpretasi-interpretasi gramatikal dan historis, yang dapat ditambahkan interpretasi teleologis, yaitu interpretasi menurut tujuan-tujuan kemasyarakatan. Setiap sarjana hukum, entah ia bekerja sebagai pengacara atau notaris, sebagai hakim atau dosen, mempergunakan metode-metode ini secara serabutan, akan tetapi hanya sedikit saja yang mendalami pertanyaan apa yang sesungguhnya mereka lakukan dengan itu dan lebih sedikit lagi yang menyelami apakah mereka boleh berbuat seperti yang mereka lakukan itu.
18
Untunglah bahwa juga di sini dapatnya (penguasaan) mencarinya hukum, lebih kuat dari pada mengenalnya, mengetahuinya mengapa mereka mencari demikian. Akan tetapi ini tidak membebaskan dari kewajiban untuk lebih merenungi sifat dari pekerjaannya. Ada orang-orang—seperti misalnya Suyling4 di negeri kita—yang menolak metode historis. Apakah mereka betul-betul mempertahankan maksud ini, di sini tidak perlu kita selidiki; kita akan kembali mengenai hal itu lebih jauh di bawah ini. Akan tetapi sudah pasti: juga mereka berkewajiban untuk menyelami lebih dalam mengenai metode-metode mereka. Pertama-tama, karena penolakan apa yang secara tradisional selama berabad-abad merupakan metode ilmu tidak boleh terjadi tanpa pertimbangan. Akan tetapi terlepas dari itu, juga penafsiran sistematis, yang terlebih-lebih mengikuti aliran ini, perlu pembenaran. Mengapa diperbolehkan menafsirkan suatu ketentuan undang-undang dengan pertolongan ketentuan yang dibuat oleh orang lain pada waktu yang berlainan untuk hal yang berlainan sekali? Ini juga tidak dengan sendirinya.
19
Dan apakah yang menentukan bilamana penafsiran gramatikal menurut kata-katanya dan penafsiran menurut sistemnya menghasilkan hasil yang berlainan? Bagi mereka yang ingin menafsirkannya secara historis, bagi mereka yang juga mengindahkan akibat dari peraturannya, tujuan peraturannya—dan sekali lagi, setidak-tidaknya demikianlah selalu dilakukan oleh sarjana praktek—maka pertanyaan-pertanyaan ini menjadi lebih ruwet. Bagaimana perbandingannya sejarah terhadap teks, terhadap sistem? Apa yang menentukan dalam hal ada pertentangan antara datanya? Bagaimanakah akhirnya keputusan yang konkrit diketemukan? Apakah ini penimbangan logis ataukah ada pilihan lain dari pada pilihan intelektual?
20
   Menurut pendapat saya dilontarkannya pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan, bahwa persoalan mengenai metode hukum perdata sekarang bukanlah persoalan yang khususnya begitu sederhana. Penerapan peraturan pada faktanya, betul. Tetapi penemuan peraturan itu, juga kalau orang mau pagina-6mengeluarkan peraturannya dari undang-undang, tidak selalu sama mudahnya. Jadi memang perlu metode-metode interpretasi itu dirumuskan lebih jauh, perlu ditetapkan batas-batasnya dan perlu ditunjukkan tempatnya keseluruhannya.
21
   Tetapi lebih dari itu. Sampai sekarang kita perkirakan, bahwa mencari peraturannya adalah soal penafsiran undang-undang. Tetapi ternyata, bahwa undang-undang dan juga penafsirannya—apabila setidak-tidaknya orang mengambil kata itu menurut arti yang ada dalam percakapan—tidak memberikan jawabannya. Maka orang lalu lari ke analogi. Suatu ketentuan undang-undang yang mengatur pengaruh penjualan suatu benda yang sedang disewakan, dipergunakan untuk menetapkan hubungan antara penyewa dan pemilik baru pada pengalihtanganan yang lain5, atau suatu ketentuan yang mengatur pengosongan benda-benda yang disewa dalam hal sewanya berakhir, diterapkan pada pengakhiran suatu perjanjian kerja, di mana si pekerja menggunakan “tempat tinggal bebas” dari pemberi kerja.6 Timbul pertanyaan lagi: Apakah analogi itu sebetulnya dan apakah diizinkan? Apabila diizinkan, mengapa?
22
   Apabila analogi menghadapkan kita pada pertanyaan diizinkan atau tidak diizinkannya analogi, dan kalau diizinkan, mengapa diizinkan suatu peraturan diperluas sampai suatu peristiwa yang tidak diperuntukkan baginya, maka pertanyaan juga dapat dirumuskan: apakah tidak dapat diperintahkan dalam suatu keadaan khusus untuk tidak menerapkan suatu peraturan pada suatu peristiwa yang menurut bunyi kata-katanya mengatur peristiwa tersebut? Berhadapan dengan analogi adalah penghalusan hukum: dibentuknya pengecualian-pengecualian baru atas peraturan-peraturan yang dipandang umum. Suatu contoh lagi dari ajaran tentang perbuatan melawan hukum.
23
Misalkan bahwa orang yang dimintai ganti kerugian itu terbukti memang bersalah melakukan perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai melawan hukum, bahwa juga dipenuhi syarat-syarat yang diharuskan oleh ps. 1365 B.W., akan tetapi dinyatakan bahwa orang yang minta ganti kerugian itu sendiri kurang berusaha untuk menghindari kerugian dan ini menyebabkan juga kecelakaan dan karenanya juga kerugian. Jawatan kereta api tidak cukup mengadakan pengamatan lalu-lintas barang-barang di suatu daerah perdagangan, akan tetapi si pengangkut, yang karenanya terlindas kereta api, pagina-7 seharusnya dari fihaknya lebih berhati-hati. Apakah bagaimanapun juga ia dapat ganti kerugian: Sebagian, jawab yurisprudensi sejak keputusan H.R. tanggal 4 Pebruari 19167 Mengapa?
24
Ps. 1365 tidak mengatakan apapun mengenai “kesalahan sendiri” itu. Memang H.R. dalam keputusan tersebut melakukan percobaan lemah untuk menemukan jawaban dalam pasal itu dengan jalan memasukkan dalam setiap perbuatan melawan hukum juga perbuatan dari orang yang dirugikan yang tidak cukup mengusahakan keamanannya sendiri, akan tetapi secara umum diterima bahwa penafsiran ini tidak mencapai tujuan yang dikehendaki. Kurang usaha untuk kepentingan sendiri bukanlah melawan hukum dalam arti ps. 1365 B.W. Yurisprudensi selalu mempergunakan metode penghalusan peraturan ini. Dapatlah kita dengan pertimbangan secukupnya menunjukkan kapan dan mengapa penghalusan ps. 1365 itu diizinkan?
25
   Persoalan penghalusan hukum merupakan bagian dari problema yang menyebabkan pertentangan hebat dikalangan sarjana hukum dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir: bolehlah hakim mengadili juga di luar undang-undang? Dengan sendirinya saya tidak akan terjun ke dalam persoalan ini sekarang. Saya hanya mengingatkan, bahwa menurut hemat saya persoalan itu tidak dapat dijawab dengan sederhana ya atau tidak. Lanjutan dari buku ini saya harapkan akan menjelaskannya. Untuk sementara tujuan saya hanya untuk menunjukkan, bahwa tidak mungkin suatu peraturan dibaca dari undang-undang; bahwa pengamatan yang sederhana dari praktek pengadilan sehari-hari menunjukkan kepada kita bahwa dengan penghalusan peraturan-peraturan baru, bahwa disini terjadi sesuatu yang sama sekali lain dari pada penempatan suatu peristiwa di bawah suatu peraturan yang telah siap terdapat dalam undang-undang.
26
   Analogi dan penghalusan hukum bukanlah satu-satunya metode ang pantas disebutkan dalam hal penemuan hukum. Kita sekarang tahu, bahwa bukanlah suatu “dalih” seperti yang terdapat dalam ps. 13 n. AB, apabila kita mengatakan bahwa undang-undang itu gelap dan tidak lengkap. Di antara sekian banyak persoalan yang dikemukakan di sini, saya ingin mengemukakan satu hal, karena mempunyai arti sangat prinsipiel. Disini bukannya berkisar pada perluasan atau pembatasan peraturan-peraturan tertentu, melainkan mengenai koreksi yang mendampingi setiap penerapan peraturan. Itu adalah larangan penyalahgunaan hak, suatu larangan yang di Jerman dan Swis diucapkan dengan tegas oleh pembentuk undang-undang, di Prancis diterima secara umum oleh yurisprudensi, yang sekarang karena jasa pagina-8 H.R. sedang mendapatkan ,tempatnya dalam yurisprudensi kita.8
27
Untuk mengambil contoh klasik orang Prancis: Seseorang membangun cerobong palsu di atapnya, dengan tidak ada tujuan lain selain untuk menghalangi pemandangan bebas tetangga. Ia sendiri tidak mempunyai kepentingan. Apakah si tetangga harus membiarkannya? Di dalam undang-undang manapun tidak dapat diketemukan yang memberikan hak kepadanya untuk menghendaki dihilangkannya obyek yang mengganggu itu. Namun pengadilan membenarkan adanya hak itu. Si pembangun cerobong asap telah menyalahgunakan hak miliknya. Ia bergerak dalam batas-batas undang-undang; namun bagaimanapun hukum tidak dapat mengukuhkan penyalahgunaan hak itu.9
28
Orang berpendapat bahwa dengan itu orang tetap ada dalam rangka penerapan undang-undang.10 Setiap undang-undang harus diterapkan menurut kelayakan, kata orang. Memang demikian, tetapi kalau begitu harus digariskan bagaimana membedakan antara penerapan yang layak dan penerapan yang tidak layak dan terlebih-lebih mengapa orang yang menerapkan berhak untuk membuat penilaiannya mengenai apa yang layak dan tidak layak menjadi dasar keputusannya? Yang pasti: didalam undang-undang sendiri tidak ia temukan perbedaan antara satu sama lain. Andaikata itu ada, maka mengenai penyalahgunaan hak tidak akan mungkin ada.
29
   Cukuplah kiranya untuk memperlihatkan, bahwa penemuan hukum adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan-peraturan yang ada pada fakta-fakta yang telah ditetapkan. Kadang-kadang dan bahkan kerap kali terjadi, bahwa peraturannya harus diketemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun penghalusan hukum. Kadang-kadang penerapan pada apa yang disebut kelayakan itu harus dikaji. Jadi persoalan mengenai metode penemuan hukum ada gunanya.
30
   Akan tetapi pandangan: penemuan hukum dengan jalan menerapkan peraturan-peraturan yang ada dalam undang-undang masih dapat kita serang dari segi lain. Sampai sekarang kita anggap sebagai benar, bahwa penemuan hukum terjadi dengan penerapan peraturan-peraturan pada faktanya hanya menunjukkan, bahwa peraturan-peraturan itu kadang-kadang harus dibentuk oleh orang yang mencari hukum, bahwa ia tidak selalu menemukannya adap dalam undang-undang untuk diterapkan. Maka pertanyaan haruslah: apakah pagina-9 penemuan hukum selalu penerapan peraturan-peraturan pada faktanya, apakah proses logisnya silogisme menolong kita secara tuntas?
31

§ 2 Penemuan hukum, penciptaan hukum, penerapan hukum.

   Dari sikap yakin yang terang dari kebanyakan orang dalam abad ke-19, bahwa penemuan hukum adalah penerapan undang-undang, tidak banyak sekali yang tertinggal. Orang membenarkan bahwa interpretasi itu perlu, juga bahwa interpretasi itu paling sedikit menimbulkan pertanyaan apakah karena interpretasi itu tidak ditambahkan sesuatu yang baru kepada peraturannya. Dan bahkan, bahwa hakim tidak dapat mencukupkan dengan interpretasi, melainkan memperluasnya dan melengkapinya, dan malahan membentuk peraturan-peraturan.
32
Terjadilah suatu masa pancaroba yang mendapat rumusan klasiknya dalam ps. 1 Kitab Undang-undang Swis tahun 1907 yang berbunyi:
Das Gesetz findet — zo staat er — auf allen Rechtsfragen Anwendung, für die es nach Wortlaut oder Auslegung eine Bestimmung enthält. Kann dem Gesetze keine Vorschrift entnommen werden, so soll der Richter nach Gewohnheitsrecht und, wo auch ein solches fehlt, nach der Regel entscheiden, die er als Gesetzgeber aufstellen würde. Er folgt dabei bewährter Lehre und Ueberlieferung.
Hakim harus menafsirkan, menerapkan analogi, mencari pertolongan pada hukum kebiasaan dan alirannya bilamana undang-undang tidak mengatakan apa-apa, hakim harus mengadili menurut peraturan yang akan ia buat andaikata ia menjadi pembentuk undang-undang.
33
Betul kita di sini jauh dari gagasan bahwa hanya undang-undanglah yang merumuskan peraturan yang harus diterapkan, akan tetapi dengan itu kita belum melepaskan gagasan bahwa penemuan hukum adalah penerapan dari peraturan-peraturan umum. Justru sebaliknya, itu adalah juga gambaran dari Eugen Huber, pembentuk kitab undang-undang Swis. Hanyalah kekuasaan lain yang menyusun peraturan itu.
34
   Apabila sudah diragukan adanya sifat mencakup segalanya dari undang-undang, namun gagasan bahwa penemuan hukum adalah penerapan peraturan-peraturan, bahwa hukum adalah peraturan, belum ditinggalkan orang. Juga pada penulis-penulis yang telah meninggalkan ajaran bahwa semua hukum terletak dalam undang-undang, dapat diketemukan kembali gagasan itu. Satu contoh di antara yang banyak. Saya ambil dari Walter Burckhardt, yang sebagai orang Swis harus mengindahkan dan memang mengindahkan ps. 1 pagina-10 dari kitab undang-undang.11 Menurut dia pembentukan hukum dan penerapan hukum berlawanan secara mutlak, tidak secara relatif. Pembentukan hukum adalah penilaian, suatu penimbangan antara baik dan buruk; penerapan hukum merupakan penggunaan bentuk-bentuk yang logis. Suatu tatanan menciptakan hukum baru, maka itu adalah pembentukan hukum, atau mungkin tidak. menciptakan hukum baru, melainkan menerapkan peraturan yang ada. Tertium non datur (=kemungkinan ketiga tidak ada). Pada pandangan demikian itu cocoklah ungkapan yang berikut: kejadian konkrit (fakta) sudah tercakup dalam pengertian abstraknya, keputusannya tercakup dalam normanya. Dalam pengertian “beli” sudah tercantum bahwa perbuatan antara A dan B ini adalah pembelian, dalam norma bahwa pembeli harus membayar tercantum kewajiban A untuk membayar.
35
   Jelaslah bahwa dalil ini bertitik tolak dari suatu petitio principii. Bilamana hukum terdiri atas peraturan-peraturan, bilamana kepada keputusan tidak diberikan arti yang mandiri di samping peraturannya, maka kesimpulannya adalah memaksa. Penerapan adalah penerapan, ini sebenarnya suatu tautologi. Akan tetapi justru menjadi pertanyaan apakah memang demikian halnya. Akhirnya di belakang dalil ini juga terdapat gagasan bahwa hukum dan undang-undang itu identik. Burckhardt memang mengakui, bahwa penerap undang-undang kadang-kadang boleh membuat peraturan sendiri, akan tetapi ia boleh berbuat demikian itu atas dasar perintah dari pembentuk undang-undang dan sebenarnya adalah suatu anomali (penyimpangan).
36
   Terhadap dalil ini kita kemukakan dua keberatan. Pertama-tama kita mendasarkan otoritas kita pada caranya dalam banyak hal atau peristiwa dapat diketemukan hukumnya.
   Kita ambil lagi titik tolak kita dalam ps. 1365 B.W. H.R. memutuskan, bahwa melawan hukum adalah perbuatan orang yang berbuat dengan bertentangan dengan tata susila, atau yang tidak mengindahkan usaha yang selayaknya berlaku dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap diri atau barang orang lain. Apakah yang sekarang dilakukan oleh hakim yang menerapkan peraturan ini? Ia menetapkan faktanya, memutuskan bahwa perbuatan dalam gugatan misalnya bertentangan dengan tata susila dan menghukum untuk membayar ganti kerugian. Ini nampaknya seperti sesuai benar dengan skema biasa.
37
Namun sesungguhnya hakim ini melakukan sesuatu yang lebih daripada yang dilakukan oleh orang yang mengucapkan keputusan seperti itu atas dasar bertentangan dengan undang-undang. Hakim yang bertanya kepada dirinya sendiri apakah peristiwa-peristiwa yang terbukti itu merupakan pagina-11 perbuatan yang dituntut oleh undang-undang, itu adalah pekerjaan intelektual mumi yang dimaksudkan oleh Burckhardt; hakim yang pertama masih harus bertanya kepada dirinya sendiri apakah yang sudah terbukti itu memang bertentangan dengan tata susila; untuk itu ia harus menilai perbuatan itu: dengan kesimpulan logis saja hasil ini tidak diperoleh. Ini berlaku di mana-mana, dimana pembentuk undang-undang mempergunakan suatu ungkapan (istilah) yang dengan ungkapan itu ia menyerahkan kepada hakim untuk menetapkan lebih lanjut isi dari peraturannya: bertentangan dengan tata susila, dengan sikap hati-hati yang selayaknya berlaku dalam masyarakat, dengan itikat baik, keputusan menurut kelayakan, penetapan kesalahan pada perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, penetapan tentang perbuatan kelewat batas pada hidup terpisah (perceraian meja dan ranjang), dan sebagainya. Akan tetapi orang barangkali menangkisnya dengan mengatakan: ini mungkin suatu komplikasi, tetapi tidak mengurangi sifat dari penetapan hukum; perbedaannya hanyalah bahwa hakim sebelum ia menerapkan ia masih menyisipkan suatu peraturan lain antara peraturan undang-undang yang ia pergunakan dan kesimpulannya.
38
Jadi begini: barang siapa yang dengan bertentangan dengan tata susila menyebabkan kerugian pada orang lain, harus menggantinya; penyuapan seorang pekerja dari seorang konkuren untuk mendapatkan rahasia perusahaan adalah bertentangan dengan tata susila; A bersalah melakukan perbuatan ini terhadap B, jadi A harus mengganti kerugian kepada B. Tangkisan ini nampaknya tepat, tetapi itu tidak sesuai dengan uraian saya. Mungkin saja bahwa hakim memang menemukan keputusannya dengan jalan menempatkan peristiwanya pada suatu peraturan yang ia peroleh dari satu atau lain kekuasaan alau yang ia bentuk sendiri, tetapi dapat juga—dan bahkan kerapkali demikian—bahwa ia akhirnya melakukan sesuatu hal lain. Bukannya suatu peraturan yang ia perhatikan, melainkan hanya peristiwanya. Peraturan-peraturan yang dipergunakan oleh hakim adalah sarana (alat); peraturan-peraturan itu tidak menentukan. Peristiwanya dapat sedemikian rupa, bahwa meskipun ada peraturan itu namun dianggap kebalikannya dari apa yang akan diharapkan oleh peraturan itu.
39
Ingatlah pada suatu kecelakaan di jalan. Seorang pengendara sepeda motor bertabrakan dengan mobil; mereka saling menyalahkan satu sama lain. Kamu tidak mengikuti peraturan ini, demikianlah dilontarkan oleh yang seorang kepada yang lain. Mungkin, jawab yang lain, tetapi saya tidak dapat dan tidak boleh mengikuti peraturan itu lagi, karena kamu dengan caramu mengendarai kendaraanmu memaksa saya berbuat seperti yang sudah saya lakukan ini. Demikianlah seterusnya. Sekarang orang memang dapat mengatakan bahwa pernyataan ini dapat dikembalikan kepada peraturan dan pengecualian dan pagina-12 kepada pengecualian atas pengecualian dan demikian seterusnya sampai tidak terbatas. Kenyataannya adalah bahwa hakim di sini akhirnya menemukan kesalahan itu dengan menilai fakta itu sebagai keseluruhan. Jus in cause positum. Di dalam faktanya sendiri terletak hukumnya. Baru jauh kemudian kita dapat menjelaskan, arti apakah yang terkandung dalam ungkapan ini. Kita akan melihat sampai seberapa jauhkah berlakunya secara umum yang diperkirakan dari setiap keputusan pengadilan juga di sini dapat berlaku. Pada saat ini bagi kita yang penting adalah untuk menunjukkan, bahwa hukum di sini tidak diketemukan dengan jalan menyimpulkan dari suatu peraturan, juga tidak menyimpulkan dari peraturan yang dibuat sendiri. Kalau di sini dikatakan ada peraturan, maka peraturan ini baik dari sudut waktu tidak mendahului kegiatan hakim maupun secara logis tidak mendahului keputusan. Barulah dengan keputusan diberikan peraturannya. Kepada keputusan diberikan arti yang mandiri.
40
   Siapa ingin mengkajinya dan ingin menyadarinya, perhatikanlah penyelesaian persoalan seperti yang saya perhatikan pada prosedur kasasi. Seperti saya katakan di atas, kasasi mengadakan pemisahan tajam antara fakta dan hukum; H.R. tidak mempertimbangkan faktanya. Apakah persoalan: Apakah tergugat berbuat dengan melawan tata susila, apakah ia bersalah, apakah ada keadaan memaksa (overmacht), itu suatu persoalan fakta ataukah persoalan hukum? H.R. goyah. Kadang-kadang keputusan mengenai butir-butir sedemikian itu ia serahkan kepada pengadilan rendahan dan dinamakan “persoalan fakta” dan kadang-kadang ia ambil sendiri, di waktu akhir-akhir ini ada kecenderungan H.R. mengambil sikap yang kedua itu. Sekarang orang dapat menganggap bahwa ketidakpastian itu disebabkan karena kenyataan bahwa undang-undang dalam istilah-istilah umum mengatakan bahwa hakim harus memperhitungkan adanya pertentangan dengan tata susila atau sikap hati-hati, tetapi tidak mengatakan kapan ada pertentangan dengan tata susila atau sikap hati-hati.
41
Itu memang peraturan-peraturan hukum, bukan peraturan perundang-undangan dan inilah tentunya yang menimbulkan kesulitan pada sistem kasasi kita. (lihat 1). Meskipun mungkin juga ini benar, tetapi tidak menyinggung intinya. Ini terbukti, bilamana hakim tidak merumuskan peraturan, tidak mengatakan pada umumnya: suatu perbuatan yang seperti ini bertentangan dengan tata susila, melainkan menjelaskan bahwa dalam keadaan yang bersangkutan perbuatan itu tidak diizinkan, maka dengan demikian ia memasukkan penilaian dari faktanya ke dalam keputusannya: tidak ada peraturan lain dari pada peraturan dari kompleks fakta sebagai keseluruhan. Maka H.R. tidak berdaya, juga meskipun ia menarik penerapan peraturan-peraturan yang bukan peraturan perundang-undangan ke dalam kompetensinya pagina-13 bilamana itu dicakupkan dalam suatu pengertian hukum sebagai melawan hukum. Apabila H.R. masih mengkasasinya, maka ia menempatkan penilaiannya sendiri, penemuan hukumnya sendiri di luar undang-undang yang seharusnya merupakan penemuan hukum dari hakim. Mungkin ini akan baik bagi kehidupan hukum kita, tetapi jelas menyimpang dari sistem kasasi dalam perundang-undangan kita.
42
Jadi: dalam banyak peristiwa keputusan tidak diketemukan sebagai kesimpulan dari suatu peraturan dari siapapun asalnya. Apabila demikian, maka keputusan itu terhadap peraturan mempunyai harga/nilai sendiri, sehingga hukum tidak dapat dirumuskan sebagai rangkaian peraturan. Ini akan menjadi jelas, bilamana keputusannya bersandar pada hukum yang dibentuk oleh yang bersangkutan sendiri, pada kontrak atau surat wasiat. Juga disitu dimungkinkan penjelasan yang sama dari prosedur kasasi, akan tetapi ini harus kita simpan untuk kemudian. Sekarang harus kita curahkan perhatian kita pada keberatan kedua terhadap gambaran: penemuan hukum sebagai penerapan peraturan-peraturan.
43
   Penerapan peraturan-peraturan, peraturan-peraturan yang manakah itu? Jawabnya nampaknya sederhana lagi: peraturan yang ditulis untuk perhubungan itu. Suatu perjanjian jual-beli dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tentang jaul-beli, permohonan perceraian dikuasai oleh peraturan-peraturan tentang pemutusan perkawinan. Akan tetapi bilamana faktanya sedemikian rupa, sehingga dapat diterapkan bermacam-macam peraturan, yang manakah yang harus saya pilih? Ada sebuah mobil dijual yang mempunyai cacat-cacat yang tidak diduga adanya pada waktu pembelian itu dilakukan. Apakah pembeli dapat minta pemutusan perjanjian berdasarkan wanprestasi menurut ps. 1266 B.W. atau pembatalan atas dasar cacat tersembunyi (ps. 1507 B.W.) atau atas dasar kesesatan (ps. 1322 B.W.)? Apakah dia boleh memilih, ataukah salah satu dari peraturan-peraturan itu satu-satunya yang dapat diterapkan?
44
Atau faktanya menunjukkan komplikasi-komplikasi yang tidak diatur dalam undang-undang. Misalnya: seorang direktur P.T. menulis tanda tangannya pada secarik kertas kosong, seorang pelayan P.T. itu menulis di atas tanda tangan itu suatu perintah kepada bankirnya untuk membayarkan sejumlah uang; pelayan menerima uang itu. Dapatkah bank menuntutnya kembali kepada P.T.? Apakah persoalan ini dikuasai oleh peraturan-peraturan perjanjian pada umumnya, oleh peraturan-peraturan perwakilan atau peraturan-peraturan kcadaan memaksa (overmacht) ataukah peraturan-peraturan perbuatan melawan hukum dari orang-orang bawahan? Dalam perkara-perkara sejenis penyelesaiannya dicari atas dasar semua peraturan-peraturan itu. Bagaimanakah kita menemukan keputusannya, bagaimana memilihnya, ataukah kita harus pagina-14mengkombinasikan peraturan-peraturan undang-undang itu? Apabila orang mengingat bahwa peristiwa ini adalah penyederhanaan dari suatu peristiwa yang baru-baru ini menyibukkan kekuasaan kehakiman, maka orang sadar, bahwa penempatan di bawah suatu peraturan yang tepat bukanlah pekerjaan yang sederhana sekali.
45
   Bagaimana seharusnya terjadi, Burckhardt yang saya kutip di atas ini menjawab dengan: “gefühlmässige, divinatorische Ahnung”.12 Jawabnya aneh; sebab meruntuhkan dalil bahwa penemuan hukum terbatas pada pekerjaan logis subsumsi faktanya kepada peraturannya. Kalau begitu sesuatu hal lain dari pada fakta dan peraturanlah yang menentukan keputusannya. Untuk sementara saya tidak mempersoalkan ketepatan jawaban Burckhardt, akan tetapi apabila intuisi harus menunjukkan peraturan yang mana yang harus diterapkan, maka penemuan hukum tidak hanya kegiatan logis saja. Dan apabila kita punya sarana—yang juga diakui adanya oleh Burckhardtuntuk mengkaji keputusannya sebagai menerimanya atau menolaknya karena tepat atau tidak tepat, maka sarana pengkaji itu harus terdapat dalam sesuatu yang lain dari pada pengkajian dengan silogisme, yang menurut penulisnya tinggal kita terapkan saja untuk menemukan hukumnya.
46
Dan kembali kita lihat, bahwa kepada keputusan, karena keputusan itu adanya juga karena jasa unsur dalam penemuan hukum ini terhadap peraturan harus diberikan arti yang mandiri. Di dalam keputusan juga terdapat pemilihan yang dilakukan secara intuitif itu. Dengan demikian tidaklah betul, bahwa di dalam peraturan sudah terletak keputusan atas. faktanya. Tetapi lalu juga tidak benar, bahwa hukum terdiri atas peraturan-peraturan, maka kalau demikian keputusan-keputusan dari kekuasaan yang dibebani dengan kewenangan untuk mengadili merupakan bagian tersendiri dari kompleks yang disebut orang hukum.
47
   Suatu lembaga dari kehidupan hukum kita, seperti halnya dengan lembaga kehidupan hukum bangsa-bangsa yang lain dari masa sekarang maupun zaman dulu membuktikan benarnya kesimpulan yang ditarik dari sifat perundang-undangan dan peradilan ini. Yaitu lembaga kekuatan pasti (ps. 1917 B.W.): keputusan mengikat fihak-fihak. Dalam proses kemudian hakim tidak boleh mengesampingkan keputusan yang sudah berkekuatan pasti itu. Keputusan itu menguasai hubungan hukumnya, juga meskipun kemudian mungkin terbukti, bahwa keputusan itu tidak tepat. Kalau kita sekarang hanya mengingat penemuan hukum oleh penerapan undang-undang: bilamana sekali hakim memutuskan, bahwa dalam suatu peristiwa undang-undang harus diterapkan begini atau begitu, maka hal itu adalah hukum bagi fihak-fihak. pagina-15 Juga apabila terbukti penerapannya tidak tepat, maka hal itu dan bukan kesimpulan yang tepat, bukan peraturannya yang harus dipakai sebagai dasar keputusan-keputusan selanjutnya. Ini hanya dapat dimengerti, bilamana kemandirian dari keputusan terhadap peraturan diakui.
48
Hubungan itu dapat dibandingkan dengan hubungan undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang dasar itu mengikat, menurut pendapat orang atas dasar ps. 122 Grondwet, karena bukan hakim atau siapapun, melainkan hanya kekuasaan legislatif boleh memutuskan apakah persoalan adanya pertentangan itu ada. Sejauh ini di sini adalah suatu tingkatan (gradasi) kekuasaan yang melahirkan peraturan-peraturan hukum.13 Seperti halnya undang-undang berhadapan dengan undang-undang dasar mempunyai sifat untuk menetapkan normanya, maka keputusan hakim berhadapan dengan undang-undang mempunyai sifat menetapkan norma (normstellend) sendiri.
49
   Terhadap hal ini orang menentangnya (menangkis) dengan mengatakan, bahwa di mana-mana pada setiap perintah yang bersandar pada penerapan peraturan-peraturan, dapat dikehendaki pematuhannya, karena kalau tidak demikian akan tidak ada artinya menyerahkan penerapan undang-undang kepada suatu kekuasaan. Tidak akan ada pertentangan dengan anggapan bahwa penemuan hukum adalah penerapan peraturan, sebab setiap orang yang diberi perintah untuk menerapkan boleh mengharuskan pematuhannya. Tangkisan itu gagal. Perbedaannya adalah, bahwa memang diminta penundukan sementara, tetapi bukan penundukan definitif, jadi apabila orang sudah akan memberikan kekuatan kepada keputusan, keputusan ini selalu dapat dikaji lagi terhadap peraturannya. Keputusan dalam acara kilat (kort geding) dari ketua pengadilan memberikan contoh perintah semacam itu. Keputusan itu mengikat, dalam arti harus dilaksanakan. Tetapi dalam proses utamanya keputusan dalam acara kilat itu tidak mengikat, dalam arti tidak mempunyai kekuatan pasti; mengenai persoalan hukumnya hakim boleh menilai lain.
50
Pada kekuatan pasti maka pengawasannya, keterikatannya, adalah definitif. Suatu penerapan yang tidak dapat diawasi apakah itu penerapan dari peraturannya, adalah lebih dari penerapan. Kemandirian ini lebih .diperkuat lagi oleh tugas hakim untuk menilai kewenangannya sendiri. Tidak hanya keputusan yang tidak tepat mengikat (artinya keputusan yang tidak sesuai pagina-16 dengan peraturannya), tetapi bahkan juga keputusan dari seorang hakim yang tidak wenang menjatuhkan keputusan ini mengikat. Hakim mendapat kewenangannya dari undang-undang, akan tetapi apabila dalam suatu kasus yang undang-undangnya tidak memberikan kekuasaan untuk memutusnya hakim memutus juga, maka keputusan itu juga hukum bagi fihak-fihak. Bagaimana ini dapat dimengerti jika hukum itu tidak lain daripada rangkaian peraturan?
51
   Kita boleh menyimpulkan, bahwa hubungan hukum yang konkrit tidak hanya tergantung dari peraturan-peraturan, melainkan juga dari keputusannya. Dan keputusan-keputusan itu pada gilirannya diketemukan tidak hanya karena subsumsi pada peraturan-peraturannya. Untuk menetapkan hukum yang konkrit antara fihak-fihak, penerapan hukum bukanlah kata yang tepat, juga bukan pembentukan hukum atau penciptaan hukum, melainkan kata lama “penemuan hukum”. Hukum itu ada, akan tetapi harus diketemukan, dalam apa yang diketemukan itulah terletak yang baru. Hanya orang yang mengidentikkan hukum dengan peraturan-peraturan, harus memilih: atau penciptaan atau penerapan. Apabila ada faktor-faktor yang lain, maka dilema itu hapus. Saya kira saya sudah menunjukkan bahwa faktor-faktor yang lain itu ada.
52

§ 3 Sifat peraturan hukum. Perintah.

   Apa yang kita uraikan dalam paragraf sebelumnya juga dapat kita rumuskan agak ilmiah sebagai berikut: hukum tidak memberikan penilaian hipotetis. Orang beranggapan bahwa istilah ini menunjukkan ketentuan yang logis dari hukum dan dengan itu bermaksud menegaskan, bahwa hukum itu mengucapkan suatu penilaian yang berlaku dengan syarat-syarat tertentu.14 Apabila A menyebabkan matinya orang, maka ia dipidana, harus membayar ganti kerugian, dan sebagainya. Ketentuan ini karena itu tidak tepat, karena dalam penilaian hipotetis diberikan keputusan mengenai apa yang terjadi, apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu; akan tetapi dalam hukum yang penting tidak mengenai apa yang terjadi, melainkan apa yang seharusnya terjadi. Kita tidak dapat membaca dalam undang-undang bahwa barang siapa menyebabkan kematian sungguh-sungguh dihukum, melainkan bahwa barang siapa menyebabkan kematian seharusnya dihukum. Syaratnya mengenai kenyataan pagina-17 (zija), kesimpulannya mengenai keharusan (moeten). Keterikatan yang tajam, yang khas terdapat pada penilaian hipotetis: “kalau A ada, maka B juga ada”, tidak ada di sini. Ada suatu loncatan di antara keduanya.
53
   Di dalam hukum terdapat yang seharusnya. Karena itu kita mengatakan tentang norma dalam hukum, adalah perintah dari pembentuk undang-undang. Banyak dipertengkarkan orang bagaimana kita harus mengartikannya, kepada siapa perintah itu tertuju, dan sebagainya. Menurut pendapat kita banyak dari tulisan-tulisan ini tidak banyak hasilnya; analisa yang terlalu tajam atau lebih tepat analisa yang terlalu mengabstrakkan mengakibatkan kesimpulan yang ruwet. Saya tidak dapat mengerti, bahwa pengetahuan kita menjadi diperdalam jika dalam penentuan dapat dihukumnya suatu perbuatan yang menyebabkan kematian tidak dilihat perintah untuk tidak membunuh, melainkan perintah untuk tunduk kepada pidana yang ditentukan terhadap kejahatan itu.15 Faktor itu memang ada, tetapi pertama-tama pembentuk undang-undang dalam ps. 338 W.v.S. membuat “kamu tidak akan membunuh” menjadi perintahnya. Bahwa perintah ini mengenal pengecualian-pengecualian (daya memaksa, keadaan memaksa) tidak menghilangkan sifatnya—apakah ada satu perintah yang bersifat umum, yang tidak mengenal pengecualian?
54
Menurut pendapat kita kita hanya dapat memperoleh pengertian yang mendalam, bilamana kita bertanya kepada diri kita sendiri, sebagai apakah hukum masuk ke dalam kesadaran kita, bagaimanakah kita harus memandang gejala historis perundang-undangan. Lalu kita akan menghadapi lagi suatu kekuasaan yang memaksakan kehendaknya, yang menghendaki kepatuhan, yang memerintah. Saya sama, sekali tidak membicarakan siapa yang mempunyai kekuasaan itu, juga tidak saya bicarakan apakah kita harus memikirkannya sebagai. pribadi (persoonlijk) atau tidak pribadi (onpersoonlijk). Akan tetapi di dalam undang-undang kita melihat berhadapan dengan kita, barangkali lebih tepat di atas kita, suatu kekuasaan, yang menghendaki suatu akibat tertentu, dan karena itu menetapkan peraturan. Bahwa karena itu merupakan peraturan tentang yang seharusnya suatu perintah. Undang-undang bicara kepada orang-orang yang tunduk kepadanya dengan kata-kata “kamu harus”, “kamu akan”, atau “kamu tidak akan”. Seluruh sepuluh angger-angger (Decaloog) tetap merupakan ciri dari undang-undang.
55
   Ini saya tempatkan di muka, karena saya beranggapan bahwa itu sangat fundamental untuk setiap penelaahan undang-undang, akan tetapi pendapat ini tidak saya uraikan lebih lanjut, pertama karena hal itu akan membawa saya pagina-18 terlalu jauh dari tujuan saya, tetapi juga karena undang-undang itu bagi hukum perdata hanya di tempat kedua pentingnya (sekunder). Sebab, apabila undang-undang itu perintah, maka undang-undang itu tidak hanya perintah, undang-undang itu tidak selalu perintah. Sebagian terbesar dari hukum perdata tidak dapat dikarakterisasi sebagai perintah. Hukum perdata memang perintah dalam ketentuan seperti ps. 298 al. ke-2 B.W.: “Orang tua diwajibkan mendidik dan memelihara anak-anaknya yang belum cukup umur”, juga dalam peraturan-peraturan yang karena jasanya ps. 1365 B.W. mempunyai sangsi dalam hukum perdata. Dan demikianlah masih banyak lagi. Akan tetapi kelirulah apabila kita melihat perintah dalam semua hukum. Untuk hukum pidana penemuan Binding16 bahwa setiap penentuan pemidanaan dapat diuraikan dalam perintah dan sangsi, tidak dapat diragukan merupakan penemuan yang penting. Penemuan Binding itu berkembang dengan suburnya, tetapi untuk hukum perdata tidak merupakan keuntungan ketika ajaran Binding itu juga diimpor ke dalam hukum perdata.17
56

§ 4 Sifat peraturan hukum, izin. Hukum obyektip dan hukum subyektip.

   Untuk hukum perdata ciri khasnya adalah tempat yang luas yang ditempati oleh hukum dalam arti subyektif. Kita mempergunakan istilah “recht” tidak hanya untuk peraturan, tetapi juga untuk kewenangannya. Jadi “recht” dapat berarti hukum, dapat berarti kewenangan. Kita mengatakan tidak saja bahwa di Negeri Belanda hukum mengharuskan, tetapi juga bahwa A atau B mempunyai “recht” (hak): di samping hukum dalam arti obyektif ada hukum dalam arti subyektif, atau di samping hukum obyektif ada hukum subyektif. Penggunaan bahasa yang sama juga kita dapatkan dalam bahasa-bahasa lain. Dalam bahasa Jerman istilah “recht”, “droit” dalam bahasa Prancis, jus dalam bahasa Romawi (Latin), mempunyai arti rangkap yang sama, yaitu hukum dan hak.
57
   Ini tentunya bukan kebetulan; penggunaan bahasa ini sudah menimbulkan dugaan, bahwa peraturan dan kewenangan merupakan pasangan yang tidak dapat dipisahkan, yang keduanya untuk werdi dari hukum mempunyai arti yang esensial. Namun demikian beberapa teori modem berusaha untuk pagina-19 menghilangkan hukum subyektif dari barisan pengertian-pengertian hukum:
En réalité il n'y a pas de droit subjectif (dalam kenyataannya tidak ada hukum subyektif)
bunyi pemyataan guru besar hukum tata negara Duguit18 yang kerap kali diulang-ulang; dia yang ingin jadi realis, lupa bahwa kenyataan dari hukum berulang kali menampakkan bentuk: “hukum subyektif”. Tetapi bukan hanya mereka yang ingin meniadakan hukum subyektif tidak menghargai arti dari pengertiannya, juga mereka yang bersedia mengakui adanya kewenangan-kewenangan dan tetap mengecapnya dengan kata “rechten”, akan tetapi bagaimanapun tidak melihat lain daripada suatu refleksi dari peraturan di dalamnya.
58
   Hukum memerintah, dari perintah lahir kewajiban untuk memenuhinya; refleks dari itu adalah bahwa pemenuhannya dapat dituntut, bahwa ada hukum dalam arti subyektif. Kewenangannya lalu kehilangan arti mandirinya. Khas untuk pandangan ini adalah bahwa konsekuensinya menyebabkan kewajibannya juga lalu disebut “recht” (hukum). Suatu konsekuensi yang memang diterima.19 Karena perintah itu terjadilah suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu, mereka yang ada dalam hubungan itu tersangkut dalam hukum, mempunyai hak. Seharusnya konsekuensi itu—seperti kebanyakan—dapat menunjukkan tidak dapat dipertahankannya ajaran itu. Barang siapa menamakan kewajiban itu recht ia bertentangan secara terbuka dengan recht sebagaimana itu memperlihatkan dirinya kepada kita dalam ucapan sehari-hari dan yang selama berabad-abad menampakkan dirinya seperti itu. Ilmu hukum tidak mempunyai kebebasan untuk mengesampingkan penggunaan bahasa yang begitu esensial itu.
59
   Akan tetapi kesulitannya lebih besar dari pada kesulitan penggunaan bahasa apabila kita ingin membuang hukum subyektif dari ilmu. Ini justru terbukti dalam hukum perdata. Teori bahwa hukum adalah peraturan adalah konsekuensi dari gagasan bahwa hukum adalah kehendak dari masyarakat yang teratur, yaitu negara. Negara memerintah, perintah itu adalah hukum. Hukum perdata—tidak dalam teori, akan tetapi dalam perkembangan sesungguhnya dalam yurisprudensi dan kehidupan hukum—tidak pernah menerimanya dan tidak dapat menerimanya tanpa membahayakan eksistensinya sendiri. Hukum adalah selalu pengaturan hubungan antara masyarakat dan individu, keduanya pagina-20 adalah kutub-kutub tempat setiap tatanan hukum bergerak di antaranya. Ajaran yang menyamakan hukum dengan perintah dari negara hanya melihat masyarakatnya dari pasangan yang dalam dualitasnya mempunyai arti yang prinsipial ini. Hanya masyarakat inilah yang merupakan data yang asli, individu memperoleh hak-haknya dari masyarakat itu. Apabila ini pada umumnya tidak tertahankan, maka yang paling berat terasa sudah tentu di bagian hukum yang keterikatannya kepada individu paling menonjol, yaitu dalam hukum perdata.
60
Itu kita lihat dengan jelas jika kita menyadari arti dari hukum subyektif dalam hukum perdata. Dalam hukum perdata kita menggunakan istilah itu tidak hanya untuk satu kewenangan saja, melainkan untuk satu kelompok kewenangan-kewenangan yang kesemuanya diperlakukan sebagai satu kesatuan. Kita tidak hanya mengatakan bahwa A berhak untuk menuntut suatu benda dari B, akan tetapi juga bahwa ia, mempunyai hak milik, yang berdasarkan hak milik itu ia boleh menguasainya, boleh memindahkan hak itu.
61
Berdasarkan hukum subyektiflah seluruh sistem hukum perdata itu dibangun; perlawanan hak kebendaan dan hak pribadi adalah suatu perlawanan antara hukum-hukum subyektif (hak-hak). Tatanan mengenai penguasaan atas tanah dan benda-benda berujud pada umurnya bertumpu pada hukum subyektif mengenai milik, hubungan-hubungan khusus terhadap benda-benda dipandang sebagai hak-hak khusus, pelanggaran-pelanggaran atas hak milik (hipotik dan pakai-hasil); hukum-hukum (onrecht) pertama-tama adalah pelanggaran atas hak orang lain; pergaulan terjadi oleh pemindahan hak-hak, pengaturan-pengaturan baru menimbulkan hak-hak baru (hak cipta, hak paten). Dalam hukum harta kekayaan kita tidak dapat melangkah satu langkahpun tanpa bekerja dengan pengertian hukum subyecktif. Lebih kuat/jelas lagi: kalau kita kembali, maka kita lihat, bahwa sistem yang begitu halus dari hukum perdata modem pada satu pihak bertumpu pada hubungan-hubungan yang dipandang sebagai hukum subyektif antara orang dan benda, yaitu hak milik, pada lain fihak bertumpu pada perlindungan yang juga dipandang sebagai hukum subyektif dari orangnya sendiri dalam kebebasannya untuk menentukan sendiri. Mengenai yang terakhir ini segera akan kita bicarakan lebih luas, tetapi lebih dulu masih akan saya kemukakan sesuatu mengenai hak milik.
62
   Aneh, bahwa belum pernah berhasil diberikan definisi yang baik mengenai hak milik. Orang tidak dapat mendefinisikannya lebih jauh dari pada: suatu kewenangan untuk pada umumnya-boleh menguasai, untuk boleh berbuat sekehendaknya dengan barangnya dalam-batas-batas hukum, dan selanjutnya. Ini dapat dimengerti. Suatu pengertian hanya dapat dirumuskan dengan pertolongan pengertian-pengertian lain. Hipotik dan pakai-hasil dapat pagina-21 dirumuskan dengan pertolongan hak milik. Akan tetapi hak milik sendiri tidak dapat dirumuskan justru karena pengertian hak milik itu primer, karena sifat umumnya dari penguasaan tidak memungkinkan penentuannya. Ingat, saya katakan sifat umumnya, bukan sifat mutlaknya. Di sini pernah terjadi banyak kekacauan.
63
Pada satu fihak orang berpendapat, bahwa sifat umum itu mengandung kemutlakan dalam dirinya, bahwa karenanya pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan-kewenangan pemilik sebetulnya tidak diizinkan, bertentangan dengan hukum; orang lupa bahwa sifat umum itu tidak pernah tanpa pembatasan dan bahwa mengenai luasnya pembatasan itu sifat umumya tidak menentukan apa-apa. Sifat dari hukum tidak menentukan isinya. Individu dan masyarakat adalah data yang asli dari setiap hukum. Hak milik menganggap bahwa individu bagi hukum sama nyatanya dengan masyarakat, sama nyatanya, tetapi tidak lebih dari itu. Hukum sebagai pengaturan masyarakat mengandung keharusan pembatasan hak milik. Mengenai luasnya pembatasan berbagai kurun waktu berpendapat lain. Akan tetapi pada lain fihak adalah suatu kebodohan, apabila pembatasan-pembatasan itu diperluas, maka dengan hilangnya kemutlakannya lalu juga sifat umumnya hak milik tidak diakui.
64
Zaman kita meneruskan pembatasan-pembatasan itu sampai jauh; tidaklah keliru jika orang mengatakan, bahwa hak milik itu digerogoti. Akan tetapi hak milik tidak dihapuskan; tidak dapat dihapuskan tanpa robohnya hukum perdata. Akhirnya tinggallah suatu bagian yang tidak dapat dirumuskan oleh setiap ketentuan. Andaikata penetapan, dengan lain perkataan penunjukan dalam peraturan-peraturan tentang apa yang dapat dilakukan oleh pemilik dengan bendanya itu mungkin, maka hak milik sendiri hapus.
65
   Suatu pernyataan sejenis dapat dilakukan untuk kepribadian (persoonlijkheid) sendiri dari individu yang dipandang sebagai hukum subyektif; perlindungan yang oleh hukum perdata diberikan kepada orang justru dalam perkembangan perbuatan melawan hukum (sikap hati-hati sebagaimana layaknya terhadap diri orang lain) memperlihatkan, bahwa juga di sini adalah suatu kompleks kewenangan yang mengakui dan membatasi hukum akan tetapi tidak mengaturnya dengan peraturan-peraturan.
66
   Apakah hasil akhir dari ini semua untuk tujuan kita? Sebab kita senang merumuskan sifat dari pengaturan keperdataan. Nampaknya kita meninggalkannya, dalam kenyataannya tidak demikian. Kesimpulan kita sebagai berikut: bilamana pembentuk undang-undang dalam ps. 570 B.W. merumus-kan hak milik dan melindungi hak milik itu, maka itu bukan suatu pemberian kewenangan, melainkan suatu pengakuan kewenangan; seolah-olah untuk sesaat ia berhenti pada waktu menata suatu bidang, membatasi dirinya sendiri pagina-22 dan selebihnya ia serahkan kepada individu. Bukannya “kamu harap” melainkan “kamu boleh” yang merupakan kata-kata yang ia ucapkan. Keharusan yang timbul dari situ untuk orang lain adalah sekunder; orang menjungkirbalik keadaannya kalau dalam hak milik orang pertama-tama ingin melihat suatu larangan gangguan yang ditujukan kepada setiap orang kecuali kepada si pemilik sendiri.
67
   Izin bagi peraturan hukum sama esensialnya dengan larangan. Izin itu dalam hukum perdata merupakan kepentingan yang tinggi sekali. Izin menganggap adanya hukum dalam arti subyektif.Akan tetapi pada tingkat kedua dari paragraf ini kita masih dapat menarik kesimpulan yang menyebabkan paragraf ini bersambungan dengan paragraf kedua; gejala yang dinamakan hukum tidak hanya memuat peraturan-peraturan, melainkan juga kewenangan-kewenangan. Kita akan kembali lebih lanjut kepada soal itu lagi, akan tetapi kita akan meneruskan dulu penyelidikan terhadap setiap peraturan.
68

§ 5 Sifat peraturan hukum. Janji.

   Hukum membiarkan kepada manusia individual suatu lingkungan, yang dia sendiri dengan bebas menentukan penataannya, yang dipatuhinya sendiri. Tidak hanya bahwa ia bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang akibat-akibatnya dirumuskan oleh undang-undang, melainkan dalam arti yang lebih luas, karena kebebasan itu ada padanya untuk menentukan sendiri pengaturannya yang nampaknya paling baik bagi dirinya. Contoh untuk yang pertama adalah hukum perkawinan dan contoh untuk yang kedua adalah hukum harta perkawinan. Apakah seseorang akan kawin, ia boleh menentukannya sendiri; tetapi kalau ia kawin maka undang-undang menentukan kewajiban suami-isteri terhadap satu sama lain.
69
Sebaliknya pengaturan hukum harta kekayaan: kebersamaan atau sesuatu yang lain, dapat ditentukan oleh fihak-fihak sendiri. Yang terakhir inilah yang saya maksudkan. Dengan perjanjian atau surat wasiat, juga dengan beberapa pernyataan sefihak, individu ikut serta dalam pembentukan hukum. Pengaturan perjanjian—untuk gampangnya selanjutnya saya membatasi diri dengan perjanjian—mengikat orang yang mengadakannya sebagai undang-undang. Kewajiban-kewajiban itu tidak ditentukan dari atas, melainkan orang yang terikat mewajibkannya kepada dirinya sendiri.
70
   Tetapi, orang dapat bertanya: apakah keterikatan ini akhirnya bukan keterikatan kepada peraturan hukum yaitu peraturan bahwa perjanjian-perjanjian itu mengikat, bahwa perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi fihak-fihak seperti yang ditegaskan oleh ps. 1138 KURPerd.? Pasti, itu pagina-23 ada dalam undang-undang, akan tetapi isi peraturan ini bukan undang-undang yang memberikannya, melainkan kehendak para fihak dan keterikatan kepada peraturan itu adalah sesuatu yang lain daripada keterikatan kepada peraturan untuk tidak merusak barang orang lain misalnya. Pada yang terakhir itu kewajiban itu timbul karena pelanggaran terhadap perintah pembentuk undang-undang, sedangkan pada perjanjian kewajiban itu diletakkan sendiri oleh fihak-fihak kepada dirinya dan ditentukan ruang lingkup serta daya kerjanya.
71
Ada kalanya orang menyatakan, bahwa tidak dari perjanjian timbulnya kewajiban, melainkan bahwa tidak dipenuhinya perjanjian itu sebagai delik mewajibkan si kontraktan mengganti kerugian, akan tetapi pada gambaran ini tetap tidak diterangkan mengapa tidak dipenuhinya perjanjian itu menjadi melawan hukum; barang siapa berpendapat demikian, sudah menerima sebagai benar, bahwa menurut hukum pemenuhan itu adalah wajib, jadi bahwa perjanjian itu mengikat, menciptakan hukum. Gambaran ini memang bertentangan secara langsung dengan peraturan dari kitab undang-undang sekarang bahwa tidak hanya karena tidak dipenuhinya perjanjian dapat diminta ganti kerugian tetapi bahwa fihak yang mengadakan kontrak mempunyai hak tertentu. Perjanjian menciptakan hak—perumusan undang-undang kita: perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi fihak-fihak adalah tepat sekali.
72
   Di dalam perintah, yang di dalam peraturan ini oleh undang-undang diberikan kepada orang-orang yang tunduk kepadanya, terletaklah pengakuan dari bentuk yang lain dari hukum. Disini orang juga dapat menemukan kembali sifat “kamu harus” dari hukum, akan tetapi “kamu harus” ini adalah pantulan pada bentuk lain, pada “saya akan” yang diucapkan sendiri oleh orang yang berkewajiban. Individu itu terikat tidak hanya oleh perintah dari mereka yang di dalam masyarakat mempunyai kekuasaan, melainkan juga oleh janji yang ia perjanjikan/ucapkan sendiri. Ucapannya sendirilah yang di sini mengikat, akan tetapi ucapan/kata-kata yang ditujukan kepada orang lain; saya harus membayar, tidak karena saya menghendakinya, melainkan karena saya telah berjanji, dalam arti kehendak itu saya nyatakan di hadapan orang lain.
73
Di sini bukan tempatnya untuk membahasnya lebih lanjut,20 akan tetapi saya benar bahwa setiap janji, bahkan setiap janji yang diterima akan mengikat. Dalam perkembangan sejarah hukum, perjanjian hanya secara perlahan-lahan dan dengan susah-payah memperoleh/merebut tempat dan juga sekarang tidak setiap janji itu mengikat. Justru kebalikannya, juga di sini perkembangannya lebih menuju ke arah pembatasan dari pada ke arah perluasan; dalam pagina-24hubungan antara pekerja dan majikan kita lihat janji itu merosot oleh pengaturan yang ditetapkan dari atas, meskipun tidak selalu dari pembentuk undang-undang. Dan juga di bidang-bidang lain pembatasan kebebasan berkontrak itu menjadi-jadi.
74
Akan tetapi ini tetap suatu kenyataan, bahwa sepanjang hukum mengizinkan kepada individu dengan pengaturannya sendiri membentuk hukum, maka kata/ucapan orang yang terikat sendirilah yang menyebabkan dia diwajibkan. Justru seperti halnya pada hak milik: mengenai tempat yang ditempati oleh perjanjian sebagai sumber hukum orang dapat berbeda pendapat dan setiap hukum positif mempunyai pengaturannya sendiri untuk itu, akan tetapi selama hukum perdata ada, selama individu tidak sepenuhnya tunduk kepada masyarakat, maka bentuk hukum ini mempunyai artinya sendiri. Suatu hidup bersama hanyalah mungkin bilaman manusia yang satu dapat mempercayai kata/ucapan dari manusia yang lain.
75
   Ada baiknya untuk menyelidiki seberapa jauh pendapat-pendapat dalam hal ini sudah berubah. Sebelum abad ke-19 keterikatan kepada perjanjian itu adalah sesuatu yang dengan sendirinya demikian, suatu aksioma yang tidak butuh penjelasan; apa yang ia butuhkan adalah wibawa yang menuntut kepatuhan dalam undang-undang; orang mengira dapat menemukannya dengan jalan mengembalikannya wibawa ini ke perjanjian, ke penundukan sukarela dari warga negara. Dari semua usaha dalam jurusan ini yang paling terkenal adalah Contrat Social dari Roussaeau. Ajaran individualistisnya menyebabkan/mengakibatkan dalam praktek revolusi Prancis kekuasaan mutlak dari negara dan bersamaan dengan kekuasaan mutlak dari negara itu kekuasaan tunggal dari undang-undang. Ilmu dari abad ke-19 berjalan terus dalam arah ini dan sekarang menjadi terbalik: keterikatan kepada perjanjianlah yang membutuhkan penjelasan.
76
   Sebab apabila undang-undang, pengaturan yang diberikan oleh wibawa negara, merupakan sumber dari semua hukum, bagaimana mungkin pembentuk undang-undang yang diberi kekuasaan melepaskan sebagian dari pengaturan itu dan menyerahkan kepada individu yang barangkali tidak begitu cakap/mampu untuk pekerjaan itu? Apa jaminannya, bahwa individu-individu ini akan menciptakan pengaturan-pengaturan yang justru diharapkan oleh pembentuk undang-undang? Di dalam perjoangan kepentingan pribadi pada kedua belah fihak itulah akan diketemukan pengaturan yang dikehendaki itu dengan jalan memberi dan menerima, demikianlah pendapat orang. Akan tetapi pertama-tama fihak-fihak itu tidak berdiri berhadapan sebagai sesamanya barangkali yang satu lebih trampil, lebih kuasa daripada yang lain dan juga apabila mereka sama, apakah dengan demikian juga dapat dikatakan bahwa pengaturan mereka itu pengaturan yang adil? Apakah kebalikannya setidak-tidaknya tidak mungkin sama? Apakah hanya kemustahilan untuk mengatur segalanya yang memaksa untuk menyerahkan kepada fihak-fihak sendiri untuk menemukan pengaturan yang tepat di sini?
Page 25
77
   Burckhardt, yang juga mengemukakan pertanyaan ini, mencari jawabnya dalam penunjukan kepada aktivitas dari individu-individu, yang dengan demikian tergugah.21 Jawabnya tidak dapat memuaskan; sebab rangsangan untuk aktivitas itu, suatu dorongan untuk sikap politik hukum dari kekuasaan pembentukan undang-undang dapat diharapkan, tetapi rangsangan itu tidak pernah menentukan untuk pertanyaan apakah isi perjanjian itu hukum. Kita tidak menerangkan bagaimana sesuatu itu hukum dengan menunjuk kepada dorongan seperti itu. Dari situ paling jauh dapat berakibat: meskipun itu bukan hukum, akan tetapi diperlakukan sebagai hukum. Burckhardt sendiri merasakan ini: ia mengatakan tentang
Einbruch der Willkür in das Gebiet des Rechts.
Maka dalam pengaturan-pengaturan kontraktual yang dipergunakan oleh fihak-fihak ia tidak dapat melihat lain daripada kesewenang-wenangan.
78
Dengan demikian ia bertentangan dengan apa yang diperlihatkan oleh kenyataan dari hukum: keterikatan kepada perjanjian dialami sebagai hukum, peraturan perjanjian diperlakukan sebagai peraturan hukum. Penulis Swis itu tidak mau tahu mengenai hal itu; ia menghendaki bahwa perjanjian hanya ditafsirkan menurut kehendak dari fihak-fihak. Praktek selalu lain, dan harus lain, meskipun hanya karena kerapkali sedikit sekali maksud itu terbukti. Penafsiran dan pelengkapan pengaturan kontraktual itu lalu terjadi dengan analogi dari pengaturan undang-undang; bukannya apa yang dimaksudkan oleh fihak-fihak yang menentukan, melainkan apa yang menurut pendapat dari si penafsir seharusnya dimaksudkan yang menentukan. Penafsiran dan penetapan dari akibat hukumnya campur aduk. Kita melihatnya lagi dalam prosedur kasasi, yang dengan sia-sia memusingkan kepala untuk menemukan di sini pemisahan yang pantas antara apa yang fakta dan yang hukum. Andaikata di sini hanya kesewenang-wenangan, bagaimana akan dapat dikatakan perjanjian-perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik, bagaimana akan dapat dikatakan ikut terikatnya kepada apa yang dibawa serta oleh kelayakan? Namun demikian, sekarang peraturan-peraturan ini menguasai persengketaan-persengketaan mengenai kewajiban-kewajiban yang lahir dari perjanjian. Pengaturan kontrak adalah peraturan hukum.
79
   Akan tetapi apabila jawaban atas pertanyaan “mengapa peraturan hukum” tidak dapat diberikan dengan cara membuat dapat diterimanya bahwa kesewenang-wenangan di sini berlaku sebagai hukum, dan apabila setiap jawaban, yang mencari dalam isi pengaturannya dianggap tidak cukup apa yang menentukan untuk pertanyaan apakah itu hukum atau tidak itu, maka kita harus bertanya kepada diri sendiri apakah bukan problemanya yang salah mengajukannya. Memang, apabila kita harus memutuskan apakah isi dari peraturannya selalu memenuhi syarat-syarat kelayakan, maka kita berulangkali harus mengingkarinya, lebih banyak harus tetap tinggal dalam keragu-raguan yang membiarkan pertanyaannya tidak terjawab. Akan tetapi pagina-26 apakah kita tidak dapat menyingkirkan segala keragu-raguan dengan menyatakan, bahwa perjanjian itu mengikat karena perjanjian itu janji, seperti halnya undang-undang itu mengikat karena undang-undang adalah perintah dari pembentuk undang-undang? Tidak dalam isinya, melainkan dalam asal dari pernyataan kontraktuallah terletak sifat hukumnya. Akan tetapi lalu alasan lebih lanjut mengapa pernyataan itu mengikat, tidak mungkin.
80
   Barang siapa mencari alasan itu, maka berpangkal pada gagasan bahwa perjanjian harus membuat dirinya bertanggungjawab di muka undang-undang. Akan tetapi, meskipun undang-undang terus-menerus mengatur dan membatasi kebebasan berkontrak, bahwa suatu janji itu mengikat akhirnya tidak dapat diterangkan lain selain dari fakta bahwa janji adalah janji. Hukum memberi pengaturan mengenai hubungan individu dengan masyarakat, jadi juga hubungan individu-individu satu sama lain dalam suatu masyarakat tertentu. Antara individu-individu itu terjadi suatu hubungan karena perkataan yang mereka tujukan kepada satu sama lain. Keterikatan kepada perkataan itu tercakup dalam hubungannya sendiri, sama seperti keterikatan kepada perintah yang berasal dari kekuasaan dalam masyarakat tercakup dalam eksistensi masyarakat hukum. Ilmu hukum tidak dapat memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai keterikatan itu.
81
   Di sini bukanlah tempatnya untuk membahas semua ini lebih lanjut. Sebagai penjelasan saya hanya akan menunjuk, bahwa dalam hukum antar bangsa, betapapun tidak pastinya banyak hal di situ, namun satu hal adalah pasti, bahwa orang yang menandatangani traktat, suatu perjanjian antar negara, tunduk kepada traktat itu. Disitu untuk sementara tidak ada undang-undang yang memerintah. Bagaimana kita dapat mengerti ini bilamana keterikatan ini tidak sama mempunyai arti asali (oorspronkelijk) seperti arti analisanya perintah dari penguasa? Dan ini bukan satu-satunya gejala, yang begitu jelas dapat dimengerti.22 Akan tetapi saya tidak dapat menyelaminya lebih lanjut. Hanyalah perlu bahwa saya menunjukkan hal-hal ini, karena kita sekarang begitu mudah cenderung untuk melihat semua hukum itu dalam peraturan, terutama dalam peraturan yang dikukuhkan oleh negara dan bahwa gambaran inilah yang harus kita tinggalkan, bilamana kita ingin mendapatkan pengetahuan mendalam dalam hukum, yaitu dalam hukum perdata.
82
   Untuk hukum perdata pembentukan hukum individual mendapat tempat yang penting. Di samping peraturan-peraturan, hak-hak subyektif dan keputusan-keputusan, pembentukan hukum individual itu mempunyai arti tersendiri. Tidak hanya karena alasan itu perlunya menyadari hal ini, juga pagina-27 untuk pengertian yang baik dari sebagian besar peraturan-peraturan sendiri hal itu bermanfaat.23
83

§ 6 Sifat peratutran hukum, hukum pelengkap. Penilaian dan penataan.

   Peraturan-peraturan hukum perdata untuk sebagian besar adalah petunjuk-petunjuk mengenai batas-batas kebebasan dan kewenangan individual untuk membentuk hukum. Masyarakat mempermudah individu, menunjukkan bidang yang boleh ia kuasai, menetapkan jaminan-jaminan yang ia butuhkan untuk menjadi yakin, bahwa pernyataan orang yang bersangkutan memang pernyataan kehendak dan mengecamkan pada dirinya, bahwa juga dalam isi pengaturannya ia harus tetap tinggal dalam batas-batas tertentu. Namun, jika peraturan-peraturan ini merupakan peraturan-peraturan yang terpenting dalam hukum pergaulan, peraturan-peraturan ini bukan peraturan-peraturan yang terbesar jumlahnya. Jauh lebih banyak jumlah peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang dalam hal fihak-fihak sendiri tidak menentukan pengaturannya. Pembentuk undang-undang bertitik tolak dari gagasan, bahwa individu-individu boleh membuat peraturan itu sendiri menurut yang dianggap baik, akan tetapi secara subsider pembentuk undang-undang menunjukkan apa yang akan berlaku bilamana peraturan sendiri itu tidak ada. Orang menyebut peraturan-peraturan ini: hukum pelengkap atau hukum dispositif dan melawankannya dengan hukum pemaksa. Masing-masing dari kedua istilah ini merupakan ciri khas dari sebagian peraturan-peraturan yang saya maksudkan.
84
Mungkin pembentuk undang-undang untuk suatu hubungan yang diatur secara kontraktual hanya melengkapi apa yang tidak ada dalam perjanjian yang diadakan oleh fihak-fihak. Mengenai harga pembelian dan bendanya fihak-fihak bersepakat, akan tetapi selanjutnya mereka tidak menentukan apa-apa; maka berlakulah peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan dan pembebasan terhadap gangguan dari luar. Juga mungkin, bahwa pembentuk undang-undang tidak menyerahkan pengaturannya materi tertentu kepada fihak-fihak, melainkan mengaturnya sendiri, akan tetapi menyerahkan penggunaannya kepada fihak-fihak; mereka boleh menyimpang dari peraturan-peraturan itu. Perkawinan mengakibatkan pagina-28 terjadinya kebersamaan harta, akan tetapi calon suami-isteri boleh menentukan lain. Dalam kasus yang pertama ada hukum yang dibentuk secara individual, yang dilengkapi, dalam kasus yang kedua ada peraturan hukum yang mungkin menyimpang dari peraturan yang diperjanjikan.
85
   Bagaimanakah sifat dari peraturan-peraturan ini?
   Sudah jelas, bahwa peraturan-peraturan ini bukan perintah-perintah yang ditujukan kepada orang-orang yang tunduk kepada undang-undang. Undang-undang tidak mengatakan: harus ada kebersamaan harta antara suami-isteri, melainkan akan ada kebersamaan harta, bilamana kalian tidak mengatur lain. Suatu perintah dengan pemberitahuan “kamu juga dapat mengatur lain” tidak ada gunanya. Ajaran yang menjabarkan semua hukum dalam perintah-perintah, tidak pernah akan memperoleh pengaruh yang sebesar itu, andaikata orang tidak hanya memperhatikan hukum pidana, melainkan juga memperhatikan hukum perdata.
86
   Namun kalau itu bukan perintah lalu apa? Untuk menetapkan sifat dari peraturan itu kita coba dulu untuk menunjukkan apakah perintah itu. Barang siapa memerintah, ia menggambarkan suatu keadaan di masa yang akan datang, yang ia pandang baik atau tidak baik, yang ia kehendaki atau tidak ia kehendaki. Selanjutnya ia harus mempunyai kekuasaan, dan juga harus mau menggunakan kekuasaan itu untuk menyuruh orang lain merealisasi keadaan yang ia kehendaki itu. Untuk keperluan itu ia memaksakan kehendaknya pada orang-orang bawahannya, ia memerintah. Jadi ada suatu penilaian dan penerapan kekuasaan yang bertumpu pada penilaian itu. Di dalam hukum pelengkap kedua faktor ini juga ada, akan tetapi berbeda: penilaiannya lebih lemah, penerapan kekuasaannya bersifat lain daripada dalam hukum pemaksa.
87
Juga pembentuk undang-undang yang mewajibkan kebersamaan harta sebagai hukum dispositif, menganggap keadaan yang terjadi pada pengaturan seperti itu pada umumnya yang paling baik. Ia sadar, bahwa keadaan-keadaan dapat bersifat sedemikian rupa, sehingga penilaiannya tidak tepat lagi, karena itu ia mengizinkan penyimpangan. Dikehendakinya pengecualian-pengecualian selalu dapat dipikirkan, akan tetapi pada peraturan pemaksa pembentuk undang-undang sedemikian yakin akan tepatnya apa yang di wajibkan itu, sehingga ia bagaimanapun menerima keberatannya. Di dalam hukum pelengkap lain keadaannya; karena penilaiannya lebih lemah, maka pelaksanaan kekuasaannya juga lain. Pembentuk undang-undang tidak memerintah lagi, melainkan ia “mewajibkan” dalam arti harfiah, menetapkan suatu pedoman. Oleh hubungan kekuasaan yang ada antara pembentuk undang-undang dan hakim, pedoman ini secara tidak langsung mendapat kekuatan mengikat bagi individu-individu. Apabila mereka ini mempunyai perselisihan, maka hakim diwajibkan untuk memutus sesuai dengan pedoman itu.
88
   Di dalam hukum pemaksa terdapat perintah rangkap: satu kepada individu yang tunduk kepada undang-undang, satu kepada perlengkapan negara yang pagina-29 dibebani dengan penegakan undang-undang. Pada hukum pelengkap hanya terdapat perintah yang kedua. Kepada individu tidak diberikan suatu perintah. Individu-individu dapat berbuat lain. Apabila mereka tidak menggunakan kewenangan mereka, maka hakim harus mengikuti pedoman yang oleh pembentuk undang-undang diletakkan dalam tangannya. Akan tetapi orang merasa bahwa menuruti pedoman ini adalah sesuatu yang lain daripada melaksanakan suatu perintah. Tidak dapat diragukan bahwa yang pertama menuntut sikap yang lebih luwes daripada yang kedua. Sama sekali tidak ada pematuhan mutlak seperti yang dikehendaki oleh perintah. Kita akan lihat betapa pentingnya hal ini pada penemuan hukum.
89
   Di sini masih harus diperhatikan segi yang lain dari hukum pelengkap, terutama segi dari hukum pelengkap dalam arti yang lebih sempit: pelengkapan peraturan perjanjian. Ini bukannya hanya penilaian, melainkan juga penataan. Sampai sekarang kita mempunyai gambaran, bahwa pembentuk undang-undang memberikan perintah-perintah atau peraturan-peraturan tertentu, karena ia menghendaki keadaan-keadaan tertentu. Ia menganggap baik, apabila dilaksanakan apa yang ia kehendaki, yang ia cari adalah keadilan. Apa arti tepatnya, untuk sementara tidak kita bicarakan, penunjukan kepada keadilan di sini saya harapkan cukup untuk menegaskan bahwa ini adalah persoalan penilaian, suatu syarat etis.
90
Di dalam hukum pelengkap hakim juga memberikan peraturan-peraturan, bukannya karena isinya, melainkan karena lebih baik jika diadakan pengaturan, entah yang mana, daripada tidak pasti apa yang sekarang terjadi. Dari uraian sebelumnya sudahlah jelas, bahwa penem uan hukum itu tidak selalu sederhana—mungkin penting untuk menghapuskan keragu-raguannya. Berhubung dengan keharusan berbuat untuk fihak-fihak tanpa adanya waktu dan mungkin bahkan tanpa adanya kemungkinan untuk menyelidiki apa yang tepatnya harus terjadi, maka sebaiknya ada jawaban tertentu mengenai apa yang seharusnya terjadi. Kepastian hukum adalah suatu nilai tersendiri dan juga kepastian hukum inilah yang oleh pembentuk undang-undang diusahakan dkapai dalam hukum pelengkap; kepastian hukum pada tingkat tertentu dapat lebih penting daripada hukum sendiri. Sebagian dari ketentuan-ketentuan mengenai hukum perjanjian hanya demi kepastian itu.
91
Untuk memberikan suatu contoh: apabila pembentuk undang-undang menentukan, bahwa debitur harus membayar hutangnya di rumah kreditur (ps. 1393 B.W.) maka hal itu bukannya karena ia memandang lebih baik bahwa debitur mengadakan perjalanan ini, melainkan karena perlu untuk ditentukan, siapa yang harus melakukannya. Di dalam peraturan-peraturan lain yang dituju adalah penataan dan penilaian: perkaranya harus diatur, karena itu lebih baik ini daripada yang lain, akan tetapi perbedaannya tidak besar.
92
   Pada penataan pembentuk undang-undang bertitik tolak dari yang diperkirakan dari Bilamana ps. 1769 B.W. menentukan, bahwa pada pemenuhan jumlah pokoknya tanpa restriksi bunga si debitur juga dibebaskan pagina-30 dari yang akhir itu, maka ia melakukan ini karena ia menganggap sebagai benar pemenuhan bunga. Dalam pasal ini hal itu dicantumkan, akan tetapi tidak selalu demikian halnya. Akibatnya adalah, bahwa peraturannya tidak berlaku bila terbukti kebalikannya, juga meskipun fihak-fihak tidak tegas-tegas menyimpang.
93
   Pada hukum pelengkap pembentuk undang-undang bekerja seperti halnya hakim bekerja pada penafsiran perjanjian-perjanjian. Pada satu fihak ia mendasarkan diri pada kehendak yang diucapkan dan mencari apa yang menurut maksud dari fihak-fihak diduga termuat dalam ucapan itu—sampai sejauh ini penyelidikannya bersifat historis dan psikologis—pada lain fihak ia menetapkan apa yang boleh dikatakan layak dan adil mengikat persyaratan-persyaratan kehendak dari fihak-fihak, maka kegiatannya ini adalah kegiatan penilaian dan penemuan hukum.
94
   Sangatlah tidak tepat untuk meniadakan yang akhir ini dan hanya melihat kehendak yang diperkirakan dari fihak-fihak dalam hukum pelengkap. Di dalam hukum dispositif dalam arti yang lebih sempit tidak pernah kehendak fihak-fihak ini yang menjadi motivasinya. Pembentuk undang-undang membuat kebersamaan harta menjadi hukum harta perkawinan menurut undang-undang bukannya karena perkiraan bahwa mayoritas dari mereka yang kawin menghendakinya,—apa tahu mereka mengenai kebalikan: kebersamaan atau tidak ada kebersamaan?—melainkan karena ia, pembentuk undang-undang menganggap bentuk hukum harta perkawinan inilah yang paling baik, yang paling adil.
95
Akan tetapi juga di dalam hukum pelengkap dalam arti yang lebih sempit, penilaiannya lebih diutamakan dari pada penataannya. Arti kehendak yang diperkirakan dari fihak-fihak kerap kali tidak lebih daripada kehendak yang negatif. Pembentuk undang-undang menciptakan peraturan bukannya karena ia menduga bahwa fihak-fihak menghendakinya, akan tetapi ia tidak membuat peraturan-peraturan pelengkap, bilamana ia menduga, bahwa mereka tidak akan mau menerimanya. Sebab kalau ia tidak bersikap demikian, maka ia juga tidak akan mencapai apapun. Undang-undang kita mengenal cukup bukti-bukti mengenai pengaturan-pengaturan yang gagal seperti itu, ingat misalnya kepada ketentuan-ketentuan dalam ps. 1592 B.W. tentang pengurangan sewa dalam hal panenan gagal, ketentuan-ketentuan-yang dalam praktek selalu dikesampingkan.
96
   Betapa dominannya usaha untuk mencapai keadilan dibandingkan dengan usaha untuk mencapai kepastian hukum24 juga dalam hukum pelengkap, pagina-31 akan terbukti apabila orang melihat kepada pengaturan-pengaturan baru yang dibuat dalam masa kita. Maka pertentangan mengenai hukum pelengkap lalu mengenai apa yang paling baik dan tidak mengenai apa kebiasaannya. Ingatlah kepada perjanjian kerja dan perseroan terbatas.
97
   Ini kelihatan jelas, apabila pembentuk undang-undang menetapkan suatu ketentuan yang pada satu fihak orang boleh menyimpanginya, pada lain segi orang tidak boleh menyimpanginya, suatu ketentuan seperti ps. 1603s B.W. tentang penggantian kerugian pada pemutusan perjanjian kerja secara melawan hukum. Jumlahnya tidak boleh ditetapkan lebih rendah daripada ketentuan dalam undang-undang sehingga merugikan buruh. Sampai sejauh ini ketentuan itu merupakan hukum pemaksa. Kalau merugikan majikan jumlah itu boleh lebih rendah dari pada ketentuan undang-undang, sehingga peraturan itu mempunyai sifat pelengkap. Bagaimana mungkin terhadap satu fihak ketentuan itu merupakan kehendak yang diperkirakan dan terhadap yang lain merupakan penilaian? Di sini tidak ada kehendak yang diperkirakan: untuk kedua kasus pembentuk undang-undang berpendapat bahwa peraturan dialah yang adil; hanya di fihak buruh ia berpendapat bahwa peraturannya itu begitu adilnya, sehingga harus diwajibkan; majikan dibiarkan untuk menerima lebih sedikit.
98
   Dan terutama sifat penilaian ini terbukti, bilamana pembentuk undang-undang dalam bentuk tertentu mengizinkan penyimpangan. Lagi-lagi pengaturan perjanjian kerja memberikan contoh-contoh. Dari berbagai-bagai peraturan (ps. 1602 misalnya) dapat diadakan penyimpangan, akan tetapi hanya secara tertulis atau dengan reglemen. Kemudian pembentuk undang-undang tidak mau melangkah sejauh itu bahwa ia memaksakan kehendaknya, melainkan ia mengharapkan, bahwa fihak-fihak akan sadar betul mengenai penilaian pembentuk undang-undang, sehingga untuk menyimpanginya mereka memilih bentuk yang sedemikian rupa yang membuktikan kesadaran itu. Disini adalah khas sifat dari penilaian: lebih daripada hukum pelengkap yang biasa, kurang daripada hukum pemaksa. Ini adalah hukum semi-pemaksa.
99
Demikianlah hukum pelengkap terletak di antara perintah yang memaksa dari pembentuk undang-undang dan keterikatan yang bertumpu pada janji. Dengan mencari janji-janji yang diperkirakan, yang tidak diucapkan, maka pagina-32 hukum pelengkap menyangkut yang terakhir—karena hukum pelengkap mengandung penilaian dari pembentuk undang-undang, maka hukum pelengkap menyangkut yang pertama. Ada pengakuan mengenai keterikatan pada janji di dalamnya, karena hukum pelengkap itu mundur segera apabila terbukti adanya pernyataan dalam arti yang lain, itu sekaligus merupakan penilaian dari alat-alat perlengkapan masyarakat, yang tetap dilaksanakan meskipun lewat jalan tidak langsung. Andaikata di samping “kamu harus”, “kamu boleh”, “saya akan” dalam paragraf-paragraf sebelumnya juga disini kita harus menetapkan rumus yang pendek seperti itu, maka tidak dapat lain daripada rumus “seharusnya” yang sifatnya jauh lebih lemah.
100

§ 7 Hukum pelengkap dan hukum pemaksa; Lanjutan ketertiban umum dan tatasusila, sanksi.

   Apabila dalam paragraf sebelumnya kita menunjukkan apa perbedaan antara hukum pemaksa dan hukum pelengkap menurut sifatnya, maka sekarang kita akan berhenti sejenak pada pertanyaan, kapankah suatu peraturan tertentu itu peraturan pemaksa. Suatu kriterium umum untuk itu tidak dapat diberikan. Apakah suatu peraturan itu memuat hukum pemaksa ataukah hukum pelengkap adalah persoalan interpretasi. Ps. 23 AB. yang harus kita pakai sebagai pedoman, tidak menolong kita. Bilamana undang-undang mengatakan: “Undang-undang yang berhubungan dengan ketertiban umum dan tatasusila tidak dapat dihilangkan kekuatannya oleh perbuatan-perbuatan atau perjanjian-perjanjian”, tidak mengatakan lain daripada bahwa hukum pemaksa adalah hukum pemaksa.
101
Kapankah suatu undang-undang berhubungan dengan ketertiban umum atau tatasusila? Penunjukannya tidak membawa kita lebih jauh. “Ketentuan umum” adalah istilah yang dipergunakan orang apabila orang akan menunjukkan bahwa kepada suatu norma diberikan bobot khusus. Di dalam hukum perdata internasional istilah ketertiban umum berguna untuk menunjukkan, bahwa di antara peraturan-peraturan yang berlaku dalam negara ini ada yang begitu penting, sehingga peraturan itu harus diterapkan, juga bilamana menurut peraturan umum hubungan itu akan dikuasai oleh hukum asing. Di dalam hukum acara istilah itu harus menunjukkan peraturan-peraturannya yang harus diterapkan oleh hakim, juga bilamana fihak-fihak tidak mengemukakannya untuk diterapkan. Dalam hukum perdata istilah itu tidak bertujuan lain daripada untuk mengkarakterisasi peraturan-peraturan hukum pemaksa; belum pernah ada orang yang berhasil menarik kriterium dari pengertian “ketertiban umum” yang akan ada manfaatnya bagi pembedaan antara hukum pemaksa dan hukum pelengkap. Bersifat “ketertiban umum” dan “pemaksa” adalah sinonim dalam hukum perdata.
Page 33
102
   Mengenai tatasusila, undang-undang mempergunakan istilah ini berulang-ulang, bilamana ia akan menunjuk kepada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis. Suatu perjanjian adalah batal, bilamana obyeknya bertentangan dengan tatasusila. (ps. 1337 B.W.). Di dalam surat wasiat suatu syarat yang bertentangan dengan tatasusila dianggap tidak pernah ada (ps. 888 B.W.), suatu perhimpunan tidak boleh mempunyai tujuan yang bertentangan dengan tatasusila (ps. 1653 B.W.), dan sebagainya. Di sini hakim diperintahkan untuk mencari hukumnya; juga peraturan-peraturan ini bersifat pemaksa. Dalam ps. 23 AB nampaknya istilah ini mempunyai maksud lain, sebab pasal itu tidak menempatkan tatasusila dan undang-undang, peraturan tidak tertulis dan peraturan tertulis berdampingan (sejajar) satu sama lain, melainkan mengatakan mengenai ketentuan undang-undang yang berhubungan dengan tatasusila. Apa artinya itu di samping ketertiban umum, tidak jelas. Jadi ada alasan untuk membaca ps. 23 menurut cara yang dipergunakan oleh Planiol25 mengubah pasal dari Code yang berhubungan dengan itu:
Un acte juridique est nul s'il est contraire soit aux lois qui intéressent L'ordre public, soit aux bonnes moeurs.
103
   Ini tidak begitu penting. Apabila ps. 23 sudah tidak mempunyai maksud itu, ketentuan-ketentuan dari B.W. menetapkan batas-batas kepada kewenang-an-menguasai dari individu. Ps. 23 tidak lain daripada mengingatkan bahwa ada hukum pemaksa. Pembentuk undang-undang dapat memerintah; dia sekali lagi mencamkan, bahwa ia kadang-kadang memerintah, juga bahwa ia mengakui bahwa di dalam hukum dapat terdapat perintah semacam itu, juga meskipun pembentuk undang-undang tidak merumuskan normanya dengan tegas-tegas. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa kepada norma yang diberikan bertentangan dengan perintah pembentuk undang-undang ia selalu mengkaitkan sanksi kebatalan, sanksi tidak adanya janji. “Kamu tidak akan menipu pada waktu kamu membuat perjanjian” sama perintahnya seperti: “Kamu tidak akan mendorong seorang pejahat untuk melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan wajib jabatannya dengan memberinya uang”.
104
Namun dalam peristiwa yang akhir itu perbuatan tersebut batal dalam arti bahwa baik si pejabat maupun mitra kontraktannya tidak terikat, sedangkan dalam peristiwa yang pertama hanya orang yang tertipulah yang tidak perlu merasa dirinya terikat. Perbuatan itu, kata orang, dapat dibatalkan (bandingkan ps. 1334 dengan ps. 1328 jo. 1449 B.W.). Hukum tidak akan mencapai tujuannya, apabila si penipu juga boleh mengemukakan ketidaksabarnya sebagai akibat pelanggaran perintah undang-undang. Di samping perintah-perintah, izin-izin dan ketentuan-ketentuan untuk melengkapi hukum janji, undang-undang perdata masih memuat sanksi-sanksi, dalam arti peraturan-peraturan mengenai akibat hukum dari pelanggaran norma hukum atau tidak dipenuhinya janji. Jadi sarana-sarana tidak langsung untuk pagina-34 memaksakan apa yang diwajibkan oleh hukum; akibat-akibat yang merugikan bagi orang yang tidak mengindahkannya. Ke dalam kelompok ini masuk pembatalan dan pemutusan perjanjian-perjanjian, menanggung terhadap gangguan, eksekusi, pengurangan dalam hak mewaris, dan sebagainya.
105
Sanksi-sanksi itu merupakan sistem yang rumit—pelanggaran suatu perintah sama sekali tidak selalu berakibat tidak sahnya di muka hukum bagi perbuatan yang dilarang: dapat dibatalkan (vernietigbaarheid) sebagai lawan dari kebatalan yang saya tunjuk di atas memperlihatkan hal itu. Contoh lain adalah pengurangan atas dasar pelanggaran legitime. Bagian warisan menurut undang-undang membatasi kebebasan untuk membuat wasiat; sampai batas ini adalah hukum pemaksa: dengan kewenangannya untuk mengutarakan legitimenya seorang ahli waris atas dasar perjanjian dengan orang yang mewariskan (pewaris) tidak dapat melepaskannya. Akan tetapi bilamana pewaris berbuat bertentangan dengan undang-undang dan legitimeris tidak menghendaki pengurangan itu, maka ketetapan itu berlaku sepenuhnya.
106
   Di sini tampak suatu keanehan dari hukum perdata, yang untuk bagian dari hukum itu mempunyai arti sentral: sanksi-sanksi itu memberikan hak kepada individu, tidak membebaninya dengan kewajiban. Hukum perdata dipertahankan dalam acara perdata dan untuk acara perdata intinya adalah, bahwa apakah warga negara perseorangan mempertahankan atau tidak mempertahankan haknya itu tergantung kepada kehendaknya sendiri. Mempertahankan hukum obyektif itu, juga sepanjang itu adalah perintah dari pembentuk undang-undang, diletakkan di tangan individu.
107
Pembentuk undang-undang menghendaki bahwa satu-satunya anak laki-laki, dalam hal ibunya meninggal lebih dulu, mendapat paling sedikit separoh dari bagian warisan ayah yang meninggal tanpa surat wasiat, akan tetapi pembentuk undang-undang hanya memerintahkan hal itu sepanjang anak itu juga menghendakinya. Dan bahkan bilamana ditetapkan kebatalan mutlak, ketergantungan kepada kehendak individu itu ada. Sebab hal itu baru ketahuan (menjadi kenyataan), bilamana itu dipertahankan di muka hakim, jadi apabila dimulai beracara. Dan diajukannya suatu perkara perdata sepenuhnya diserahkan kepada orang-orang yang berkepentingan. Dalam undang-undang mengenai perjanjian kerja terdapat banyak seka ketentuan-ketentuan hukum pemaksa; berulangkali pembentuk undang-undang mengatakan: “kamu tidak akan”. Akan tetapi bilamana orang-orang yang berkepentingan berbuat lain dan orang yang dimungkinkan mengemukakan kebatalan menerimanya, maka tidak akan ada orang yang tahu.
108
   Apabila undang-undang meletakkan bobot yang sedemikian besarnya kepada perintah-perintahnya, sehingga ia menghendaki dilaksanakannya perintah-perintah itu tanpa syarat, maka ia membutuhkan sanksi-sanksi yang lain daripada sanksi keperdataan. Perintah: “kamu tidak akan membunuh” ex ps. 1370 B.W., mempunyai sanksi keperdataan, akan tetapi juga mempunyai sanksi dalam hukum pidana. Namun demikian dalam B.W. juga dapat pagina-35ditunjukkan peristiwa-peristiwa, di mana alat-alat perlengkapan negara mengawasi pemenuhan kewajiban-kewajiban yang dibebankan di situ. Perintah kepada orang tua dalam ps. 298 B.W. untuk mendidik dan memelihara anak-anak mereka, dipertahankan oleh kejaksaan dan majelis perwalian; apabila orang tua tidak memenuhinya, maka atas permohonan kejaksaan dan majelis perwalian ia dapat dipecat dari kekuasaan orang tua (ps. 319 a B.W.). Akan tetapi dapat dipertanyakan apakah ini masih hukum perdata. Pertanyaan itu menghadapkan kita kepada problema: apakah ciri khasnya hukum perdata? Sampai sekarang kita menerima pengertian itu sebagai pengertian yang sudah tetap, merumuskannya dalam paragraf 1 sebagai pengaturan hubungan-hubungan pergaulan dan hubungan-hubungan keluarga. Sudah jelas, bahwa pengertian itu membutuhkan pembatasan lebih lanjut.
109
   Pembedaan hukum pemaksa—hukum pelengkap tidak dapat diidentikkan dengan pembedaan hukum publik dan hukum perdata. Mungkin benar: Jus publicum, privatorum pactis mutari non potest (D. II, 14, 36), akan tetapi kebalikannya: segalanya yang tidak dapat disimpangi adalah hukum publik, tidaklah benar. Tidak ada orang yang berpendapat, bahwa pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam undang-undang tentang perjanjian kerja adalah hukum publik.
   Jadi kita harus menelaah persoalan ini lebih lanjut.
110

§ 8 Hukum perdata dan hukum publik.

   Ini adalah persoalan lama. Orang bertengkar mengenai pertanyaan apakah bagian-bagian tertentu dari ilmu pengetahuan hukum, misalnya hukum acara perdata, masuk hukum perdata ataukah masuk hukum publik, suatu pertanyaan mengenai pengklasifikasian, yang tidak perlu kita perhatikan, juga —dan ini lebih penting—apakah hubungan-hubungan hukum tertentu, karena hubungan-hubungan tersebut bersifat hukum publik, dikuasai atau tidak dikuasai oleh peraturan-peraturan hukum perdata. Negara dan warga-warganya selalu terlibat dalam hubungan-hubungan yang memperlihatkan kesamaan yang besar dengan hubungan-hubungan dalam pergaulan antara perseorangan.
111
Tidak ada orang yang mengingkari, bahwa negara juga dapat terikat oleh hukum perdata: pembelian suatu persil untuk kepentingan administrasi tunduk kepada peraturan-peraturan hukum biasa. Akan tetapi bilamana negara mengangkat seseorang sebagai pegawai, apakah hubungan itu juga dikuasai oleh hukum perdata? Hubungan antara guru sekolah negeri dengan pemerintah kotamadya memperlihatkan kesamaan yang besar dengan hubungan teman sejawatnya pada sekolah swasta dengan pengurus sekolah. Hubungan yang terakhir itu adalah hubungan perdata pula, tetapi bagaimana yang pertama? Apakah kotamadya boleh memecat guru itu, mengurangi gajinya bertentangan dengan kehendaknya? Apakah dalam Burgerlijk Wetboek dapat diketemukanpagina-36 jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu? Problema ini dan problema-problema sejenis bermunculan. Guru sekolah negeri itu adalah pegawai negeri. Apakah pegawai negeri mempunyai hak terhadap pemerintah kotamadya dan dapatkah ia mempertahankan hak itu di muka hakim perdata? Sampai belum lama ini hal ini juga merupakan persoalan untuk praktek hukum, sekarang undang-undang kepegawaian (Ambtenarenwet 1929) memberikan jawabannya. Akan tetapi persoalan mengenai perbedaan yang prinsipial itu tetap ada.
112
   Di samping hubungan kepegawaian ada hubungan pertanggung jawaban pemerintah untuk perbuatan melawan hukum. Suatu kapal menabrak tiang di perairan umum dan karam. Apakah kotamadya yang pengawasan atas perairan itu masuk kekuasaannya, dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan alasan telah mengabaikan kewajiban merawat perairan itu?26 Atau, seorang wali kotamadya berpendapat, bahwa atas dasar undang-undang ia wenang untuk menyuruh membunuh seekor lembu yang mengamuk dan berbahaya. Pemilik memungkiri adanya cacat-cacat pada lembunya itu, sehingga juga hak untuk membunuhnya dia ungkiri. Apakah pemilik berhak atas ganti kerugian?27 Dan demikian selanjutnya. Karena pada kita tidak ada pengaturan yang tegas-tegas, maka persoalan itu intinya sebagai berikut: apakah ps. 1365 B.W. dapat diberlakukan dan apakah hakim perdata wenang mengadili persengketaan-persengketaan ini, atau apakah karena perbuatan-perbuatan itu bersifat hukum publik lalu dikeluarkan dari kompetensi hakim perdata?
113
   Ini adalah persoalan yang dipertengkarkan tanpa akhir, yang memberi alasan terjadinya yurisprudensi yang luas dan juga belum sampai pada akhimya. Dan di samping dua contoh peristiwa-peristiwa batas yang menonjol ini dapat kita sebutkan yang lain-lain.28 Salah satunya adalah konsesi.
   Di dalam ketidakpastian ini orang merasa adanya kebutuhan akan suatu kriterium untuk membedakan antara hubungan \hukum publik dan hubungan hukum perdata, yang dengan kriterium itu orang berpendapat akan diketemukan penyelesaian kesulitan-kesulitan.
114
   Dengan bermacam-macam jalan orang berusaha merumuskan suatu kebalikan. Orang mencari kriteriumnya dalam diri orang-orang yang mengadakan hubungan itu, dalam tujuan pengaturan, dalam kepentingan-kepentingan yang harus diatur, dalam norma-normanya sendiri. Di dalam orang-orangnya: hubungan-hubungan hukum perdata adalah hubungan-hubungan antara individu-individu, hubungan-hubungan hukum publik adalah hubungan-hubungan antara negara dan perseorangan. Apabila orang pagina-37membantah, bahwa menurut kenyataannya negara juga mungkin terdapat dalam hubungan keperdataan, maka orang mengatakan: negara sebagai demikian dan orang-orang swasta. Akan tetapi dengan pernyataan itu kesulitannya tetap ada, kapan negara bertindak sebagai demikian.
115
Apakah negara tidak bertindak sebagai negara kalau ia membeli sebidang tanah untuk mendirikan gedung administrasi di atasnya? Antara kepentingan-kepentingan: umum dan individual;
dalam hukum publik keseluruhan dari kehidupan bersama dianggap sebagai tujuan, dalam hukum perdata individu dianggap sebagai tujuan,
kata Opzoomer.29 Akan tetapi apakah penimbangan kepentingan umum dan kepentingan individual/perseorangan itu tidak merupakan dasamya setiap pengaturan hukum? Apakah di sini pernah ada pembedaan lain daripada pembedaan lebih dan kurang, yang jelas tidak mempunyai ketajaman yang diperlukan untuk menarik batas-batasnya? Dalam hukum sendiri, pasti, tetapi bagaimana?
116
   Dalam usaha untuk keluar dari kekacauan ini satu hal harus kita kemukakan. Di sini ada dua pertanyaan yang campur-aduk, yang membingungkan, akan tetapi harus dipisahkan; pertama-tama ini: apakah antara peraturan-peraturan hukum perdata dan hukum publik dapat diadakan pemisahan yang terletak dalam sifat dari peraturan-peraturan itu sendiri, seperti misalnya pemisahan antara hukum pemaksa dan hukum pelengkap, jadi suatu pemisahan yang berlaku untuk setiap ketertiban hukum, terlepas dari waktu dan tempat? Kemudian ini: apakah suatu ketertiban, misalnya ketertiban hukum Belanda pada waktu ini, membuat pemisahan itu, dan bagaimana, suatu pertanyaan yang mempertajam dirinya dalam pertanyaan praktis ini: apakah suatu hubungan konkrit tunduk kepada ketentuan-ketentuan tertentu dari hukum publik atau hukum perdata, suatu pertanyaan yang tidak dapat dilihat lain daripada dengan bantuan data yang pada umumnya dipergunakan untuk penemuan hukum, jadi yang jawabannya berubah menurut waktu dan tempat, tergantung dari ketentuan-ketentuan undang-undang positif, yurisprudensi, dan sebagainya. Juga bilamana kepada pertanyaan yang pertama itu dapat diberikan jawaban yang positif, belum tentu bahwa di dalamnya juga terdapat jawaban atas pertanyaan yang kedua.
117
   Kita mulai dengan pertanyaan pertama.
   Sampai sekarang kita tunjukkan bahwa hukum memberikan peraturan-peraturan mengenai kewajiban-kewajiban yang ada antara orang-orang satu sama lain, bahwa hukum mengenal kewenangan-kewenangan, yang
pagina-38menyebabkan orang yang satu boleh menuntut sesuatu dari yang lain, dan sebagainya. Ini semua berlaku dalam masyarakat tertentu, dalam lingkungan tertentu. Lingkungan itu tidak perlu suatu negara, tetapi pada masa sekarang terutama lingkungan rakyat yang diorganisasi sebagai negara.Menurut sifatnya hukum minta dilaksanakan; dalam hal ada pertentangan hukum diperlukan adanya keputusan, keputusan dari penguasa yang memutus hapus dapat dijadikan kenyataan. Yang harus memutus bagaimana hukumnya adalah suatu perlengkapan negara, yaitu dalam hakim—alat-alat perlengkapan negaralah yang harus mengusahakan pelaksanaan dari keputusan-keputusan hakim.
118
Akan tetapi tidak hanya oleh alat-alat perlengkapan negara hukum itu ditegakkan, melainkan juga dibentuk oleh alat-alat perlengkapan negara, setidak-tidaknya dirumuskan oleh alat-alat perlengkapan negara. Di dalam negara ada suatu wibawa, yang memberikan undang-undang, yang mewajibkan kehendaknya mengenai hukum sebagai hukum. Dalam paragraf I sudah kita katakan, bahwa suatu penyelidikan mengenai kekuasaan perundang-undangan ada di luar rangka pengantar dalam hukum perdata ini. Ucapan itu sekarang dapat kita beri pertimbangan lebih lanjut, karena di sini kita memang berurusan dengan pembedaan dua jenis peraturan-peraturan mengenai tingkah-laku dari individu-individu yang tunduk kepada hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan peraturan-peraturan mengenai organisasi dari masyarakat.30 Juga yang akhir itu adalah peraturan hukum, peraturan-peraturan tentang apa yang seharusnya yang dikumpulkan menjadi satu sistem, yang pematuhannya dapat dipaksakan. Juga di sini dalam peristiwa-peristiwa konkrit harus diketemukan keputusannya, yang sama halnya seperti dalam hukum perdata diketemukan tidak hanya dengan jalan deduksi logis saja. Akan tetapi peraturan-peraturan itu adalah peraturan-peraturan yang sifatnya lain daripada peraturan hukum umum, karena peraturan-peraturan itu tidak mengenai tingkah-laku dalam masyarakat, melainkan mengenai pembentukan dan penegakan hukum sendiri.
119
Dengan demikian hukum perdata dan hukum publik memang dapat dipisahkan, atau lebih baik saya katakan: hukum umum atau hukum rakyat dan hukum negara. Pada satu fihak pengaturan mengenai jual-beli, perjanjian kerja, perkawinan, milik, pada lain fihak caranya bagaimana undang-undang terjadi, bagaimana kekuasaan kehakiman disusun, bagaimana hubungan antara raja dan parlemen diatur. Di sini ada pemisahan, yang berlaku untuk setiap ketertiban hukum tidak tergantung dari tempat dan waktu, pada satu fihak caranya bagaimana suatu penilaian hukum diketemukan, siapa yang wenang untuk menemukan penilaian hukum itu dan bagaimana disusunnya peraturan-peraturan yang ia ikuti, pada lain fihak isi dari peraturan-peraturan itu. Peraturan tingkah-laku berhadapan dengan peraturan pembentukan peraturan-peraturan tingkah-laku itu, keputusannya berhadapan dengan penunjukan siapa yang boleh pagina-39memberikan keputusan itu, hukum dalam masyarakat yang diorganisasi berhadapan dengan bentuk organisasi itu.
120
   Secara logis hukum publik mendahului hukum perdata. Kita harus memutuskan lebih dulu siapa yang boleh memutus dan boleh membentuk hukum sebelum kita boleh mengkaji isi keputusannya. Hukum perdata, seperti kata Baco,31 ada di bawah perwalian hukum publik. Asal saja orang ingat, bahwa kita di sini mempergunakan istilah “hukum publik” untuk organisasi negara, konstitusi. akan tetapi di samping itu tidak kurang benarnya, bahwa adaya peraturan-peraturan tingkah-laku yang ditetapkan oleh kekuasaan perundang-undangan dan yang berdasar peraturan-peraturan itu hakim mengadili, sudah diberikan bersama-sama dengan adanya masyarakat hukumnya, bahwa karena itu sudah ada peraturan-peraturan sebelum peraturan-peraturan tersebut dirumuskan oleh sesuatu pemegang kekuasaan. Hukum publik menerima adanya hukum perdata.
121
Hukum dibentuk dan tidak diciptakan oleh negara—hukum publik tidak diutamakan daripada hukum perdata, keduanya berdiri sama tinggi. Negara menguasai hukum sebagai pemegang kekuasaan. Akan tetapi sebaliknya kekuasaan negara, karena kekuasaan itu bertumpu pada hukum, karena ada hukum negara, terus-menerus menjadi yakin akan asas-asas dari hukum umum. Namun sekarang kita tidak membicarakan hal ini, kita perlu tetap tinggal pada persoalan hukum publik—hukum perdata.
   Sebab sudah jelas, bahwa dengan pemisahan ini kita tidak banyak kemajuan untuk problema yang sedang kita garap. Kita masih harus mencurahkan perhatian kita kepada gejala yang lain.
122
   Negara yang sama, yang mempunyai hubungan dengan hukum, karena ia dibebani dengan penegakan dan perumusan hukum, masih menetapkan tujuan-tujuan lain bagi cirinya, sejak dulu pertahanan keluar, selanjutnya pemeliharaan tanah tempat rakyat hidup (pengairan), pengusahaan sarana-sarana lalu-lintas, pengusahaan pengajaran dan masih banyak hal-hal lain lagi, yang pada masa sekarang masuk ke dalam pengurusannya. Ini semua ia lakukan berdasarkan kekuasaan yang ia miliki, kewibawaan yang ia tahu menerapkannya. Untuk keperluan itu ia menetapkan peraturan-peraturan yang sebagai perintah-perintahnya mengikat orang-orang yang tunduk kepada kekuasaannya. Ia melakukan itu dengan cara yang sama seperti apabila ia merumuskan hukum antara individu-individu, dengan perundang-undangan. Jadi kita di sini berurusan dengan apa yang lazimnya disebut orang hukum administratif/hukum tata usaha. Dan untuk melaksanakan tugas itu sebagaimana seharusnya, ia membutuhkan orang-orang yang mengabdikan dirinya kepadanya. pagina-40
   Bagaimanakah hubungan antara hubungan-hubungan dan peraturan-peraturan ini terhadap peraturan-peraturan dan hubungan-hubungan yang umum terjadi antara orang-orang satu sama lain?
123
   Apakah hubungan-hubungan dan peraturan-peraturan itu karena sifatnya berbeda dari yang biasa? Apakah dengan demikian ada dua penataan dalam hukum yang berdampingan, yang kita tunduk kepada keduanya, akan tetapi yang keduanya tidak bertautan? Dengan bermacam-macam jalan orang berusaha menalarinya. Di negara kita terutama adalah Buys32 dan Oppenheim33, yang memperkenalkan gambaran: dalam hukum publik terdapat hubungan bawahan-atasan, dalam hukum perdata ada hubungan yang sama/setingkat.
124
Di sini bukan tempatnya untuk menentang gambaran ini dengan panjang-lebar, di sini persoalannya adalah mengenai perbandingan antara kekuasaan dan hukum, keduanya terus-menerus bertabrakan, yang satu tidak dapat mengakui yang lain dan keduanya selalu membutuhkan satu sama lain. Tiada hukum tanpa kekuasaan yang menjadikan kenyataan apa yang diperintahkan oleh hukum—tiada kekuasaan yang pada sesuatu saat tidak tunduk kepada hukum. Penetapan hubungan antara keduanya adalah suatu problema yang selalu dikemukakan dan tidak pernah terselesaikan. Akan tetapi pastilah, apabila hukum publik dilihat sebagai pengaturan hubungan antara kekuasaan dan orang-orang yang tunduk kepadanya, jadi sebagai hubungan kekuasaan, maka besar kemungkinannya, bahwa sifat hukum dari hukum publik lenyap. Untuk memperjelas gambaran ini saya boleh menunjuk kepada buku Krabbe mengenai kedaulatan hukum.34
125
Di sini saya hanya minta perhatian untuk dua hal: 1) segera setelah kelebihan nilai (meerwaardigheid) dari negara ditentukan dengan cara ini, maka keterikatannya kepada hukum perdata, yang betapapun terbatasnya, pada masa sekarang tidak ada orang yang memungkirinya, tidak pernah dapat diterangkan; 2) suatu pemisahan antara hukum perdata dan hukum publik dalam arti ini sudah karena itu tidak dapat merupakan pemisahan antara peraturan-peraturan hukum menurut sifatnya, yang berlaku dimana-mana, Karena ada penataan-penataan yang sama sekali tidak mengenalnya.
126
Saya tunjuk Inggris. Untuk sarjana pagina-41hukum daratan Eropa sangat instruktif untuk membaca buku Dicey35 Law of the constitution, bab tentang hukum administratif Prancis, karena bab itu dengan sekilas akan membuat jelas baginya, bahwa ada penataan-penataan hukum yang tidak tahu adanya hukum administratif, dan itu bukannya karena warga negara sama sekali tidak punya hak terhadap penguasa seperti halnya di bawah rejim lama di Prancis dan sekarang pada segi-segi tertentu di negara kita dan di negara-negara lain di daratan Eropa, melainkan karena alat-alat perlengkapan negara sama sekali tunduk kepada hukum umum seperti yang lain-lain. Bahkan kata hukum administratif tidak ada.
127
   Jadi: tidak ada pemisahan antara hukum publik dalam arti luas dan hukum perdata yang berlaku untuk semua waktu dan semua tempat. Tidak ada harga yang lebih tinggi untuk hukum publik di atas hukum perdata. Tidak ada sifat lain yang prinsipial dari norma-norma dalam bidang yang satu dan bidang yang lain. Akan tetapi juga tidak ada pengingkaran mutlak dari perbedaannya, sepanjang tidak mengenai norma hukumnya pada umumnya, melainkan mengenai hukum positif dari masa sekarang.
128
Bagi saya nampaknya masih saja pandangan Hamaker36 mengenai persoalan itu yang memberikan pengertian yang tepat. Hukum perdata menunjukkan peraturan-peraturan tingkah-laku yang umum, karena itu istilah hukum umum adalah yang tepat untuk hukum perdata. Di dalam hukum publik—apabila organisasi negaranya sendiri yang memang mempunyai sifat tersendiri kita kesampingkan37 diberikan juga peraturan-peraturan tingkah-laku, perintah-perintah dari penguasa, peraturan-peraturan hukum seperti peraturan-peraturan dalam hukum umum, yang melengkapi dan menyimpangi hukum itu demi tugas negara. Ini dapat terjadi dengan tegas-tegas, penyimpangannya dapat juga karena penemuan hukum dalam hal undang-undang tidak mengatakan apa-apa.
129
Di negara kita ps. 2 RO, ps. 1365 B.W., terutama sejarahnya dan sistemnya, juga kesesuaian dengan tujuan dan apa yang kebanyakan harus diakui sebagai faktor penemuan hukum, akan berguna untuk penemuan hukum itu. Kita boleh mengatakan: ada presumsi adanya penundukan diri alat-alat perlengkapan negara kepada hukum umum, akan tetapi kita harus pagina-42menambahkan kepada presumsi itu bahwa sifat dari hubungannya, yaitu bersandarnya pada kekuasaan, tidak selalu harus menutup diterapkannya hukum umum, melainkan dapat mengakibatkan tidak diterapkannya peraturan-peraturan biasa. Lebih daripada hal-hal yang bersifat umum ini tidak dapat kita berikan di sini. Di sini bukan tempatnya untuk menyelidiki hasil-hasil apakah yang akan diakibatkan oleh interpretasi dari perbuatan melawan hukum penguasa, konsesi, dan lain-lain. Asal saja orang menyadari, bahwa di sini adalah mengenai persoalan penemuan hukum, yang berulangkali harus, terjadi dalam kenyataannya dan tidak mengenai pemisahan yang dibuat secara, a priori.38
130
   Masih ada satu catatan lagi di sini. Yaitu sebagai berikut: ciri khas dari hukum umum adalah bahwa hukum umum dapat dipertahankan oleh warga negara individual di muka hakim perdata. Ini bukan kriterium untuk pemisahan antara hukum publik dan hukum perdata, sebab dalam peristiwa-peristiwa yang meragukan justru menjadi pertanyaan apakah aksi seperti itu ada. Akan tetapi, orang dapat mengatakan, bahwa tidak digunakannya aksi adalah khas untuk tidak diterapkannya hukum umum. Tepatlah, pendapat orang, bahwa pertanggungan kecelakaan misalnya di negara kita diatur oleh hukum publik. Dengan pernyataan itu orang mau menunjukkan, bahwa pada suatu kecelakaan buruh tidak boleh minta ganti kerugian kepada majikannya, malainkan bahwa buruh harus menghubungi suatu alat perlengkapan administratif, yaitu Bank Pertanggungan Negara (Rijksverzekeringsbank), yang pada gilirannya menetapkan dan menarik premi yang harus dibayar oleh majikan.
131
Bahwa bagaimanapun hukum umum itu berlaku lagi dalam hal, pengecualian tidak berlaku, terbukti jika dalam kepailitannya si majikan Rijksverzekeringsbank minta verifikasi sebagai kreditur seperti halnya Negara minta verifikasi untuk hutang pajak. Itu juga terbukti dalam peristiwa-peristiwa yang sekarang tidak jarang terjadi mengenai penuntutan kembali pajak yang tidak terhutang yang dibayar: apa yang oleh hukum administratif, ditarik dari kompetensi hakim, hakim tidak boleh menilainya, akan tetapi selebihnya berlaku hukum perdata biasa., Dari situ timbul akibat, bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa suatu hubungan tertentu ditarik/dikeluarkan dari hukum umum (misalnya hubungan kepegawaian atau konsesi), yang dalam hubungan itu kita selalu harus menyelidiki apakah secara konkrit dalam 'suatu hal berlaku peraturan-peraturan hukum lain daripada peraturan-peraturan yang biasa.
132
   Dan dari sini disimpulkan juga, bahwa pertanyaan yang kita ajukan pada akhir paragraf sebelumnya yaitu apakah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya itu hukum perdata, tidak tepat, dirumuskan. Tidak dapat diragukan kewajiban orang tua untuk memelihara pagina-43dari mendidik anak-anaknya adalah hukum perdata. Kewajiban itu dipertahankan dalam acara perdata. Akan tetapi kewajiban orang tua itu tidak melulu hukum umum, kewajiban itu masih mempunyai sanksi khusus: kemungkinan dipecatnya dari kekuasaan orang tua berdasarkan inisiatif dari alat-alat perlengkapan negara. Dengan adanya sanksi tersebut peraturan ini sepenuhnya setaraf dengan hukum pidana. Pada masa sekarang orang berpendapat, bahwa hukum pidana itu adalah hukum publik.
133
Menurut saya ucapan itu adalah ucapan tanpa arti. Hukum pidana memberi sanksi khusus baik kepada beberapa norma-norma dari hukum umum maupun kepada peraturan-peraturan yang bersifat hukum administratif. Sanksi itu sendiri dalam pelaksanaannya merupakan hukum administratif lagi. Akan tetapi tidak ada tempat lain di mana orang menemukan sedemikian banyaknya perintah-perintah yang fundamental dari hukum umum selain dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kitab undang-undang ini memuat hukum umum, akan tetapi lebih dari itu.
134
   Jadi kalau kita ringkaskan sebentar: Pemisahan prinsipial adalah mungkin antara hukum tata negara dan hukum perdata. Apa yang disebut hukum publik selebihnya merupakan hukum khusus terhadap hukum umum. Batas dan isinya ditentukan oleh ketertiban hukum positif; hukum publik tidak bersifat lain dari pada hukum umum; di mana dimungkinkan berlakulah hukum umum.
135

§ 8a Tambahan pada §8. Hukum gereja ; hukum perhimpunan.

   Satu hal masih harus diperjelas. Bilamana hukum dalam suatu kehidupan bersama yang teratur dan bentuk-bentuk kehidupan bersama sendiri dapat dihadapkan satu sama lain, apakah hukum yang mengatur bentuk-bentuk organisasi lain dari pada negara, misalnya gereja atau perhimpunan, disamping hukum tata negara berhadapan dengan hukum dari kehidupan-kehidupan bersama itu tidak berlaku sebagai hukum umum?
136
   Memang ada persamaannya, dan pertanyaan ini akan harus dijawab mengiyakan, bilamana kepada kehidupan-kehidupan bersama itu pada bidang hukum diberikan arti yang mandiri berhadapan dengan negara. Dalam abad-abad pertengahan terhadap gereja memang demikian halnya: pengaturan kekuasaan gereja bersifat sama dengan pengaturan kekuasaan keduniawian: hukum kanonik (hukum gereja) berdiri di samping dan bukan di bawah hukum negara. Untuk orang Katolik' pada asasnya hukum gereja masih mempunyai sifat yang sama, untuk gereja-gereja Protestan hubungannya berbeda dan rumit, sedemikian berbeda-bedanya dan kompleksnya, sehingga hal itu di sini tidak dapat diterangkan/diuraikan dengan beberapa perkataan saja. Ini lebih baik dapat ditinggalkan, di mana setidak-tidaknya di negara kita pagina-44ketertiban hukum yang sekarang ada tidak mengakui sifat mandiri dari hukum gereja ini dan negara tidak saja memiliki kekuasaan mengenai hukum, tetapi juga satu-satunya yang memiliki kekuasaan itu.
137
Gereja hanya mempunyai kekuasaan mengatur di dalam lingkungannya sendiri sepanjang negara .membiarkannya. Negara adalah berdaulat—demikian orang menyebutnya. Mengapa demikian, bagaimana hal itu menjadi demikian dan apakah diterima dengan baik, adalah persoalan-persoalan hukum tata negara lagi, yang tidak dapat dibicarakan di sini. Yang pasti, di negara kita menurut hukum manusia perseorangan hanya tunduk kepada tatanan gereja sepanjang ia dengan perbuatannya sendiri menerima tatanan itu. Apabila ia tidak menerimanya, maka pada negara ia menemukan hukum terhadap setiap pemaksaan kekuasaan dari gereja. Menurut hukum kekuasaan gereja tidak pernah dapat menimpa orang yang meninggalkannya. Dengan perkataan lain: hukum gereja itu tidak pernah lain daripada hukum-janji, bukan hukum-perintah. Karena itu penataan oleh gereja dapat dianggap sebagai hukum perdata. Dalam tatanan hukum sekarang hukum gereja itu hanya mendapat tempat sebagai bagian dari hukum umum. Hal ini tidak menutup kenyataan, bahwa gereja sepenuhnya disusun sebagai bentuk organisasi dan oleh karenanya hukum gereja berulangkali memperlihatkan pertaliannya dengan hukum tata negara.
138
   A fortiori hal yang sama berlaku bagi hukum perhimpunan. Di dalam lingkungan perhimpunan dan gereja peraturan tingkah-lakunya dapat ditempatkan berhadapan dengan bentuk organisasinya. Di dalam dirinya (gereja, perhimpunan) berulanglah kebalikan (tegenstelling) hukum umum-bentuk organisasi, akan, tetapi terhadap negara, jadi ditinjau dari sudut pandangan hukum yang dipertahankan/diberlakukan dalam negara, maka juga bentuk organisasinya adalah suatu pengaturan dari hukum perdata. Keterikatan kita kepada organisasi bertumpu pada masuk kita dalam organisasi, dan tidak bertumpu pada kekuasaan organisasi. Bahwa kekuasaan itu menurut kenyataannya merupakan kekuasaan yang benar, tidaklah bertentangan dengan pandangan di atas.
139

§ 9 Undang-undang; Faktor-Faktor pada penentuan artinya.

   Dalam § 8 seolah-olah kita menyimpang dari garis yang diikuti oleh pembicaraan dalam bab ini, yaitu garis penemuan hukum. Persoalan mengenai hukum perdata berhadapan dengan hukum publik terjadi seperti dengan sendirinya, namun demikian nampaknya hal itu tidak sepenuhnya cocok dalam jalannya uraian. Dalam pada itu kita tidak dapat menghindarinya dan pembicaraan mengenai hal tersebut membawa keuntungan juga untuk persoalan penemuan hukum. Sebab pembicaraan mengenai hukum perdata dan hukum publik menyebabkan kita melihat adanya suatu kekuasaan, yaitu pagina-45kekuasaan pembentuk undang-undang, yang memberlakukan diri dalam hukum.
140
   Hal yang pertama yang dijumpai oleh orang yang mencari hukum, adalah undang-undang, tidak dalam arti bahwa undang-undang mengandung semua hukum dalam dirinya dan juga bukannya bahwa dari undang-undang itu hukum in concreto dapat disimpulkan dengan jalan kesimpulan logis, melainkan dalam arti sebagai berikut: bahwa perintah-perintah, izin-izin, peraturan-peraturan dari pembentuk undang-undang mempunyai wibawa. Sekali lagi, mengapa ada wibawa itu, kita tidak harus menyelidikinya pada pengantar ke dalam hukum perdata ini. Untuk kita sudah cukup untuk mengatakan, bahwa dalam masyarakat yang terorganisasi yaitu negara, hukum ditetapkan dalam undang-undang. Undang-undang adalah peraturan tingkahlaku, yang oleh penguasa, yang berdasarkan konstitusi dibebani dengan tugas itu, diwajibkan kepada orang-orang yang tunduk kepada wibawanya.
141
   Akan tetapi itu sama sekali tidak berarti, bahwa dengan peraturan ini juga diberikan keputusan terhadap persoalan hukum yang konkrit—hal itu sudah kerap kali kita tunjukkan. Karena itu hakim harus berusaha menemukan arti dari undang-undang, dengan perkataan lain, ia akan berusaha menangkap gagasan yang diungkapkan dengan kata-kata undang-undang. Kata-kata itu adalah tanda-tanda, yang artinya akan ia coba tetapkan. Ini dapat terjadi dengan dua cara. Barang siapa mencoba mendekati arti dari suatu pernyataan sebagai suatu peraturan undang-undang, dapat bertujuan untuk menyelidiki gambaran-gambaran apakah yang ada dalam kesadaran orang yang memberikan pernyataan itu, apa yang ia tolak dan apa yang ingin ia capai, apa yang ia “maksudkan” dengan kata-kata yang diucapkan itu. Akan tetapi ia juga dapat membuat pernyataan itu sendiri, lepas sama sekali dari orang yang mengucapkannya (sumbernya), menjadi obyek penyelidikannya dan menanyakan arti dari pernyataan itu menurut bahasa sehari-hari, jadi tidak menurut gambaran pembentuk undang-undang, melainkan menurut gambaran yang ditimbulkan pada orang-orang, yang untuk orang-orang itu pernyataan tersebut diperuntukkan. Kedua metode ini dianjurkan untuk penafsiran undang-undang,39 orang menempatkan teori tentang arti subyektif undang-undang berhadapan dengan teori tentang arti obyektif dari undang-undang; yang pertama terutama menghargai apa yang ditunjukkan oleh sejarah terjadinya undang-undang, yang kedua berpendapat, bahwa segala tekanan harus diletakkan pada kata-kata undang-undang dan arti dari kata-kata itu.
142
Menurut pendapat saya, baik yag satu maupun yang lain harus tidak kita terima. Keduanya berat sebelah, keduanya mengingkari sifat undang-undang yang bersegi dua. Sebab undang-undang itu, pada satu fihak merupakan pernyataan kehendak dari orang-orang tertentu yang menyandang wibawa, pagina-46yang memperoleh kewenangan untuk menetapkan kehendaknya mengenai apa yang hukum kepada anggota-anggota masyarakat hukum, pada lain fihak undang-undang itu merupakan peraturan yag diberikan untuk masa mendatang, yang harus dipandang lepas dari terjadinya. Pembentukan undang-undang adalah suatu kejadian historis, yang seperti halnya dengan semua kejadian historis hanya dapat dikenal dengan cara merekonstruksi kembali gambaran-gambaran yang ada dalam kesadaran orang-orang yang bersangkutan, akan tetapi pembentukan undang-undang sekaligus adalah pembentukan suatu data baru dalam kehidupan hukum, yang mempunyai eksistensi sendiri, yang penerapannya dan kelanjutan hidupnya dilepaskan, dari orang-orang yang membuatnya dan yang karenanya dapat mempunyai arti yang lain, atau dalam perjalanan waktu dapat mempunyai arti lain yang tidak pernah dipikirkan oleh para pembuatnya. Jadi tidak atau obyektif atau subyektif, melainkan obyektif dan subyektif.
143
   Suatu penetapan lebih lanjut diperlukan mengenai arti apa yang ada pada keduanya, yaitu penyelidikan mengenai gambaran-gambaran yang ada pada para pembuat undang-undang—yang pada umumnya orang menamakannya penafsiran historis, akan tetapi untuk membedakannya dari penafsiran hukum secara historis yang akan saya bicarakan kemudian, akan saya namakan penafsiran undang-undang secara historis—dan penguraian undang-undang menurut bahasa, yang pada umumnya dinamakan penafsiran gramatikal. Kedua hal ini akan kita bicarakan dalam paragraf-paragraf berikutnya, di sini sudah segera boleh ditunjukkan, bahwa orang tidak boleh melebih-lebihkan arti dari keduanya. Kerapkali orang membayangkan seolah-olah dalam kedua hal itu atau pada salah satu dari padanya adalah persoalan dari maksud pembentuk undang-undang, atau maksud dari kata-katanya menurut bahasa sehari-hari.
144
Keduanya hanyalah sarana-sarana untuk mengenal arti dari suatu ketentuan undang-undang dan tidak lebih dari itu. Untuk mencari hukum yang konkrit, juga sepanjang pencarian hukum itu bersandar pada wibawa undang-undang, penafsiran undang-undang secara historis dan penafsiran gramatikal hanya merupakan sebagian dari pekerjaan yang harus dilakukan. Sebab yang dipertahankan dalam penerapannya tidak pernah hanya satu ketentuan undang-undang, melainkan selalu hukum pada keseluruhannya. Pada waktu orang mencari maksud dari pembentuk undang-undang atau maksud dari kata-katanya menurut bahasa sehari-hari orang hanya melihat ketentuannya saja, akan tetapi setiap ketentuan undang-undang merupakan bagian dari suatu undang-undang yang sedikit banyak luas dan undang-undang itu sendiri adalah bagian dari perundang-undangan pada umumnya dan perundang-undangan itu merupakan bagian dari keseluruhan hukum. Keseluruhan hukum itu merupakan suatu sistem, artinya ada hubungan dan ada kesatuan, dengan lain perkataan peraturan yang satu menunjang peraturan yang lain, pertentangan antara peraturan-peraturan satu sama lain tidaklah mungkin; hukum tidak dapat sekaligus memerintah dan melarang, mengharuskan dan menasihatkan pagina-47untuk tidak melakukan. Setiap peraturan baru yang dikeluarkan oleh pembentuk undang-undang dimasukkan dalam sistem ini, peraturan itu akan kena pengaruh dari sistem ini, akan diterapkan dalam hubungannya dengan peraturan-peraturan lain dan ditafsirkan dengan bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang lain. Penafsiran sistematis adalah salah satu dari bentuk-bentuk penemuan hukum yang tidak boleh tidak harus ada.
145
   Akan tetapi yang ikut menentukan penafsirannya tidak hanya ketentuan-ketentuan dari undang-undang di samping ketentuan-ketentuan yang harus diberlakukan yang ada, melainkan juga hubungan-hubungan kemasyarakatannya sendiri tempat diterapkannya ketentuan, itu. Setiap undang-undang bertumpu pada suatu penilaian kepentingan kemasyarakatan, bertujuan untuk mempengaruhi apa yang terjadi dalam kenyataan kemasyarakatan itu. Penerapannya terikat kepada kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh kehidupan kemasyarakatan. Kehidupan itu berubah terus-menerus. Berhubung dengan itu peraturan dari undang-undang dapat meliputi suatu bidang yang pada mulanya tidak diperuntukkan baginya.
146
Undang-undang mengalami reaksi dari penilaian itu. Arti dari suatu peraturan undang-undang hanya dapat ditetapkan dalam hubungannya dengan hubungan antara orang-orang. Arti itu sendiri tidak ada, melainkan hanya ada untuk hubungan-hubungan yang nyata-nyata ada. Undang-undang menetapkan hubungan ini, dalam arti mensyaratkan apa yang seharusnya ada dalam suatu hubungan tertentu, akan tetapi sekaligus undang-undang mengalami pengaruh dari perubahan dalam hubungannya. Dengan demikian dituntut penafsiran menurut tujuan dari peraturan, menurut hubungan dengan keadaan-keadaan kemasyarakatan tempat berlakunya undang-undang itu berlaku. Penafsiran sosiologis atau teleologis menuntut tepatnya dalam penemuan hukum.
147
   Dan dengan ini kita belum sampai pada tujuan kita. Telah kita lihat bahwa arti dari suatu ketentuan undang-undang harus ditetapkan sebagai bagian dari seluruh kehidupan hukum sehubungan dengan maksud dan bahasa sehari-hari, sehubungan juga dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan yang diaturnya. Akan tetapi ketentuan undang-undang tidak hanya bagian dari suatu sistem dari peraturan-peraturan yang berdampingan dan sama-sama berlaku pada waktu yang sama, melainkan juga merupakan mata rantai dalam rangkain pengaturan yang susul-menyusul dalam perjalanan waktu. Undang-undang tidak jatuh dari langit, undang-undang tidak menemukan kekosongan yang sampai sekarang ada, melainkan pengaturan-pengaturan yang lain sudah mendahuluinya, undang-undang menggantikan peraturan-peraturan yang mendahului itu, akan tetapi sekaligus mempunyai hubungan dengan peraturan-peraturan tersebut. Di dalam hukum ada kontinuitas, suatu perkembangan yang berkesinambungan. Hukum terus-menerus mengalir, berubah sehari-hari oleh penerapannya, yang menemukan peraturan-peraturan dalam tingkah-laku dari orang-orang yang tunduk kepadanya, juga oleh yurisprudensi. Suatu sistem yang terjadi dengan perkembangan dan perubahan pagina-48seperti itu hanya dapat dimengerti, bilamana orang melihatnya dalam ' perkembangannya, jadi dengan melihat kepada masa lampau. Edmond Burke pernah mengatakan: “Barang siapa tidak pernah menoleh ke belakang, tidak” dapat melihat ke depan”.40
148
Untuk hukum pernyataan itu tepat sekali. Akan tetapi kadang-kadang dikatakan orang,41 apakah penyelidikan historis, persoalan bagaimana sesuatu itu terjadi, tidak harus dipisahkan secara tajam dari penyelidikan mengenai apa yang berlaku, apa yang seharusnya berlaku? Tuntutan pemisahan ini adalah akibat dari pemisahan oleh Kant antara apa yang ada (Sein) dan apa yang seharusnya (Sollen). Yang pertama dapat dikenal dari penyelidikan empiris, yang kedua tidak akan dicapai dengan penyelidikan empiris itu. Mengenai pemisahan itu saya berharap memberi suatu catatan di bawah ini, akan tetapi di sini sudah dapat dinyatakan, bahwa, apabila orang akan menyebut ilmu pengetahuan hukum adalah ilmu pengetahuan norma-norma, hukum adalah suatu sistem tentang apa yang seharusnya, maka dengan itu orang harus selalu menginsafi, bahwa apa yang seharusnya ini terikat kepada kenyataan-kenyataan yang dapat dikenal secara historis,42 kepada keputusan pembentuk undang-undang atau hakim, penerapannya dalam hidup bersama.
149
Penelaahan historis dan yuridis pasti dapat dibedakan, akan tetapi yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lain. Penetapan yuridis dari makna dan arti dari peraturan-peraturan hukum juga tidak dapat dengan mendahuluinya maupun dengan keadaan yang ada pada waktu yang sama. Norma-norma hukum tidaklah ada di atas atau di luar waktu seperti norma-norma logika, melainkan ditetapkan secara historis. Interpretasi hukum yang sebenarnya, yaitu penafsiran menurut asalnya, adalah sebagian dari tugas ilmu hukum.
150
   Jadi berdampinganlah bahasa sehari-hari dan sejarah undang-undang, sistem dari hukum pada keseluruhannya, tujuan kemasyarakatan dan hasil dari penerapan, perkembangan historis, itu semua adalah faktor-faktor yang mempunyai wibawa pada penetapan dari apa yang berdasarkan undang-undang adalah hukum. Sampai seberapa jauh wibawa dari masing-masing faktor itu dapat dirumuskan lebih lanjut, akan kita lihat di bawah ini. Di sini sudah dapat dilihat, bahwa suatu urutan tingkat yang jelas batasnya dan penetapan yang tepat dari nilainya masing-masing untuk peristiwa-peristiwa konkrit tidaklah mungkin. Dan itu disebabkan karena pada akhirnya pada setiap pagina-49penetapan hukum dicari keadilannya. Pada setiap penafsiran keadilan itu harus selalu diperhatikan dan dalam setiap usaha untuk menemukan hukum yang konkrit, keadilan adalah awal dan akhirnya. Saya berpendapat harus mengingatkan sebentar kepada hal itu, akan tetapi penggarapan dari saat yang pada akhirnya menentukan harus kita tunda sampai akhir penelaahan kita. Kita perlu mencurahkan perhatian kita lebih dulu pada faktor-faktor yang merupakan sarana pada penemuan hukum, dan sekaligus batas dari kebebasan untuk membentuk hukum secara mandiri.
151

§ 10 Hukum dan bahasa; interpretasi menurut bahasa sehari-hari.

   Bahasa, arti dari kata-kata menurut bahasa sehari-hari, berdiri paling depan di antara data untuk penemuan hukum. Bahasa adalah sarana yang terutama yang menyebabkan orang-orang dapat berhubungan satu sama lain; suatu tatanan seperti tatanan hukum tidak dapat kita bayangkan tanpa bahasa. Tidak mungkin ada hukum tanpa perumusan, keputusan mengenai hukumlah yang diminta: suatu penilaian mengenai hukum yang ditegaskan dalam kata-kata; penilaian itu bertumpu pada rumusan-rumusan umum, yang ditegaskan dalam kata-kata pula.
152
   Arti dari rumusan-rumusan menurut bahasa sehari-hari itulah yang pertama-tama harus ditetapkan pada penemuan hukum. Secara intuitif setiap penafsiran undang-undang mengikat, maka dapatlah hal itu berarti lain daripada bahwa keputusan itu mengikat sebagaimana keputusan itu dimengerti oleh warga negara menurut bahasa sehari-hari? Penafsiran itu mulai dengan bahasa sehari-hari dan berakhir dengan bahasa sehari-hari: pengkajian hasil yang diketemukan terhadap perumusan yang merupakan akhir dari setiap pembuktian interpretasi. Barang siapa tidak selalu berpegangan pada teks undang-undang pada waktu ia melakukan kegiatannya, maka ia kehilangan jejak baiknya, juga pada waktu ia mempelajari buku pelajaran yang terbaik.
153
   Undang-undang memaksakan kehendaknya dalam kata-kata. Oleh karena itu pentinglah bahwa pembentuk undang-undang menggunakan bahasa yang jelas—suatu bahasa, yang di dalamnya ditegaskan sifat dari perintah dan peraturan: pendek, mumi dan tajam. Kurang sekali diinsafi orang, betapa tergantungnya kepada bahasanya juga daya kerja dari undang-undang. Perintah yang cepat dapat dimengerti dan menggores kuat dalam ingatan, mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk dipatuhi daripada penjelasan tanpa akhir dengan kata-kata yang berkepanjangan, yang hanya dapat dimengerti dengan susah payah dan hanya dengan lebih susah-payah lagi dapat diingat. Kita pagina-50orang-orang Belanda tidak dimanjakan dalam hal ini: Burgerlijk Wetboek 1838 sudah tidak seperti Code dulu, akan tetapi alangkah bagusnya dibandingkan dengan kemiskinan undang-undang anak (1909 dan 1921) dan novel hukum waris (1923). Untunglah bahwa suatu undang-undang baru memberi harapan, bahwa kita ada di jalan yang lebih baik.
154
   Wibawa bahasa adalah sedemikian besarnya dan juga sedemikian dengan sendirinya, sehingga tidak perlu untuk membuktikannya lebih lanjut43 apabila di suatu tempat keadaannya seperti itu, maka di dalam hukum pemikiran terikat kepada bahasa yaitu bahasa dari suatu formula khusus. Barangkali perlu ditunjukkan batas-batasnya, sebab kerap Kali orang memberikan tempat yang tidak tepat kepada bahasa pada interpretasi. Masih saja ada pendapat, bahwa bahasa yang jelas dari undang-undang adalah menentukan, bahwa penafsiran mulai dalam hal undang-undang tidak jelas, sehingga interpretasi gramatikal mendahului interpretasi-interpretasi yang lain-lain; sarana-sarana ini boleh dipergunakan apabila penafsiran menurut bunyi kata-katanya tidak kena. Tidak ada orang yang mempertahankan pendirian ini lebih gigih dari pada sarjana Belgia Laurent. Dari dialah kata-kata:
respect à la loi — yaitu kata-katanya — fût elle absurde44
Pernyataan ini bertentangan baik dengan sifat dari penemuan hukum maupun dengan hakekat dari bahasa.
155
   Bertentangan dengan sifat dari penemuan hukum. Penemuan hukum tidak pemah minta ditetapkannya arti dari suatu peraturan undang-undangnya sendiri, akan tetapi selalu dalam hubungannya dengan hubungan yang nyata, yang menampakkan diri dalam kenyataan atau yang dipikirkan oleh pembentuk undang-undang. Dengan demikian apa yang menurut bunyinya sudah jelas, yaitu bahwa pada setiap orang yang mengenal bahasa sehari-hari menimbulkan gambaran yang sama, dapat menjadi tidak jelas dalam hubungannya dengan fakta-fakta yang dikemukakan. K.G. Würzel45 untuk menjelaskan hal ini mengambil contoh dari Civilrechtfalle Jhering berikut ini, yang mengingatkan kita kepada ruang belajar. Ketentuan dalam suatu undang-undang berbunyi: “sejumlah hadiah untuk penemunya” nampaknya jelas; apa yang diartikan dengan “menemukan” harta setiap orang tahu. Tetapi lihatlah sekarang peristiwa ini: A, B dan C berjalan-jalan sepanjang sebuah sungai kecil. A melihat sebuah dompet berisi uang terletak di seberang sungai. Ia menceritakannya kepada yang lain-lain. B bersiul kepada anjing pagina-51milik C dan menyuruh anjing itu mengambil dompet tersebut. Anjing mengambilnya dan meletakkannya di muka C. Siapa “penemunya”, A, B atau C?
156
   Ajaran ini juga bertentangan dengan hakekat dari bahasa. Suatu kata adalah suatu tanda yang mempunyai arti, dalam pengertian tanda yang mencerminkan gambaran yang ada dalam kesadaran. Akan tetapi gambaran itu tidak dibatasi dengan tajam, tidak selalu sama. Setiap pengertian mempunyai inti yang tetap, akan tetapi batas-batasnya kabur.46 Semakin konkrit pengertian itu semakin kurang kekaburannya. akan tetapi tidak ada satu katapun yang dipergunakan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang, jadi peraturan-peraturan yang berlaku umum, yang dapat dikatakan bahwa kata itu sepenuhnya jelas, yaitu bahwa gambaran yang dicerminkan oleh kata itu ditentukan, dengan sempurna. Apa yang disebut kursi adalah jelas; namun demikian dapat timbul pertanyaan, bahwa apabila. orang dilarang menempatkan kursi di sesuatu tempat, apakah suatu alat duduk (bangku, papan yang disangga, dan lain-lain) masih dapat disebut kursi.
157
   Lagi pula, yang terpenting bukan kata-katanya tersendiri, melainkan kata-katanya dalam hubungannya dengan kalimat, yang menggunakan kata-kata itu. Tidak setiap kata menimbulkan gambaran tersendiri yang selanjutnya digabungkan dengan gambaran yang ditimbulkan oleh kata-kata yang lain, melainkan kalimat dalam keseluruhannyalah yang menimbulkan gambaran itu. Dan kalimat itu dalam hubungannya lagi dengan kalimat-kalimat yang lain dalam pasal yang sama, pasal ini dalam hubungannya dengan pasal-pasal selebihnya dan seterusnya. Opzoomer47 yang betul-betul menghargai tinggi nilai dari kata, berulangkali memperingatkan untuk membalik halamannya sekali lagi dan menginterpretasikan ketentuan yang satu dalam hubungannya dengan ketentuan-ketentuan yang lain. Penafsiran menurut bahasa sehari-hari memuat lebih dari pada yang terkandung dalam dirinya, dengan sendirinya penafsiran gramatikal berlanjut kepada penafsiran sistematis. Dan juga berlanjut kepada penafsiran historis. Sebab ada hubungan tidak saja dengan kata-kata lain yang ditulis pada waktu yang sama, melainkan juga dengan kehidupan kerokhanian dan kehidupan kemasyarakatan dari kurun waktu diucapkannya kata-kata itu.
158
Pada setiap pengucapan kata banyak diperkirakan apa yang oleh pembicara atau penulis dipandang sebagai hal yang dengan sendirinya demikian dan yang oleh si pendengar dengan sendirinya dilengkapi pagina-52pada waktu ia menyerap kata-kata yang sampai kepadanya itu. Itu juga 'berlaku pada undang-undang. Ini terasa sekali apabila kita memperhatikan kenyataan, bahwa undang-undang kerap kali menggunakan kata-kata yang menurut artinya dalam bahasa sehari-hari hanya menunjukkan pria, akan tetapi yang menurut gambaran dari penulis dan pendengar kedua-duanya pengertiah itu kadang-kadang memuat juga pengertian wanita, kadang-kadang tidak. Contoh untuk yang pertama terdapat dalam Kitab Undang-undang ' Hukum Pidana: “Hij, die “ jelas tidak bermaksud untuk membebaskan wanita dari perbuatan pidana (jelas tidak bermaksud untuk menjamin bahwa wanita tidak akan dipidana).
159
Sebaliknya pada undang-undang tentang susunan kehakiman, kalau orang mengingat waktu asalnya (1827), maka tidak diragukan, bahwa “orang” yang dapat diangkat, “pejabat” yang dibicarakan itu, pada waktu undang-undang itu diundangkan hanyalah menunjuk pria. Apakah hal ini sekarang masih demikian halnya, adalah soal penemuan hukum yang tidak harus kita putuskan sekarang.48 Jawabnya akan diketemukan dalam penimbangan berbagai-bagai data, dalam keputusan, seberapa jauh faktor-faktor yang lain harus berbobot lebih berat dari pada sejarah dan teks. Unsur yang dengan sendirinya, namun yang bagaimanapun tidak diucapkan, hanya dapat kita kenal dengan mengadakan penyelidikan historis.
160
   Lagi pula, seperti akan kita lihat di bawah ini, banyak pengertian-pengertian yang dibentuk oleh ilmu hukum masuk ke dalam undang-undang; istilah-istilah yang menunjukkan pengertian-pengertian ini harus ditafsirkan menurut artinya bagi sarjana hukum dan tidak menurut bahasa sehari-hari. Sarjana hukum juga tidak dapat menetapkan arti kata-kata dalam undang-undang tanpa menggunakan seluruh sarana pengetahuan yang ada padanya.
161
   Jadi jelaslah, bahwa dengan pembedaan kata-kata jelas dan tidak jelas kita tidak mencapai banyak dalam persoalan-persoalan metoda. Setiap undang-undang dapat memerlukan interpretasi. Opzoomeryang dalam hal metoda “saya tidak merasa senada—sudah menandaskannya; ia mengingatkan bahwa sudah sejak bangsa Romawi menyadarinya demikian.49 Ulpianus50 mengatakan
Quamvis sit manifestissimum Edictum Praetoris, attamen non est negligenda interpretatio ejus, (Juga meskipun peraturan dari pretor jelas sekali, namun bagaimanapun penafsirannya tidak boleh diabaikan.)
Kecuali itu, akan mengherankan kita andaikata lain, di mana salah seorang dari raksasa-raksasa di antara mereka, Celsus, sudah mengemukakan kepada pagina-53mereka:
Scire leges non hoc est verba eorum tenere, sed vim ac potestatem.51 (Juga meskipun pada penglihatan pertama kata-katanya jelas, maka bagaimanapun harus ditafsirkan menurut maksud orang yang memberikan/ mengeluarkan peraturan itu.)
162
   Meskipun demikian masih juga perlu mengatakan semuanya ini sekali lagi. Masih saja ada kecenderungan untuk menilai berlebih-lebihan nilai dari kata-kata untuk penemuan hukum. Bahaya perbudakan kata-kata selalu mengancam. Jiwalah yang membuat hidup, kata-kata mematikan.
   Betapa dapat berbahayanya penyandaran pada kata-kata terbukti, apabila orang berusaha menyelundupi tujuan undang-undang dalam batas-batas sepenuhnya dari kata-kata undang-undang. Sabotase dari undang-undang yang paling keterlaluan adalah sabotase yang dengan memojokkan kata-kata sampai kepada konsekuensi yang terjauhmematikan maknanya. Menurut Paulus
perbuatan orang
qui salvis verbis legis sententiam ejus circumvenit.
Bilamana kata-kata memang tanpa syarat diutamakan, ia mencapai tujuannya.
163
Tepatlah pendapat orang, bahwa asal saja orang melepaskan diri kepada tunduknya kepada kata-kata, maka tempat untuk ajaran tersendiri mengenai fraus legis diperkecil, bahwa interpretasi dari undang-undang sendiri sudah cukup menentukan untuk menekan usaha-usaha seperti itu. Tempatnya diperkecil, tetapi tidak dihapuskan; fraus legis tetap mempunyai arti. Ada kemungkinan, bahwa pada umumnya suatu teks harus ditafsirkan secara ketat dan menurut kata-katanya, sehingga perbuatannya sendiri yang terjadi tidak dikenai oleh teks itu, akan tetapi bahwa penafsiran itu tidak mempunyai atau tidak dapat mempunyai kepentingan lain, tidak ada maksud lain atau tidak dapat mempunyai maksud lain dari pada dengan perbuatan itu, dengan menghormati kata-kata undang-undang, menyelundupi undang-undang. Maka atas dasar fraus legis bagaimanapun undang-undang ini dipertahankan, meskipun menurut kata-katanya dan penafsirannya penerapan undang-undang itu tidak mungkin. Demikianlah keputusan H.R.52 tanggal 26 Mei 1926 dalam kasus Van Oppen melawan penerima pajak warisan di Den Haag.
164
Pasal 11 Undang-undang pewarisan (Successiewet) membebani pajak kepada suatu hibah kepada keluarga sedarah seperti suatu hibah wasiat (legaat), bilamana si penghibah tetap menikmati pakai-hasil atau pembayaran periodik sampai meninggalnya. Dalam kasus itu orang yang telah meninggal semasa hidupnya telah membuat suatu hibah dan tetap menikmati pembayaran sampai tiga hari pagina-54sebelum meninggalnya, tanpa motif lain dari pada motif untuk menyelundupi undang-undang. Pasal 11 berlaku, kata H.R., karena perbuatannya terjadi in fraudem legis (atas dasar fraus legis). Keputusan ini sesuai benar dengan penafsiran H.R. yang agak bebas yang kurang terikat kepada kata-kata undang-undang yang di tahun-tahun kemudian dianut oleh H.R. Juga pada masa H.R. masih cenderung untuk menilai tinggi sekali kata-kata dari undang-undang untuk penemuan hukum, bagaimanapun H.R. tidak tanpa syarat terikat kepada kata-kata itu.
165
J.P. Fockema Andreae, yang dalam suatu disertasi penting telah menyelidiki metoda penafsiran H.R. selama periode 1893-1903,53 sampai pada kesimpulan, bahwa H.R. meskipun sangat menghormati sadaran pada kata-kata yang tidak mendua-arti, bagaimanapun sudah sejak dulu tidak menerima hasil-hasil yang menggelikan dan karena kaburnya dan mulur-mungkretnya pengertian “mendua-arti” melepaskan diri dari konsekuensi-konsekuensi yang keterlaluan dari ajaran tentang diutamakannya penafsiran menurut bahasa sehari-hari yang dianut secara keliru.
166
   Segera orang menolak untuk menerima suatu hasil karena menggelikan, maka orang memutuskan ketundukan tanpa syarat itu. Dengan demikian orang sudah melepaskan diri dari gambaran, bahwa rumusan undang-undang sebagaimana adanya, jadi menurut arti dari kata-katanya menurut bahasa sehari-hari harus diujudkan tanpa syarat dan beralih kepada gambaran yang lain, bahwa hakim mencari hukum dan dalam kegiatannya itu ia wajib menghormati wibawa undang-undang, juga kata-katanya, akan tetapi bahwa kata-kata itu pada akhirnya tidak lain dari pada sarana pada penetapan arti dari peraturan dan kesimpulan yang dapat ditarik dari padanya untuk peristiwa yang bersangkutan.54
167
   Kata-kata itu tidak mempunyai wibawa yang tanpa syarat. Juga tidak dalam arti ini, bahwa hasil yang dicapai oleh si penafsir akhirnya harus sesuai dengan kata-kata itu, bahwa kata-kata itu merupakan batas-batas yang tidak boleh dilanggarnya. Orang mengatakan, bahwa kesimpulannya boleh terletak di samping kata-katanya, tetapi tidak boleh bertentangan dengan kata-katanya,55 boleh “praeter legem, non contra legem”. Juga jalan pikiran ini masih terlalu terikat kepada primat dari kata-kata. Memang benar: wibawa pagina-55bahasa itu besar dan suatu penafsiran yang pada akhirnya melepaskan diri dan wibawa ini, tidak akan cepat diterima. Akan tetapi bagaimanapun dapat diperlukan. Setiap orang melakukannya dalam hal terdapat kesalahan penulisan atau kekeliruan. Setiap orang membaca dalam ps. 1300, 3 B.W. “debitur” meskipun dalam edisi resminya tertulis “Kreditur”. Juga kecil keberatannya untuk membaca “kreditur” dalam ps.1460 B.W., meskipun di situ tertulis “debitur”, yang dalam Code tertulis “creancier” dan suat kekeliruan dapat diterima.
168
Orang akan melangkah lebih jauh lagi apabila orang menghapuskan “penerima hak” pada ps. 1873 B.W., Karena kata itu ditulis tanpa pemikiran dan mengakibatkan hasil-hasil yang menggelikan.56 Orang melangkah lebih jauh lagi, seperti yang dilakukan H.R. untuk pertama kali pada tahun 190857 dan kemudian berulang-ulang, yangmemperpanjang tenggang banding dalam ps. 229 B.W. ayat terakhir dengan bertentangan dengan kata-katanya. Ini semua tidak dapat dihindari, akan tetapi tidak sesuai dengan gambaran, bahwa kepatuhan kepada undang-undang menunjukkan ketundukan kepada artinya menurut bahasa sehari-hari.
169
Apabila orang mengikuti pendapat kita, maka di sini untuk orang yang mencari hukum tidak ada batubatas yang tidak boleh ia pindahkan, melainkan seutas tali yang direntang sekuat-kuatnya, akan tetapi yang tidak terus-menerus dibengkokkan, melainkan yang bahkan dalam keadaan darurat dapat diputuskan. Kalau kita tidak menggunakan kiasan: maka di sini ada wibawa yang harus dihormati, bukannya suatu wibawa yang menghendaki ketundukan tanpa syarat. Memang benar: bilamana hasil dari penafsiran telah diketemukan, maka hasil itu sekali lagi dikaji dengan kata-katanya dan tidak akan cepat diterima dalam hal ada pertentangan yang nyata dengan kata-katanya. Akan tetapi mungkin diterima.
170
   Apabila orang menginsafi semuanya ini, maka juga tidak sulit untuk menetapkan kapan suatu interpretasi menurut kata-katanya yang diberatkan, kapan interpretasi menurut kata-katanya harus menyingkir untuk yang lain. Sebagaimana telah saya kemukakan, peraturan-peraturan umum yang berlaku untuk itu tidak ada, akan tetapi dapat ditetapkan keadaan-keadaan manakah yang harus diperhitungkan. Perintah itu menuntut penafsiran kata yang lebih ketat dari pada peraturan. Hukum pemaksa akan lebih harus dimengerti menurut kata-katanya dari pada peraturan pelengkap. Dalam hukum pemaksa wibawa undang-undang bicara dengan tekanan yang lebih besar, kata-kata yang dipergunakannya mendapat daya dukung (kekuatan) yang lebih besar karenanya. Selanjutnya kata akan semakin mempunyai arti yang lebih besar pagina-56semakin konkrit kata itu. Suatu istilah yang kabur dapat diulur-ulur, suatu ungkapan yang konkrit memberikan kesempatan mulur-mungkret yang lebih kecil. Lalu wibawa kata-kata akan semakin berkurang semakin jauh saat terjadinya undang-undang itu dari kita. Ini ada hubungannya dengan sifat dari interpretasi historis, yang akan saya uraikan lebih bayak di bawah ini. Semakin tua undang-undang itu dan semakin bayak diterapkan, maka kata-katanya semakin kurang dilihat sebagai kata-katanya sendiri, melainkan lebih dilihat dalam hubungannya dengan penerapannya.
171
   Jadi wibawa yang terbesar adalah wibawa kata-kata dalam perintah dari undang-undang yang baru saja diundangkan. Tidak ada tempat lain di mana penafsiran menurut kata-katanya begitu pada tempatnya seperti pada peraturan polisi. Kalau kita membatasi diri pada hukum perdata, maka misalnya dalam B.W. kita penafsiran menurut kata-katanya lebih besar artinya dalam hukum anak dari pada dalam hukum perikatan.
   Akan tetapi semua ini—walaupun ini tidak tanpa kepentingan—tidak mempunyai arti lebih daripada penunjukan suatu arah yang harus kita ikuti. Suatu aturan yang harus diperhatikan pada setiap penafsiran undang-undang tidak ada. Aturan ini tidak dapat lain dari pada: wibawa bahasa itu besar — akan tetapi itu bukan satu-satunya. Bahasa sehari-sehari pada akhirnya adalah suatu data, yang secara kuantitatif dan tidak secara kualitatif berbeda dari yang lainl.
172

§ 11 Kehendak pembentuk undang-undang; interpretasi menurut sejarah undang-undang.

   Undang-undang adalah pernyataan kehendak dari alat perlengkapan negara tertentu yang dibebani dengan perundang-undangan. Bilamana orang ingin menetapkan arti dari undang-undang, apa yang lebih mudah dari pada melacak maksud yang berdasarkan penjelasan mereka dengan peraturan-peraturan yang mereka tentukan ada pada mereka? Terus-menerus terjadi, bahwa untuk menafsirkan suatu undang-undang, orang melihat kembali sejarah parlementernya. Bagaimanapun oleh banyak penulis dan penulis-penulis yang berwibawa diperbolehkannya cara, ini dipertengkarkan.58 Sementara orang pagina-57berkata: maksud yang barangkali dapat ditetapkan andaikata kita hanya berurusan dengan perundang-undangan satu orang, tidak dapat dikenal pada pembentuk undang-undang yang terdiri atas banyak orang, karena sekarang yang dibebani dengan tugas perundang-undangan itu tidak hanya Raja dengan para menteri beserta pembantu-pembantunya yang banyak jumlahnya, melainkan di samping itu juga lembaga-lembaga/badan-badan yang begitu luas seperti Staten Generaal (dewan perwakilan rakyat).
173
Bagaimana kita tahu, bahwa apa yang diucapkan menteri sebagai penjelasan terhadap suatu usul disetujui oleh mayoritas dari dewan perwakilan rakyat? Bukan penjelasannya, melainkan usul undang-undangnya sendiri yang mereka terima dengan suara mereka itu. Lagi pula, andaikata kita dapat memastikan bahwa memang semua anggota parlemen serta menteri dan akhirnya juga Raja semuanya mempunyai maksud yang sama dengan sesuatu peraturan undang-undang, maka itupun tidak akan mengikat kita. Dengan undang-undang dan tidak lain daripada itu pembentuk undang-undang dapat memerintahkan sesuatu kepada kita. Apa yang dipikirkan dan dikehendaki oleh orang-orang yang merupakan kekuasaan perundang-undangan ini, adalah kepentingan mereka pribadi yang tidak lebih dari pada kepentingan siapapun.
174
   Serangannya mencapai sasarannya, jika dibela dalil, bahwa maksud dari alat-alat perlengkapan kekuasaan perundang-undangan yang disimpulkan dari surat-surat yang dipertukarkan dan perdebatan-perdebatan dalam dewan perwakilan rakyat itu akan mengikat pada penemuan hukum. Masih terlalu banyak orang berpendapat, bahwa dengan menunjuk kepada ucapan menteri atau anggota parlemen, persoalan mengenai interpretasi dari undang-undang sudah selesai. Bukannya pembentuk, undang-undang yang mengikat kita, melainkan undang-undang.
   Akan tetapi dengan demikian pertanyaannya dirumuskan salah. Persoalannya bukanlah: atau kehendak pembentuk undang-undang, atau kata-kata dari undang-undang; tidak pula atau arti subyektif atau arti obyektif. Undang-undang adalah sekaligus gejala sejarah dan suatu satuan yang bukan materiel bukan pula riel di dalam kehidupan pada masa kini. Teks undang-undang adalah sekaligus pernyataan kehendak dari orang-orang tertentu di masa lampau dan suatu pedoman untuk masa sekarang yang terlepas dari orang-orang itu, akan tetapi teks itu hanyalah pedoman karena teks itu adalah kehendak dari orang-orang tertentu di masa lampau itu.
175
   Juga saya akan memisahkan penyelidikan historis dan penyelidikan yuridis dan sandaran bahwa untuk membela sejarah undang-undang sebagai sarana interpretasi itu dapat dibenarkan atas dasar fakta/kenyataan bahwa juga sejarawan hukum untuk mengerti undang-undang dari masa lampau dengan pagina-58senang mempergunakan59 segala sesuatu yang dapat menyingkapkan maksud dari orang-orang yang telah membuat undang-undang itu, tidak berlaku. Ahli sejarah ingin mengerti lahirnya dan tujuannya undang-undang, berusaha memahami perundang-undangan apa yang ada pada saat undang-undang itu dibentuk, tujuan akhirnya dengan kepastian sepenuhnya, maka pengetahuan itu tidak banyak membantunya untuk pertanyaan: penerapan undang-undang yang konkrit yang bagaimanakah harus saya lakukan berdasarkan undang-undang ini? Untuk sarjana hukum data yang dibawa serta oleh sejarah undang-undang merupakan salah satu data di samping data-data yang lain: bahasa sehari-hari, kesesuaian dengan tujuan, sistem, dan sebagainya. Apa yang bagi seorang ahli sejarah merupakan tujuan akhir, itu adalah sarana bagi seorang sarjana hukum, akan tetapi bodohlah kiranya andaikata sarana ini diabaikan.
176
   Satu contoh dari kepustakaan yang terbaru. Orang berselisih faham mengenai arti dari kata “dasar-dasar hukum” dalam ps. 50Hv, melawankannya dengan “upaya-upaya hukum” dan berusaha menetapkan perbedaan antara dasar dan upaya. Belum lama ini P.J. de Kanter dalm disertasinya60 mengenai soal ini menunjukkan, bahwa dalam rencana undang-undang ps. 50 yang sekarang ini masih mempunyai satu ayat lagi yang mendahului pasal yang sekarang berdiri sendiri itu dan bahwa ayat itu dihapuskan, karena orang menganggapnya tidak ada gunanya. Dari situ terbukti, bahwa “dasar-dasar hukum” tidak berpasangan dengan “upaya-upaya hukum”, melainkan berpasangan dengan “dasar-dasar kenyataan”.
177
Kesulitan-kesulitan praktek tentang dilengkapi tidaknya oleh hakim karena jabatannya, bantahan-bantahan dari fihak-fihak tidak terpecahkan dengan itu, akan tetapi tidaklah dapat dibantah, bahwa pengamatan ini memperjelas persoalan yang ruwet ini, sehingga dengan demikian data yang diberikan oleh sejarah undang-undang ini mempunyai wibawa. Contoh lain dari pengalaman saya sendiri. Belum lama ini ditanyakan kepada saya apakah syarat penegoran dalam ps. 1155 B.W. itu berisi hukum pemaksa. Saya jawab tidak berisi hukum pemaksa dan saya mengatakan, bahwa saya sampai pada kesimpulan ini karena saya lihat, bahwa tenggang tertentu yang membebaskan orang dari penegoran dibutuhkan dalam tahun 1874 dalam pasal itu dan bahwa orang melakukan itu untuk memungkinkan orang melepaskan penegoran. Jadi memandang syarat itu sebagai hukum dispositif.61 pagina-59
178
   Dalam dua segi penyelidikan sejarah undang-undang itu dapat penting artinya: pertama untuk menetapkan, bagaimana keadaan hukumnya menurut gambaran dari pembentuk undang-undang pada saat pembentukan undang-undang, perubahan apa yang dikehendaki orang dan mengapa orang menghendakinya, dan kemudian untuk menyelidiki ruang lingkup yang bagaimanakah yang diberikan oleh para pembentuk undang-undang itu kepada istilah-istilah yang mereka pergunakan. Untuk yang akhir itu wibawa dari data yang diberikan oleh dokumen-dokumen dewan perwakilan rakyat lebih besar daripada untuk yang pertama. Mungkin saja, bahwa orang-orang lain telah melihat lebih tajam apa yang mendorong untuk terjadinya perubahan hukum dari pada mereka yang pada akhirnya mengadakan perubahan itu—meskipun harus diingat, bahwa pada waktu mengubah keinginan-keinginan itu dalam undang-undang merekalah sesungguhnya yang menentukan. Mengenai rumusan dalam arti yang lebih sempit, pemilihan kata-kata, jelas tidak ada orang lain yang dapat menerangkan lebih baik apa yang dimaksud dengan itu, dari pada mereka yang telah memilih kata-kata itu. Bahwa dengan rumusan itu tidak semuanya ditentukan sudah berulangkali saya katakan, akan tetapi itu tetap penting.
179
   Bilamana orang ingin menentukan pentingnya itu lebih lanjut, maka orang harus memperhatikan tiga hal.
   Pertama: orang harus memperhatikan pada yang memberi penjelasan yang dikutip. Perumusan yang diberikan oleh Menteri untuk menghapus keragu-raguan yang mungkin timbul mempunyai arti yang lebih besar dari pada pendapat lepas dari seorang anggota parlemen. Akan tetapi kita dapat menarik garis ini lebih jauh lagi: dalam hal ini Menteri yang satu wibawanya lebih besar dari pada Menteri yang lain. Apabila ia orang yang sangat berwibawa, yang sepenuhnya menguasai isi undang-undang, maka pada waktu menafsirkan pendapatnya lebih berbobot dari pada pendapat orang yang hanya membeberkan apa yang disodorkan oleh pegawai-pegawainya—itu pernah sekali terjadi—dan pada pembicaraan undang-undangnya sendiri di dalam parlemen ternyata sama sekali tidak menguasai materinya. Sudah terkenal, bahwa tidak ada tempat lain di mana sejarah undang-undang mempunyai wibawa yang sedemikian besarnya dari pada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana62
kita.
180
Untuk sebagian besar hal itu dapat dikembalikan kepada wibawa pribadi Menteri Modderman yang begitu besar, kepada keyakinan, bahwa kitab undang-undang ini adalah suatu monumen dari teknik perundang-undangan. Dan bahkan tidak usah seorang menteri atau anggota pagina-60parlemen yang menikmati wibawa seperti itu. Persiapan dari undang-undang kepailitan sampai tingkat terpenting ada di tangan Molengraaff; fakta itulah memberikan arti khusus kepada interpretasinya. Pada hukum laut yang baru, sama keadaannya. Itu tidak hanya suatu fakta yang saya ungkapkan, saya anggap penghormatan ini, yang dapat ditempatkan dalam ajaran bahwa yang mengikat kita itu adalah pembentuk undang-undang yang tidak bersifat pribadi, dapat dibenarkan sepenuhnya. Apabila wibawa penjelasan dari para pembentuk undang-undang bersandar pada gambaran-gambaran mereka pribadi mengenai ruang-lingkup dari peraturan-peraturan yang dibuat, maka dapat dimengerti bahwa yang satu ditempatkan di atas yang lain.
181
   Kedua: juga di sini harus dibedakan antara undang-undang yang lama dan undang-undang yang baru. Letakkanlah komentar baru di samping komentar lama terhadap kitab undang-undang yang sudah agak tua. Komentar itu dibuat tidak dengan bantuan dokumen-dokumen dewan perwakilan rakyat dan mengupas ketentuan-ketentuannya dalam arti harafiah. Ini berisi kasus-kasus praktek, konstruksi-konstruksi ilmiah, yurisprudensi. Dan juga perbedaan ini tidak saja dapat diterangkan, melainkan dapat dibenarkan. Undang-undang semakin lepas dari pembuatnya, juga penafsirannya berkembang. Dengan pudarnya wibawa dari kata-kata, ya lebih dari itu, pudar pula wibawa sejarah undang-undang. Sejarah undang-undang harus menyisih untuk suatu penafsiran yang membentuk dirinya ke jurusan lain; akan tetapi bahwa bagaimanapun sejarah undang-undang itu penting, sudah ditunjukkan oleh contoh kita. Lebih-lebih sejarah yang sudah dilupakan, juga sejarah undang-undang, kerapkali dapat memperjelas.
182
   Ketiga: nilai dari penjelasan pada perintah akan lebih besar dari pada nilai dari penjelasan pada peraturan yang bersifat mengatur. Sangatlah penting untuk mengetahui apa yang digambarkan presis oleh orang yang memerintah dari pada apa pikiran-pikiran mereka yang hanya mengatur. Yang akhir itu memberi kebebasan yang lebih besar; tidak hanya kemudian, melainkan segera pada waktu pembuatan peraturannya pribadi dari pembentuk undang-undang yang menciptakan peraturan-peraturan sedemikian itu kurang menonjol dibandingkan dengan orang yang dengan tegas memaksakan kehendaknya. Juga dalam segi ini wibawa kata-kata dan wibawa maksudnya berjalan bersama-sama, keduanya berhadapan dengan wibawa sejarah dan sistem. Justru pada perintah baik kata-katanya maupun maksudnya mempunyai nilai yang tinggi, meskipun apabila diperhatikan sifat dari peraturannya, sifat dari perintahnya, kata berbobot lebih berat dari pada maksudnya. Akan tetapi saya ulangi lagi: ini tidak lebih dari pada petunjuk-petunjuk, peraturan-peraturan tetap mengenai tingkatan dari faktor-faktor pagina-61penafsiran tidak dapat diberikan. Juga kedua pembedaan ini menerangkan nilai dari sejarah undang-undang untuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana; juga, bahwa nilai sejarah Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini sekarang menurun.
183
   Di samping itu hal ini juga berhubungan dengan fakta, bahwa pada umumnya orang sekarang cenderung untuk memberikan nilai lebih kecil kepada sejarah parlementer dari undang-undang dari pada dulu. Sampai sejauh mana hal ini dapat dibenarkan, dapat disimpulkan dari uraian sebelumnya.
184

§ 12 Kesatuan undang-undang; interpretasi sistematis; ilmu pengertian; konstruksi.

   Pada halaman 53 kita lihat, bahwa interpretasi menurut ilmu bahasa mengandung lebih daripada yang tercantum di dalamnya. Seperti halnya kata-kata harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan kalimat yang menggunakan kata-kata itu, maka kalimat-kalimat harus dimengerti dalam hubungannya dengan ketentuan undang-undang, selanjutnya ketentuan undang-undang harus dimengerti dalam hubungannya dengan undang-undang dan undang-undang tersendiri harus dimengerti dalam hubungannya dengan tata hukum dalam keseluruhannya.
185
Kita tidak dapat berpegang pada undang-undang sebagai pernyataan kehendak dari orang-orang tertentu. Setiap undang-undang baru dimasukkan dalam keseluruhan perundang-undangan. Keseluruhan” itu bukanlah pekerjaan dari orang-orang tertentu; mengenai keseluruhan ini tidak dapat dikatakan adanya maksud dari orang-orang tertentu ini. Keseluruhan itu dapat dimengerti sebagai kesatuan yang tidak ada pertentangan di dalamnya. Ini adalah-akibat dari sifat hukum sebagai perintah dan penataan. Suatu perintah yang bertentangan menghapus dirinya sendiri, suatu penataan yang melawan dirinya sendiri adalah kekacauan. Kapan saja orang mengakui, bahwa suatu undang-undang baru yang bertentangan dengan suatu undang-undang lama menyebabkan hapusnya undang-undang yang lama itu. Ini dasarnya terdapat dalam kesatuannya,lex posterior derogat priori” bukanlah suatu ketentuan hukum positif, melainkan suatu syarat logis dari setiap hukum positif.
186
   Dari kesatuan itu juga timbul akibat, bahwa setiap ketentuan undang-undang harus selalu ditafsirkan dalam hubungannya dengan ketentuan-ketentuan undang-undang yang lain. Tidak hanya bahwa kata-kata dari pasal yang satu kerap kali baru dapat dimengerti dari kata-kata dari pasal yang lain, melainkan kita juga berusaha mengerti berbagai peraturan-peraturan undang pagina-62undang sedemikian rupa, sehingga peraturan-peraturan itu merupakan suatu keseluruhan yang bersambungan satu sama lain. Yang satu dilihat sebagai penjabaran, pelengkap atau penyimpangan dari yang lain. Dari sejumlah besar peraturan-peraturan yang diberikan kepadanya itu ilmu hukum membuat suatu sistem, sehingga materinya dapat dikembalikan kepada peraturan-peraturan pokok dalam jumlah yang sekecil-kecilnya. Akan tetapi di sini kita mendapat kesulitan, justru untuk penemuan hukum.
187
Sistematisasi itu tidak dapat dihindari; mengenai hal itu setiap orang sependapat. Yang sama harus dikumpulkan dengan yang sama, peraturan-peraturan mengenai pembelian mebel, rumah, tanah dan tagihan-tagihan harus dikumpulkan menjadi peraturan-peraturan tentang membeli jika digabungkan dengan peraturan-peraturan mengenai sewa, pinjam pakai, penitipan dan sebagainya, maka peraturan-peraturan tersebut merupakan peraturan-peraturan mengenai perjanjian. Untuk perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian dan dari perbuatan melawan hukum ditunjuk peraturan-peraturan yang sama. Dan demikianlah kita dapat berbuat terus. Nilai pedagogis dari ini semua adalah jelas. Tidak ada orang yang dapat mengenal hukum, bilamana tidak dengan pembentukan pengertian-pengertian umum dan sistematisering lex posterior derogat priori” yang menggunakan pengertian-pengertian umum ini sebagai dasar pandangan menyeluruhnya dimungkinkan. Akan tetapi apakah sistematisasi ini juga penting untuk penemuan hukum?63
188
   Dari uraian di atas itu nampaknya dapat disimpulkan bahwa hal itu penting. Akan tetapi di sini kita dihadapkan pada suatu pertanyaan, yang memberi alasan untuk keragu-raguan yang besar. Pertanyaan itu sebagai berikut apakah dengan menarik sifat umum dari peraturan-peraturan hukum dapat disimpulkan pengertian-pengertian dan asas-asas, yang pada gilirannya mengandung penyelesaian dari persoalan-persoalan hukum yang tidak diputuskan dalam undang-undang? Ada orang-orang yang berpendapat demikian, yang percaya kepada apa yang disebut orang ekspansi logis dari hukum. Sebagai wakil khas dalam aliran ini biasaya disebut Karl Bergbohm;64 di negara kita Suyling -lah yang sangat menyukainya. Untuk mengutip suatu keputusan terkenal dari H.R., bolehkah orang menyimpulkan dari peraturan yang mengatakan bahwa suatu perhimpunan untuk dapat bertindak sebagai badan hukum memerlukan pengakuan, sehubungan dengan penyamaan badan hukum dan orang sebagai badan pribadi, bahwa juga suatu pagina-63badan hukum untuk dapat mewaris sudah harus ada pada saat harta peninggalan itu terbuka dan karenanya penetapan suatu perhimpunan yang tidak memenuhi kualitas itu sebagai ahli waris menjadi tidak sah?
189
H.R. menganut pendapat itu dalam perkara Museum Haarlem65 yang terkenai itu. Atau untuk menyebut contoh yang kurang jauh jangkauannya, yang di dalamnya dipergunakan metoda seperti itu: bolehkah orang dari berbagai-bagai peraturan penyitaan menyimpulkan sifat dari penyitaan pada umumnya dan dari situ mengadakan deduksi, bahwa penyitaan antara orang-orang ketiga hanya mengenai tuntutan-tuntutan yang sudah ada pada saat penyitaan itu diadakan?66 Contoh ini saya kutip untuk menunjukkan, bahwa pengembalian ke pengertian-pengertian umum sama sekali tidak perlu sejauh seperti halnya dalam proses badan hukum yang terkenal itu, melainkan selalu diterapkan pada persoalan-persoalan hukum yang relatif sederhana.
190
   Pada masa ini banyak orang membantahnya. Mereka menolak metoda ini sebagai “Begriffsjurisprudenz” (ilmu pengertian), Logis, kata orang, dari peraturan-peraturan yang ada orang tidak pernah dapat menyimpulkan lebih dari pada apa yang terdapat di dalamnya, sesuatu yang baru tidak dapat diperoleh dengan jalan itu; tidak ada jaminan apapun, bahwa bilamana pembentuk undang-undang memberikan putusan-putusan khusus lalu sekarang juga menghendaki, bahwa apa yang pada putusan-putusan ini umum lalu berlaku sebagai peraturan umum. Bilamana pembentuk undang-undang memberikan berbagai-bagai peraturan berdampingan mengenai penyitaan, maka dari situ jelas orang boleh menyimpulkan sifat dari penyitaan menurut hukum Belanda. Akan tetapi pada deduksi suatu peraturan yang mempunyai “sifat” seperti itu dan penerapannya pada penyitaan di antara orang-orang ketiga, dianggap bahwa penyitaan di antara orang-orang ketiga juga dalam hal ini harus dinilai menurut peraturan-peraturan penyitaan umum dan justru ini bukanlah keharusan logis.
191
Mungkin saja, bahwa penilaiannya dalam hal ini keluar dari ikatan yang sifatnya sebagai penyitaan mengikat pengaturan masing-masing dari berbagai-bagai jenis penyitaan itu. Apabila badan pribadi dan badan hukum kedua-duanya adalah orang (person), maka dengan itu belum berarti bahwa dalam segala hal mereka harus diperlakukan sama, dengan itu belum tentu membawa akibat bahwa suatu hubungan yang sudah ada dan lagi pula diakui oleh hukum harus dianggap sebagai tidak ada. Dengan demikian orang memperoleh kesimpulan-kesimpulan yang mengharuskan pagina-64yang nampaknya logis, dalam kenyataannya dalam penilaian terdapat penentuan nilai (waardering) dari si penafsir.67
192
   Ini semua nampaknya jelas. Tidak dapat dikatakan adanya kekuatan ekspansi logis dari undang-undang; mengenai hal ini saya masih akan kembali lagi di bawah ini. Akan tetapi dengan demikian belum diputuskan/ditentukan, bahwa pembentukan pengertian tidak ada harganya untuk penemuan hukum. Untuk menjawab pertanyaan mengenai harga itu kita perlu sekali lagi memperhatikan sifat dari pembentukan hukum. Sudah dalam paragraf 1 kita tunjukkan, bahwa pembentukan hukum ini pertama-tama adalah penerapan peraturan-peraturan. Pembentukan hukum tidak boleh terbatas pada penerapan peraturan, subsumsi suatu kasus ke dalam suatu peraturan tidak boleh merupakan kegiatan logis mumi, akan tetapi meskipun demikian memang benar, bahwa pada penglihatan pertama penemuan hukum adalah penerapan peraturan.
193
   Misalkan sekarang, bahwa ada fakta-fakta yang dikemukakan untuk dinilai, yang tidak segera dapat diputuskan/ditentukan, bahwa fakta-fakta itu memberikan alasan untuk diterapkannya suatu peraturan tertentu. Misalnya ada perjanjian angsuran, yaitu para fihak memperjanjikan bahwa fihak yang satu akan menyerahkan sesuatu benda kepada fihak yang lain, dan fihak yang lain akan membayar sejumlah uang untuk benda itu, yang akan dilunasi dalam angsuran-angsuran, dengan janji bahwa hak miliknya tidak akan beralih sebelum angsuran terakhir dilunasi dan bahwa selama itu angsuran-angsuran yang sudah dibayar itu akan berlaku sebagai sewa dari benda yang dalam pada itu sudah diserahkan untuk dipakai. Apakah ini masih merupakan pembelian? Untuk memutuskan apakah itu pembelian, kita harus menyelidiki apa yang oleh pembentuk undang-undang diartikan dengan pembelian pada waktu ia membentuk peraturan-peraturan mengenai pembelian. Kita harus menentukan lebih lanjut pengertian pembelian, menunjukkan apa yang essensiel di dalamnya. Ini dapat kita lakukan dengan abstraksi, membuang semua kekhususannya dan menunjukkan apa yang essensial. Apabila kita sampai pada kesimpulan, bahwa yang essensial itu juga diketemukan kembali pada perjanjian angsuran, maka kasus yang dihadapkan kepada kita itu telah kita “konstruksi” sebagai pembelian. Saya kira tidak ada orang yang akan membantah diperbolehkannya, sangat perlunya metode ini.
194
   Praktis orang berbuat sama bilamana orang melakukan penyelidikan, tidak mengenai suatu perbuatan konkrit, tetapi mengenai suatu tipe perbuatan pagina-65-perbuatan, tidak untuk perjanjian angsuran ini, bahwa X dan Y mengadakan perjanjian angsuran untuk suatu alat penyedot debu tertentu, melainkan untuk perjanjian angsuran seperti yang dipergunakan praktek di negeri Belanda sekarang. Perbedaannya hanyalah graduel, obyek dari penyelidikannya sendiri diketemukan lagi dengan abstraksi dari serangkaian tingkah-laku. Dan juga tidak membedakan apakah tipe perbuatan seperti itu dirumuskan atau tidak dirumuskan dalam undang-undang. Untuk metode nya tidak ada perbedaan (sama saja) apakah kita menentukan bahwa perjanjian angsuran seperti yang dikenal oleh praktek di negeri Belanda itu pembelian, atau apakah kita sampai pada kesimpulan itu untuk perjanjian angsuran yang diatur oleh undang-undang Jerman.
195
Apa yang kita lakukan adalah sekali lagi subsumsi suatu peristiwa atau serangkain peristiwa-peristiwa ke dalam suatu hubungan umum yang dikuasai oleh peraturan-peraturan tertentu, jadi subsumsi ke dalam peraturan-peraturan itu.
   Jadi, apabila kita mengadakan sistematisasi dan dengan jalan ini menemukan hukum, menentukan misalnya sesuai dengan hukum dagang yang lebih baru, bahwa wesel adalah suatu surat bukti dari suatu perjanjian atau menemukan bahwa firma adalah badan hukum68
dan berdasarkan penemuan itu untuk persoalan tertentu mempertahankan kesimpulan-kesimpulan tertentu, maka hal itu tidak lain adalah melangsungkan secara konsekuen apa yang ditunjukkan sendiri oleh pekerjaan sederhana penerapan peraturan. Karena penerapan hukum adalah subsumsi logis, maka kegiatan logis secara induktif mengumpulkan data-data, mereduksi data-data ini menjadi pengertian-pengertian umum dan dari pengertian-pengertian umum ini mendeduksinya lagi menjadi kesimpulan-kesimpulan baru, adalah kegiatan ilmu hukum yang terutama. Peradilan adalah selalu memperlakukan sama peristiwa-peristiwa yang sama. Kesamaan peristiwanya hanya dapat diketemukan dengan pertolongan pengertian yang dihasilkan oleh kegiatan intelektual.
196
   Ini juga dapat kita katakan begini. Pada setiap penilaian hukum tidak hanya peraturan yang langsung dipertahankan yang diterapkan, melainkan juga banyak peraturan .yang lain-lain: ketertiban hukum adalah suatu kesatuan. Pada setiap putusan mengenai pembelian harus juga diterapkan peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian pada umumnya. Jadi apabila perjanjian angsuran itu pembelian, maka dalam putusan mengenai hubungan seperti itu harus juga dipertahankan peraturan-peraturan mengenai pagina-66perjanjian pada umumnya. Apabila wesel itu surat bukti dari suatu perjanjian, maka setiap orang yang harus menjawab pertanyaan konkrit mengenai hukum wesel, harus mengingat peraturan-peraturan mengenai bukti tertulis dan perjanjian. Jika persekutuan dengan firma adalah badan hukum, maka jawaban persoalan-persoalan yang bersifat prosesual, misalnya apakah pembelian mandiri dari masing-masing firma dalam suatu proses terhadap persekutuan diizinkan, apakah seorang firman dapat dipanggil untuk membebaskan dalam suatu proses terhadap persekutuan dan sebagainya, harus berbunyi lain dari pada jika kedudukan sebagai badan hukum itu diingkari.69
197
   Akan tetapi, demikian orang akan bertanya, apakah dengan demikian yurisprudensi (ilmu ) pengertian yang tadi ditolak bagaimanapun lalu dimasukkan lagi? Saya akan menjawab: sama sekali tidak. Sebab kesalahannya tidak terletak dalam kenyataan bahwa ia menggunakan pembentukan pengertian sistematis pada penemuan hukum—itu dilakukan oleh setiap orang—melainkan bahwa ia salah mempergunakannya dan memberikan kekuatan yang menentukan kepada apa yang nampaknya hanya sarana pada penemuan hukum. Tidak dalam penggunaan pembuktian logis letak kesalahannya, melainkan dalam penggunaan yang salah, tidak dalam penerimaan metodenya, melainkan pada tunduknya kepada metode itu. Ini adalah akibat dari sikap intelektual yang lazim yang mudah mengakui kesalahannya mengenai apa yang menampakkan diri kepada kita sebagai keharusan logis seperti kepada seorang penguasa mutlak.
198
Pernyataan: perhimpunan itu bukan badan hukum, jadi tidak ada perhimpunan, untuk dapat mewaris orang harus sudah ada, dengan demikian perhimpunan tidak dapat mewaris, nampaknya cukup menentukan. Akan tetapi menjadi pertanyaan apakah di dalam rangkaian itu tidak terdapat suatu retak, apakah kenyataan bahwa perhimpunan dan manusia itu di muka hukum adalah orang (person) juga mengandung arti bahwa “adanya” badan pribadi dan badan hukum dapat disamakan, terutama apakah batalnya pewarisan boleh disimpulkan dari kesimpulan itu. Sebelum kita menerima kesimpulan itu, kita harus mengkaji hasilnya secara lain. Metode logis sistematis berdiri di samping metode yang lain, metode logis sistematis tidak menutup metode- metode yang lain.
199
   Kita telah mengatakan, bahwa mencari hukum adalah subsumsi peristiwa-peristiwa ke dalam peraturan-peraturan, akan tetapi—seperti sudah berulangkali kita buktikan—lebih dari itu. Akibatnya adalah, bahwa metode sistematisasi, metode konstruksi itu sendiri yang merupakan lanjutan dari kegiatan logis ini, sama halnya dengan yang lain, tidak menentukan. pagina-67
   Sebelum kita menentukan nilainya lebih lanjut, kita harus. memberikan beberapa catatan mengenai konstruksi.
200

§ 13 Konstruksi (lanjutan); Fiksi.

   Tidak banyak penulis yang sedemikian hebatnya mencela Begriffsjurisprudenz seperti Jhering. Pada hari tuanya ia mengecamnya dengan ejekan pahit. Namun demikian apa yang dalam periode pertamanya ia tulis mengenai konstruksi masih selalu yang terbaik.70 Dalam tulisan itu banyak yang sudah usang, akan tetapi tiga syarat yang ia tentukan untuk konstruksi, yaitu bahwa konstruksi harus meliputi materi positif, bahwa konstruksi harus tidak ada pertentangan di dalamnya, bahwa konstruksi harus memenuhi syarat-syarat estetis, masih dapat diajukan kepada setiap sistematikus.
201
   Meliputi materi positif. Berulangkali suatu ajaran yang untuk waktu lama diterima, terbukti tidak meliputi materi positif seluruhnya; ajaran itu harus menyingkir untuk ajaran lain yang tidak memperlihatkan cacat dari ajaran sebelumnya, akan tetapi yang barangkali kemudian pada segi yang berlainan sama sekali akan mempunyai kelemahan, sehingga karenanya juga ajaran ini lalu gugur. Apabila kita membatasi diri pada materi dalam perundang-undangan sendiri, maka contoh-contoh mengenai ditinggalkannya ajaran-ajaran lama dan disusunnya ajaran-ajaran baru dalam hukum pada 'waktu-waktu yang akhir-akhir ini banyak sekali.
202
Untuk mengambil satu dari masing-masing jilid yang mengikuti .pengantar ini: Apabila ajaran bahwa perhimpunan yang bukan badan hukum di muka hukum dianggap tidak ada, ditolak, maka hal itu juga disebabkan karena ajaran itu bertentangan dengan ps. 1 dari wet 1855 sehubungan dengan titel mengenai badan-badan hukum (zedelijke lichamen) dalam B.W.71 Apabila bezit tahunan sebagai syarat untuk tuntutan (gugatan-gugatan) bezit dipertahankan, maka hal itu terjadi karena doktrin yang mengecap setiap kekuasaan sepintas sebagai bezit tidak sesuai dengan peraturan dalam ps. 545 B.W. yang mengatakan bahwa pada inbezitneming oleh orang lain secara bertentangan dengan kehendak bezitter, maka bezit (penguasaan) baru lepas setelah bezit (menguasai) satu tahun dengan tenteram oleh si penyerobot.
203
Bilamana Houwing72 menyatakan ajaran pagina-68barunya mengenai keadaan memaksa (overmacht), maka pertama-tama ia bertumpu pada ps. 1244 B.W., dan berpendapat bahwa ajaran yang baru itu tidak dapat disesuaikan dengan ajaran yang lama.73 Apabila Meijers mengalihkan hutang-hutang si pewaris, baru setelah adanya penerimaan oleh ahli waris dan sehubungan dengan itu menyusun pandangan baru mengenai saisine, maka hal itu juga atas dasar kata-kata “yang telah menerima suatu warisan” dalam ps. 1100 B.W.74 Jika Anema menetapkan kekuatan pembuktian materiel dari akte berhadapan dengan kekuatan pembuktian formal, maka hal itu juga karena pengaturan positif dari ps. 1870 B.W. lah yang memberi dasar kepadanya.75 Dan dengan cara ini orang dapat berbuat sampai tidak terbatas.
204
   Ajarannya tidak boleh membantah dirinya sendiri. Ilmu hukum, dalil abstrak mengenai hukum, dan ringkasannya. dalam satu pengertian menuntut kesatuan logis. Apakah ada sesuatu yang lain dari pada keberatan terhadap ketidak-logisan seperti itu, apabila Hamaker menolak pendapat bahwa peralihan hak milik dari benda tidak bergerak akan terjadi karena balik nama dalam register-register? Bagaimana seorang yang mengalihkan dapat memperalihkan oleh perbuatan seorang pejabat yang melakukannya atas dasar perintah si penerima?76 Dan apabila banyak orang tidak mau tahu tentang pengertian Jerman mengenai hipotik pemilik (eigenaarshypotheek), apa lagi yang menjadi pertimbangan mereka dari pada pertimbangan bahwa hipotik sebagai hak atas benda orang lain, sebagai pembatasan hak milik (eigendom), tidak dapat ada di tangan si pemilik? Ada suatu pertentangan logis yang tidak dapat mereka cemakan.
205
   Akhirnya faktor estetis. Apakah ada sesuatu lain dari pada syarat-syarat estetis yang menjadi alasan apabila kita setiap kali menolak sesuatu pandangan sebagai “tidak wajar”? Kita menginginkan kesederhanaan, memilih yang jelas daripada yang ruwet. Ilmu hukum, seperti halnya setiap ilmu yang lain, membutuhkan suatu penggambaran yang jelas. Tidak di tempat yang terakhir kemampuan menggambarkan yang mencirikan seorang ilmuwan hukum. Barangkali ini tidak pernah begitu kuatnya seperti pada bangsa Romawi; ingat saja pada obligation sebagai vinculum juris, sebagai ikatan hukum, dan segalanya yang dengan itu kita dibuat dapat mengerti. pagina-69 Perhimpunan dan negara keduanya adalah orang (persoon) di muka hukum seperti halnya manusia. Dengan gambaran ini dapat ditangkap apa yang kalau tidak digambarkan akan selalu remang-remang dan tidak pasti. Oleh kemampuan penggambaran bahasa dimungkinkan aturan-aturan diringkaskan dan dibentuk pengertian-pengertian baru, yang andaikata tidak begitu kita akan tetap bergagap-gagap dalam penggunaan kalimat-kalimat yang lebih berkepanjangan. Tanpa gambar, tidak ada pembentukan pengertian; bahwa karena itu pembentukan pengertian itu bukan semata-mata “khayalan” seperti halnya dikemukakan justru terhadap badan hukum, setelah apa yang dikatakan ini tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
206
   Jhering masih menunjuk pada sesuatu lain. Yaitu apa yang ia namakan dalil kehematan: keharusan utnuk menguasai materi dengan sedikit mungkin pengertian. Semakin sedikit, semakin sederhana hubungannya satu sama lain, semakin kuat hukum menonjolkan dirinya kepada jiwa kita, yang selalu cenderung untuk berpikir dalam skema-skema logis. Pemakaian pengertian badan hukum, perluasan pemakaian pengertian badan hukum pada yayasan, adalah suatu contoh bagaimana dengan satu pengertian dapat dikuasai hubungan-hubungan yang sangat berbeda. Juga pencakupan barang-barang dan hak-hak dalam pengertian “benda” yang memungkinkan pengertian itu menempatkan bezit atas hak-hak di samping bezit atas barang-barang dan menerapkan peraturan-peraturan bezit atasnya, dan beroperasi dengan “hak-hak atas hak-hak”, hak gadai dari suatu tuntutan/tagihan dan pakai hasil dari suatu hak atas sewa turun-temurun (erfpacht).
207
Semakin banyak yang diabstraksikan, bangunan hukum disusun dengan garis-garis yang semakin ketat. Jalannya pembuktian semakin rapat, nampaknya semakin meyakinkan. Yang satu lahir dari yang lain dengan keharusan logis, seolah-olah tidak dapat diselipkan jarum di antaranya. Akan tetapi sekaligus tumbuhlah bahaya yang dilupakan, bahwa konstruksi adalah sarana, dan bukan tujuan; orang silap, bahwa dalam sistem yang disusun sedemikian logisnya itu hukum tidak pernah seluruhnya tepat. Semakin besar kemungkinannya bahwa oleh sistematisering itu hal-hal yang essensiel menjadi hilang, bahwa konstruksi berkuasa, di mana konstruksi hanya boleh mengabdikan dirinya.
208
Tidak dari segi logisnya datangnya keberatan-keberatannya, melainkan dari sudut lain: hak dan barang “benda”—barang, suatu gambaran yang dapat dipakai dalam peristiwa-peristiwa tertentu, namun sekaligus suatu kemungkinan besar yang dilupakan adalah bahwa ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain dan bahwa akibatnya penyamaan dari yang tidak sama ini mengakibatkan kebalikan (onrecht). Suatu contoh diberikan oleh hak gadai. Pemegang gadai dilarang mendaku bendanya dalam hal hutangnya tidak dibayar. Suatu hak gadai atas pagina-70 tagihan-tagihan/tuntutan-tuntutan adalah hak gadai seperti yang lain. Penagihan tuntutan akan berarti pendakuan benda jaminan (pand). Karena itu dalam hal dibitur menunggak77 pemegang gadai tidak boleh menagih tuntutan yang diberikan sebagai jaminan. Demikianlah keputusan H.R.78 Suatu konstruksi yang cocok dan yang bagaimanapun harus ditolak; ia bertentangan dengan tujuan pemberian gadai. Dapatlah dimengerti, bahwa karena itu kadang-kadang seluruh metode konstruksi dikesampingkan dan ditolak karena tidak dapat dipakai; itu dapat dimengerti, tetapi tidak tepat: suatu ilmu hukum tanpa konstruksi tidak dapat dibayangkan.
209
   Kecenderungan yang paling kuat untuk sistematisasi untuk memaksakan materi kedalam beberapa, sedikit mungkin peraturan dan pengertian-pengertian pokok kita lihat pada fiksi. Kita bedakan fiksi dari persangkaan. Persangkaan dipecah lagi dalam persangkaan yang boleh dibuktikan sebaliknya dan persangkaan yang tidak boleh dibuktikan sebaliknya (praesumptio juris dan praesumptio juris et de jure). Yang pertama tidak lain dari pada suatu peraturan mengenai beban pembuktian: pembentuk undang-undang menyangka adanya peristiwa-peristiwa atau hubungan-hubungan tertentu: siapa yang mengemukakan penyimpangan harus membuktikannya.
210
Hak milik (eigendom) dipersangkakan bebas, berarti tidak lain dari pada bahwa barang siapa mengemukakan mempunyai hak atas benda orang lain, harus mengukuhkan haknya itu. Anak yang lahir selama berlangsungnya perkawinan dipersangkakan berayahkan pria itu. Apabila pria ini akan memegang teguh kebalikannya, maka ia harus membuktikannya. Persangkaan yang tidak boleh dibuktikan sebaliknya mendekati fiksi. Pembentuk undang-undang menetapkan suatu peraturan umum; perbedaannya hanyalah, bahwa pada praesumptio juris et de jure pembentuk undang-undang bertitik tolak dari apa yang wajar terjadi dan juga menganggap demikian dalam keadaan-keadaan yang mungkin lain; sebaliknya pada fiksi pembentuk undang-undang dengan sadar menerima sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan sebagai keadaan nyata. Suatu hibah kepada anak-anak dari suami/isteri kedua dianggap sebagai menguntungkan secara tidak langsung suami/isteri itu sendiri dan karenanya dihukum dengan kebatalan (pasal 184 jo. 1921 B.W.).
211
Ini kita namakan suatu praesumptio, karena biasanya maksud dari orang yang kawin lagi itu memang seperti yang diperkirakan oleh undang-undang — itu akan kita namakan fiksi, andaikata kita tidak menanyakan perkiraan itu. Suatu fiksi murni pagina-71dipergunakan oleh undang-undang apabila undang-undang dalam ps. 2 B.W. menganggap anak yang masih dalam kandungan isteri sebagai sudah lahir segera kepentingannya menghendakinya. Suatu perbedaan yang memang ada dan dengan tegas ditetapkan, dikesampingkan, untuk dengan demikian membuat dapat diperlakukannya suatu keseluruhan rangkaian peraturan dengan jalan sederhana. Harus diperhitungkan kepentingan anak yang belum lahir; peristiwa-peristiwa, di mana hal itu dapat diperlukan tidak mudah dapat dibayangkan sebelumnya dan tidak mudah dapat diatur. Nampaknya yang paling mudah untuk semua peristiwa, yang kepentingannya menuntut untuk diperhatikan, adalah menganggap anak itu sudah dilahirkan. Fiksi adalah sarana bantu untuk menghemat peraturan-peraturan dan pengertian-pengertian dan demikian tidak dapat dikemukakan apapun terhadap penggunaannya.
212
   Akan tetapi tidak hanya pembentuk undang-undang, yaitu orang yang menetapkan peraturan dengan wibawa, mempergunakan fiksi, melainkan juga ilmu mempergunakan fiksi. “Konstruksi” dan “fiksi” berbaur satu sama lain. Fiksikah atau konstruksikah apbila perbuatan dari wakil dikatakan berlaku sebagai perbuatan dari orang yang diwakili? Apakah di sini difiksikan bahwa orang yang diwakili berbuat, waktu wakilnya mengucapkan beberapa kata tertentu, atau apakah untuk “berbuat” diartikan tidak hanya apa yang dilakukan orang sendiri, melainkan juga apa yang orang suruh lakukan? Di dalam konstruksi terdapat suatu faktor fiksi. Untuk memasukkan peristiwa-peristiwa ke dalam suatu peraturan, suatu peraturan konkrit ke dalam suatu peraturan umum, .adalah perlu untuk mengesampingkan kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam data. Tanpa penyederhanaan data penerapan hukum tidaklah mungkin.79
213
Perbedaan antara metode ini dan fiksi hanyalah bahwa pada penyederhanaan yang dilakukan demi kepentingan konstruksi, sebagian dari fakta-faktanya dihilangkan; sebaliknya pada fiksi, fakta-fakta yang oleh peristiwanya tidak dikemukakan, ditambahkan. Menurut pendapat saya ini selalu tidak diperbolehkan. Setiap konstruksi boleh mengandung unsur fiksi, tetapi konstruksi tidak pernah boleh menjadi fiksi, dan konstruksi itu menjadi fiksi sesegera konstruksi menganggap benar adanya fakta-fakta itu. Dasar kenyataan adalah data bagi .hukum, dasar kenyataan itu tidak membuat hukum. Akan tetapi memang menarik perhatian, betapa seringnya terjadi pemfiksian seperti itu. Orang menghendaki suatu hasil tertentu, karena nampaknya layak dan memuaskan: dengan peraturan yang ada tidak dapat dicapai hasilnya; dengan melihat faktanya sedikit lain dari pada yang terjadi pagina-72dalam kenyataanhnya, dapat dicapai hasilnya. Apa yang lebih mudah dari pada melihat fakta-faktanya seperti yang dikehendaki orang, akan tetapi sebetulnya fakta-fakta itu tidak seperti itu? Hendaknya orang mengerti saya dengan baik: saya tidak mengatakan bahwa seorang sarjana hukum melakukannya dengan sadar; setiap orang merasa bahwa metoda ini tidak diperbolehkan, akan tetapi secara tidak sadar pemfiksian ini terus-menerus terjadi.
214
Banyak sekali contoh-contoh dapat disebutkan: Orang menghendaki sesuatu akibat hukum dalam suatu hubungan kontraktual; fihak-fihak tidak mengatakan apa-apa mengenai titik yang menjadi persoalan. Apakah yang lebih sederhana dari pada menetapkan, bahwa fihak-fihak, yang diperkirakan seperti apa yang dianggap oleh hakim bahwa mereka seharusnya memaksudkannya menurut kelayakan, juga memang memaksudkannya dan, menyepakati apa yang akan diucapakan oleh hakim sebagai kesimpulan yang layak? Barang siapa ingin menyelidiki kebenarannya, amatilah yurisprudensi mengenai penafsiran perjanjian-perjanjian: betapa seringnya dinyatakan, bahwa fihak-fihak dianggap memaksudkan satu atau lainnya, yang pada waktu mengadakan perjanjian itu mereka sama sekali tidak memikirkannya? “Jelas” fihak-fihak memaksudkan untuk menerapkan hukum Belanda atau Prancis atau Jerman, namanya dalam yurisprudensi hukum perdata internasional, sedangkan suatu penyelidikan yang memfokuskan pada penyelidikan mengenai gambaran dari fihak-fihak akan tidak lain dari pada menghasilkan hasil yang negatif: fihak-fihak tidak memperjanjikan apapun mengenai hukum yang akan diberlakukan, akan tetapi hakim menganggap penerapan hukum yang dipilih sebagai kesimpulan yang tepat untuk keyakinan hukumnya.
215
   Hendaknya orang memperhatikan juga caranya suatu pendapat baru kerapkali merintis jalannya. Pemutusan sebagian dari perjanjian nampaknya dikehendaki, mempertahankan yang sudah lampau, pemutusan untuk masa yang akan datang nampaknya suatu kesimpulan yang menggiurkan. Doktrin mengenai ps. 1266 B.W. menetangnya. Cidera janji/wanprestasi adalah syarat pemecahan. Dan dengan .terjadinya syarat itu diputuskanlah perjanjian itu untuk seluruhnya. Itu disimpulkan dari undang-undang (ps. 1265). Demikianlah bertahun-tahun doktrin dan yurisprudensi. Lalu Suyling80 menunjukkan bahwa ps. 1266 adalah peraturan pelengkap (regelend), sehingga fihak-fihak boleh memasukkan dalam perjanjian pemutusan karena cidra janji (wanprestasi) hanya untuk waktu yang akan datang. Apabila mereka tidak memperjanjikan hal ini, akan tetapi jika hubungannya sedemikian rupa, sehingga pemutusan perjanjian untuk seluruhnya tidak sesuai dengan tujuan pagina-73dan tidak layak seperti pada kontrak leveransi, apa yang lebih mudah dari pada menganggap, bahwa andaikata mereka memikirkannya, mereka akan memaksudkannya seperti itu dan karenanya mereka memaksudkannya? H.R. mengambil alih konstruksi itu81. Terpuji bahwa H.R. melakukannya; meskipun demikian itu adalah
216
   Atau ingatlah caranya hutang difiksikan di luar perjanjian untuk dapat menetapkan kewajiban untuk menggantinya, di mana kelayakan mendiktekan untuk berbuat begitu, tetapi sistem yang sempit dari doktrin menghalang-halanginya82.
   Fiksi-fiksi seperti itu penting sekali untuk perkembangan hukum dan akan tetap penting sekali untuk perkembangan hukum; fiksi-fiksi itu berguna juga untuk menyelesaikan benturan yang terus-menerus antara tuntutan baru dan sisitem yang ada, akan tetapi itu adalah fiksi dan karenanya menjadi tidak berharga, segera fiksi-fiksi itu disadari sebagai demikian. Sebab secara sadar fiksi seperti itu tidak dapat dipakai. Fiksi mengandung suatu sifat tidak benar dalam dirinya, fiksi tidak meyakinkan lagi sesegera fiksi dikenal sebagai fiksi. Sebagai peralihan fiksi itu berguna sepanjang fiksi itu tidak dimengerti bahwa itu fiksi, harus ditolak sesegera fiksi disinyalir sebagai fiksi.
217
   Ini adalah tuntutan kebenaran yang menjadi syarat ilmu. Selalu memegang teguh fiksi tidak hanya tidak jujur, melainkan juga menghambat perkembangan hukum yang seharusnya memajukannya. Sekali diinsafi, bahwa hukumlah dan bukannya kehendak dari fihak-fihak yang mengharuskan diterapkannya sesuatu hukum nasional, atau yang menganggap dimungkinkannya pemutusan sebagian, maka pengembangan lebih lanjut hanya mungkin apabila orang meninggalkan fiksi. Kalau tidak, orang akan terperosok dalam pekerjaan separo-separo.83 pagina-74
218

§ 14 Konstruksi (lanjutan); konstruksi yang tepat dan yang tidak tepat; Konstruksi dan kekuasaan pembuntuk undang-undang; Pengertian hukum dan bentuk dasar logis. Hukum (kategori hukum).

   Setelah pengulasan mengenai fiksi kita kembali kepada konstruksi. Masih ada beberapa pertanyaan yang dikemukakan mengenai sifat konstruksi harus dijawab.
   Pertama-tama ini. Apakah mungkin untuk mengatakan tentang konstruksi yang tepat dan konstruksi yang tidak tepat atau apakah de Tourtoulon84
yang sama sekali tidak menghargai rendah kegiatan ilmiah sistematisasi, benar kalau dia mengatakan bahwa konstruksi yang satu tidak mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada yang lain dan bahwa tidak lain dari pada selera pribadilah apabila di sini orang memilih, menerima dan menolak konstruksi?
219
   Persoalannya hanyalah apa yang dimengerti orang mengenai “ketetapan”. Setiap ilmu mempunyai tuntutan-tuntutannya sendiri. Masih selalu orang cenderung untuk menyamakan ketepatan dari suatu dalil ilmiah pada bidang apapun dengan dapat dibuktikannya secara matematis. Akan tetapi di luar matematika, di dalam setiap ilmu, pencarian, penerimaan, dan penolakan kesimpulan-kesimpulan tertentu hanya sebagian kecil merupakan kegiatan pembuktian dalil yang satu kepada dalil yang lain;85 kita mencapai hasil-hasil dengan cara lain dari pada dengan rangkaian pembuktian yang satu sama lain bertalian secara logis. Suatu konstruksi tidak pernah dapat dibuktikan. Kenyataan, bahwa dalam suatu konstruksi kita dapat menunjukkan tiga unsur: meliputi materi, kesatuan logis dan bentuknya, dan bahwa di antara tiga unsur ini tidak ada urutan tingkat yang tetap, sudah menunjukkan, bahwa di sini tidak mungkin adanya pembuktian logis: konstruksi harus begini dan tidak dapat lain. Akan tatapi karena itu belum berarti selera pribadilah yang menentukan suatu hasil ilmiah.
220
Dalam ilmu—tidak hanya dalam ilmu hukum —selalu keseluruhan pertimbangan-pertimbanganlah yang menimbulkan keyakinan. Maka bagi kita ketiga unsur bersama-sama yang sudah saya singgung di atas itulah yang menentukan. Apabila de Tourtoulon sebagai contoh mengutip konstruksi kebersamaan dalam perkawinan dari Toullier, yang menurut Toullier kebersamaan itu baru mulai jika kebersamaan itu pagina-75diputuskan, maka bukanlah kebencian pribadi yang mengakibatkan penolakan umum oleh para sarjana Prancis, melainkan pertentangan logis yang terdapat dalam gambaran ini. Atas dasar kelemahan ini kita boleh mengatakan. , bahwa konstruksi ini tidak tepat.
221
Dan apabila saya boleh mengutip pendapat saya sendiri sekali lagi—waktu saya menolak kontruksi persekutuan dengan firma sebagai “gezamendehandse gemeenschap (persekutuan kerjasama)”—dan menggantinya dengan badan hukum, maka hal itu disebabkan karena menurut saya peraturan-peraturan yang diberikan oleh yurisprudensi: pemberesan tersendiri harta kekayaan persekutuan dan harta kekayaan pribadi pada kepailitan, tiada kompensasi hutang persekutuan dengan tagihan pribadi, tiada penyitaan kekayaan persekutuan untuk tagihan pribadi dan sebagainya adalah lebih tepat, yaitu di sini lebih sesuai dengan materi positifnya, dikarakterisir dan diringkaskan melalui konstruksi-badan-hukum.
   Akan tetapi masih ada sesuatu lain yang menyebabkan saya berbuat demikian itu. Tidak hanya bahwa konstruksi ini meliputi lebih baik materinya, tetapi konstruksi itu juga memungkinkan memberi jawaban yang lebih baik atas pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya masih terbuka, setidak-tidaknya jawaban yang diberikan tidak memuaskan, yaitu jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan proses. Lebih baik, dengan kata lain lebih sesuai dengan keadilan.
222
Dengan demikian kita menyinggung suatu hal yang belum dibicarakan. Suatu konstruksi itu hanyalah tepat, apabila kita dapat mempergunakannya, bilamana konstruksi tidak hanya membuat lebih dapat dimengerti dan dibayangkan apa yang sudah tetap menjadi hukum positif, melainkan apabila konstruksi memungkinkan untuk mengambil langkah-langkah lebih jauh, dengan kata lain bilamana konstruksi memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan kepada pertanyaan-pertanyaan yang terbuka. Pada akhirnya keadilanlah yang kita usahakan untuk dicapai. Karena keadilan itu menghendaki peristiwa yang sama diperlakukan sama, maka kita wajib mencarinya dengan jalan mencari kesamaan itu di dalam data yang banyak itu dan melacak kesamaan itu bilaman itu belum dikenal ciri-cirinya. Akan tetapi karena kesamaan itu selalu relatif, kesamaan dalam ketidaksamaan, maka tidak ada satu hasilpun dari ilmu pengetahuan konstruktif itu sendiri yang kepastiannya tidak dapat digoyahkan dan oleh karena itu keadilannya masih harus dikaji lebih lanjut. Bagaimana caranya pengkajian itu dilakukan kita lihat sepanjang karya ini. Di sini cukuplah sudah, jika kita menunjukkan bahwa konstruksi harus juga berguna bagi tuntutan keadilan itu.
223
   Orang memang menegaskan hal itu dengan jalan menginginkan, bahwa konstruksi itu harus sesuai dengan tujuannya. Istilah sesuai dengan tujuan itu pagina-76dapat berguna, karena istilah itu menunjukkan bahwa dalam hukum kita selalu bekerja untuk masa yang akan datang, untuk suatu tujuan, yaitu mendatangkan hukum yang konkrit, mengakhiri pertentangan hukum; akan tetapi istilah itu membingungkan, jika orang melihat kesewenang-wenangan dalam kesesuaian dengan tujuan itu dan melupakan keterikatan kepada data positif dan syarat-syarat logis dan estetis. Suatu konstruksi yang memungkinkan hasil yang diharapkan, akan tetapi tidak mengindahkan syarat-syarat ini, bukanlah konstruksi. Itu tidak lain dari pada mendikte hasilnya dan tetap tidak berharga; itu tidak menyebabkan dapat dimengerti mengapa hasil itu yang dikehendaki dan juga akan tidak ada gunanya untuk persoalan baru yang belum diputus.
224
   Namun ketepatan konstruksi tidak hanya ditentukan oleh syarat-syarat itu, melainkan juga oleh nilainya untuk mencari keadilan. Kalau kita bicara tentang konstruksi yang tepat dan yang tidak tepat, maka kita harus selalu ingat bahwa ilmu hukum itu selalu sekaligus: sistematisasi dari apa yang ada dan persiapan untuk apa yang harus. Di dalam konstruksi terdapat yang pertama, akan tetapi itu tidak ada nilainya, apabila konstruksi itu tidak mengingat yang kedua.
   Sampai sekian persoalan mengenai ketepatan.
   Kedua, kita masih harus merumuskan lebih lanjut hubungan antara ilmu hukum konstruktif dengan hukum. Yang paling baik kila melakukannya dengan menanyakan pertanyaan ini kepada kita sendiri: pembentuk undang-undang (atau siapa yang selanjutnya menciptakan hukum) dengan kekuasaannya menguasai hukum: apa menetapkan konstruksi itu juga masuk kekuasannya? Apakah kita terikat pada konstruksi-konstruksinya?
225
   Kadang-kadang orang memisahkan hukum dan ilmu hukum dengan tajam. Kelsen86 bahkan mengatakan, bahwa dalam hukum terdapat suatu “alogisch Material (material yang tidak logis)”, yang setelah lebih dulu diolah oleh ilmu hukum menjadi penilaian-penilaian dan “Rechtssatze”. Barang siapa seperti kita melihat dalam konstruksi tidak lain dari pada lanjutan dari apa yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. sendiri: mengatur dengan perintah-perintah dan peraturan-peraturan umum, tidak dapat menyetujui penilaian ini. Yang satu terdapat dalam lanjutan dari yang lain. Kitab undang-undang modem penuh berisi konstruksi dan tidak dapat-dimengerti tanpa pengetahuan mengenai ilmu hukum. Jika itu demikian, maka jelaslah bahwa pagina-77kita juga wajib mematuhi pembentuk undang-undang, sepanjang ia memerintah dan mengatur dengan bantuan konstruksi-konstruksi. Apabila undang-undang (ps. 37 N.Wv.K.) sekarang berisi: Perseroan terbatas adalah badan hukum, maka tidak dapat diragukan itu adalah suatu konstruksi, akan tetapi lalu juga pasti, bahwa sepanjang dalam putusan terdapat sesuatu perintah, maka pasal ini sama-sama mengikat kita seperti halnya pasal yang mendahului dan pasal berikutnya.
226
   Akan tetapi bagaimanapun di sini terdapat suatu problema. Kita dapat memperjelas problema itu dengan pertolongan contoh yang telah kita kutip. Kita bersedia menerima putusan ini, akan tetapi itu tidak sulit bagi kita, karena memang pengaturan perseroan terbatas dalam hal-hal khusus sepenuhnya sesuai dengan pernyataan umum ini dan undang-undang di sini tidak lain dari pada menyatakan apa yang oleh ilmu pada umumnya sudah diterimanya sebelum undang-undang itu lahir. Akan tetapi andaikata itu lain? Bilamana kekuasaan yang menciptakan hukum—bahwa di negara kita dalam hal ini bukan pembentuk undang-undang, melainkan hakim, itu tidak menjadi soal—menentukan, bahwa persekutuan dengan firma itu bukan badan hukum, maka kita tentang pendapat ini dan menganggap kita tidak terikat kepada pendapat itu. Justru sebaliknya, kita berpendapat—tepat atau tidak tepat, juga itu tidak peduli lagi—bahwa pernyataan ini bertentangan dengan pernyataan yang dikutip di atas (halaman 91), yang oleh penguasa yang sama dibuat untuk hubungan ini, dan karenanya harus ditolak sebagai hal yang salah.
227
   Bolehkah kita berbuat demikian itu? Bagaimana itu mungkin? Suatu pernyataan undang-undang atau hakim mempunyai wibawa, dan sekaligus kita mengatakan bahwa itu salah, tidak tepat, dan dengan itu tidak bermaksud mengartikan bahwa itu seharusnya bukan hukum, melainkan bahwa itu bukan hukum. Suatu pernyataan tidak dapat sekaligus mengikat dan tidak mengikat, bukan?
   Untuk memecahkan kesulitan-kesulitan ini kita harus berhenti sejenak pada sifat dari ilmu hukum. Sekarang saya tidak memikirkan sejarah hukum, sosiologi hukum atau filsafat hukum, melainkan memikirkan ilmu tentang hukum positif, jadi ilmu yang membuat konstruksi-konstruksi, yang kita kupas dalam paragraf ini. Kita telah lihat, bahwa ilmu ini mencari yang umum dalam berbagai-bagai pengaturan, meningkat dari yang khusus ke yang umum dan dengan pengertian-pengertian yang seabstrak mungkin berusaha menguasai sistem hukum.
228
Akhirnya dalam kegiatannya itu ia terbentur pada pengertian-pengertian yang tidak mengizinkannya untuk pengembalian lebih lanjut. Akan tetapi di sini tanpa diketahui ia sampai pada tingkatan lain; ia pagina-78bekerja tidak lagi dengan pengertian-pengertian yang di dalamnya tercakup sesuatu peraturan hukum, melainkan dengan bentuk dasar logis dari hukum sendiri. Apabila kita mengatakan: perseroan terbatas adalah badan hukum, maka kita telah melakukan langkah seperti itu: perseroan terbatas adalah suatu pengertian hukum, persoon adalah bentuk dasar. Demikian juga halnya apabila kita menguraikan suatu perikatan dan di situ kita mengenal kembali suatu kewajiban dan sanksi, maka kewajiban itu tidak dapat kita kembalikan lebih lanjut; kewajiban hukum adalah bentuk dasar dari hukum.
229
   Kita dapat paling mudah menjelaskan kebalikan antara pengertian hukum dan bentuk dasar hukum, kategori hukum ialah apabila kita menginsafi bahwa pada penentuan yang akhir (kategori hukum) kita melepaskan diri sama sekali dari isi sistem hukum positif yang manapun. Apa yang disebut perseroan terbatas, itu ditentukan oleh hukum positif; kita dapat bicara tentang perseroan terbatas menurut hukum Belanda atau hukum Jerman, akan tetapi tidak ada gunanya, andaikata kita mengatakan: menurut hukum Jerman badan hukum adalah ini, dan menurut hukum Prancis badan hukum adalah itu; perumusan kategorinya harus cocok untuk keduanya. Sebaliknya sama saja tidak ada artinya untuk menetapkan kesamaannya dalam perseroan terbatas menurut hukum Belanda atau hukum Inggris. Secara yuridis kita tidak melangkah lebih jauh satu langkahpun dengan berbuat begitu, kita tidak dapat berbuat apa-apa dengan pengertian yang ditemukan dengan cara itu.
230
Apa yang disebut perseroan terbatas, itu ditetapkan oleh hukum nasional, juga siapa badan hukum itu, dan tidak apa badan hukum itu. Dan janganlah orang berpendapat87, bahwa kita sampai pada kategori itu dengan jalan melacak kesamaannya dalam berbagai-bagai penataan hukum, jadi bahwa ini tidak lain dari pada apa yang masih lebih umum lagi dari pada yang paling umum dari suatu sistem hukum khusus. Sebab setiap sistem hukum adalah suatu sistem perintah-perintah dan peraturan-peraturan; dalam sistem ini ada suatu kehendak yang bicara kepada kita, yang menghendaki kepatuhan. Dalam keseluruhan itu kita dapat mensistematisasi peraturan-peraturan itu, akan tetapi di luar itu tidak ada ikatan menyatukannya. Di dalam setiap pengertian hukum terdapat suatu peraturan yang mengikat. Dari manakah asalnya keterikatan itu, apabila kita berdiri di luar sistem tertentu itu? Sudah karena itu secara yuridis tidak mungkin kita sampai pada suatu pengertian umum yang akan berlaku bagi lebih banyak sistem dengan meningkat ke generalisasi yang lebih jauh. Akan pagina-79tetapi dalam sistem-sistem itu kita dapat melacak kategori-kategori yang diikuti oleh jiwa manusia pada penciptaan hukumnya.
231
   Subyek hukum, obyek, hubungan hukum, hukum subyektif, kewajiban hukum, bukan hukum, juga tatanan hukum, wibawa hukum, itu semua adalah kategori-kategori yang harus ditetapkan oleh teori hukum. Teori itu dapat dibedakan dengan tajam dari pengetahuan tentang hukum positif. Pada akhirnya teori hukum itu menyelidiki pengertian tentang hukum sendiri. Yang akhir ini sudah lama diinsafi; kita baru dapat mengatakan bahwa sesuatu itu adalah hukum positif, bilamana kita mempunyai kriterium yang dengan itu kita mengenal kembali hukum; kita tidak dapat menyimpulkannya dari hukum positif sendiri88. Akan tetapi juga bentuk-bentuk dasarnya tidak dapat dideduksi dari isi hukum; sudah karena sebab ini tidak dapat, yaitu karena bentuk dasar itu sendiri tanpa isi: dari ketentuan apa kewajiban hukum itu, tidak berakibat kewajiban apapun untuk siapapun. Barang siapa terikat untuk apa yang ia diwajibkan, itu lahir dari peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh sesuatu wibawa, tidak dari analisa apa keterikatan itu.
232
Dengan hukum adalah sama dengan bahasa: jiwa manusia terikat kepada syarat-syarat tertentu pada bentuk-bentuk yang di situ ia membuat hukum atau bahasa. Itu kita ketemukan kembali di mana-mana: menurut pendapat yang tepat dari A. Reinach89 adanya kategori ini baru memungkinkan perbandingan seperti itu lebih banyak dari hasil perbandingan dan generalisasi dari isi peraturan-peraturan hukum dari berbagai-bagai negara dan waktu. Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa kategori-kategori itu dapat dikenal tanpa adanya hukum positif, juga tidak berarti bahwa kategori-kategori itu dapat disimpulkan dari suatu penetapan pengertian hukum, seperti yang dikehendaki oleh Stammler90. Akan tetapi bukan hukum positif itu sendiri yang menjadi obyek studi teori hukum, juga bukan hukum positif dari suatu bangsa tertentu, juga bukan hukum positif dari banyak bangsa dan waktu, melainkan hukum positif sebagai ungkapan jiwa yang menciptakan hukum.
233
Tidak di dalam hukum positif melainkan dengan menggunakan hukum positif teori itu mencari kategori-kategorinya, yang di dalam kategori-kategori itulah manusia bergerak apabila memutuskan apa hukumnya. Kategori-kategori itu adalah unsur dari jiwa kita yang kita usahakan untuk mengertinya; teori hukum bertalian dengan logika dan filsafat bahasa. Kalau kita melihat tugasnya seperti ini, pagina-80maka menurut saya, pertanyaan yang dikemukakan oleh de Tourtoulon91 dan yang dijawabnya dengan ya—apakah kategori-kategori itu juga akan berlaku bilamana tidak ada hukum positif, tidak ada gunanya. Pasti kategori-kategori itu syarat-syarat dari hukum positif; karena kategori-kategori itu , dianggap ada dalam hukum positif, maka menurut pendapat orang, kategori-kategori itu secara logis mendahului adanya hukum, akan tetapi persoalan/pertanyaan mengenai, eksistensinya bahkan tidak akan dapat diajukan, andaikata tidak ada hukum positif.
234
   Jika kita mengingat ini semua, maka pertanyaan mengenai nilai dari, konstruksi-konstruksi pembentuk undang-undang dapat juga dijawab. Pembentuk undang-undang terikat kepada kategori-kategori yang diselidiki oleh teori hukum. Pembentuk undang-undang sama sekali tidak dapat mengesampingkan kategori-kategori itu, juga tidak jika orang tidak dapat mempergunakan bentuk-bentuk dari berpikir kita yang diungkapkan oleh logika, atau bentuk-bentuk dari bahasa yang dipelajari oleh filsafat bahasa.
235
   Karena yang dituju oleh teori hukum adalah untuk mengetahui, maka juga jelaslah bahwa setiap putusan dari pembentuk undang-undang pada bidang ini tidak ada artinya, tidak mempunyai nilai yang lebih dari pada nilai dari putusan manusia yang manapun. Seorang pembentuk undang-undang yang memberanikan diri untuk mengatakan apa kewajiban hukum itu atau apa badan hukum itu, berbuat bodoh. Ia mengucapkan kata di awang-awang yang tidak bergema.
   Ini juga tidak atau hampir tidak pernah terjadi. akan tetapi memang pembentuk undang-undang kerapkali memberikan putusan-putusan yang di dalamnya ia letakkan hubungan antara peraturan-peraturan yang di dalamnya ia letakkan hubungan antara peraturan-peraturannya dan kategori-kategori hukum yang dipergunakan dalam peraturan-peraturan itu, jadi melangkah dari pengertian ke bentuk dasar, yang telah kita tunjukkan di atas. Penetapan: perseroan terbatas adalah badan hukum adalah salah satu di antaranya.
236
Kita dapat menangkap arti putusan seperti itu dengan cara rangkap; pada satu fihak putusan itu adalah peraturan, perintah, pernyataan kehendak, pada lain fihak putusan itu adalah penilaian ilmiah. Sebagai pernyataan kehendak putusan itu harus ditafsirkan seperti yang lain dan mempunyai wibawa seperti yang lain itu; sebagai penilaian ilmiah putusan itu terbuka untuk kritik seperti halnya setiap putusan ilmiah selalu dapat dikritik. Apabila kita menyetujui penilaian pagina-81itu, maka selanjutnya itu tidak memberikan kesulitan. Apabila kita menolaknya, maka hal itu tidak hanya untuk ilmu penting, melainkan itu juga akan menimpa putusan sebagai peraturan. Sebab dengan penolakan itu kita mengkonstatir suatu pertentangan.
237
Kita ambil sekali lagi contoh persekutuan dengan firma dan sekali lagi saya minta pembaca untuk mengindahkan bahwa yurisprudensi-Iah yang mengatur hubungan ini, dan bukan pembentuk undang-undang. Siapa yang sulit untuk berbuat demikian, hendaknya membayangkan, bahwa apa yang sekarang dianut oleh yurisprudensi itu, dulu ada dalam undang-undang. Beginilah persoalannya: pada satu fihak persekutuan dengan firma itu bukan badan hukum, pada kin fihak berlaku peraturan-peraturan mengenai kepailitan, kompensasi dan penyitaan, yang karenanya persekutuan dan sekutu-sekutu dipisahkan. Apabila sekarang benar, bahwa peraturan-peraturan yang terakhir itu hanya dapat dimengerti apabila kita anggap, bahwa di sini dipergunakan kategori badan hukum itu, maka pernyataan yang pertama itu dari sudut ilmu merupakan kekeliruan, akan tetapi putusan itu sebagai putusan juga lalu kehilangan wibawanya, karena pernyataan itu bertentangan dengan peraturan-peraturan yang akhir itu.
238
Lalu untuk orang yang mencari hukum hanya tinggal bertanya, apa yang harus, ia akui bernilai untuk kegiatannya melacak hukum: peraturan-peraturan, yang berisi putusan-putusan positif tertentu mengenai akibat-akibat hukum tertentu, ataukah peraturan abstrak yang bertentangan dengan peraturan-peraturan itu. Untuk mengikuti kedua-duanya ia tidak dapat. Bagi saya tidak dapat diragukan, bahwa lalu yang terakhir, yang dalam intinya bagaimanapun tidak lain dari pada suatu pernyataan kebenaran ilmiah, yang hanya oleh orang yang menyatakannya mempunyai arti yang lain, sebagai akibat dari ketidaktepatan ilmiahnya, harus kalah.92
239
   Di sinilah batas dari kekuasaan yang menguasai hukum. Kekuasaan itu terikat kepada bentuk-bentuk logis hukum. Bentuk-bentuk logis hukum ini adalah “a priori” baginya, seperti halnya juga ada a priori etis baginya. Mengenai dua hal ini akan kita bahas lebih lanjut dalam buku ini, di sini tujuan kita hanyalah untuk menyoroti syarat-syarat logis dari setiap penilaian hukum.
240
Akan tetapi hendaknya orang ingat, bahwa dengan penunjukan kategori-kategorinya sendiri tidak dikatakan apa-apa mengenai isi dari hukum. Dari kategori-kategori saja tidak dapat ditarik satu peraturan hukum konkrit-pun. Kategori-kategori itu sama sekali kosong. Selalu ada bahaya untuk memperlakukan kategori dari teori hukum sebagai suatu pengertian dari pagina-82hukum positif dan dengan deduksi menarik kesimpulan-kesimpulan tertentu dari padanya. Tidak ada orang yang mengamati sifat dari kategori-kategori dan sifat dari teori hukum setajam A. Reinach; namun demikian justru dialah yang sangat tergelincir dalam kesalahan ini93. Akibatnya, orang tidak melihat apa yang terutama penting dalam pembedaannya antara teori, hukum dan ilmu pengetahuan tentang hukum positif.
241
   Pada akhir paragraf ini kita tinggal meringkas dengan pendek apa yang kita tetapkan mengenai arti konstruksi untuk penemuan hukum. Penemuan hukum tidak mungkin tanpa konstruksi, karena hukum harus dimengerti sebagai suatu kesatuan; konstruksi tidak dapat tanpa teori, karena pada sistematisering lebih lanjut konstruksi harus berpegangan kembali pada kategori-kategori hukum, yang diberikan oleh fungsi jiwa manusia sendiri. Hanya dengan jalan begitulah hukum diketemukan sesuai dengan bagaimana hukum dimengerti. Selama kita masih menghadapi apa yang sedikit banyak kita rasakan kabur, akan tetapi tidak kita dalami dengan jelas, maka kita belum yakin sepenuhnya. Kita minta lebih: kita dalami materinya sampai kita dengan pertolongan bentuk-bentuk dasar dapat meringkasnya menjadi satu kesatuan. Akan tetapi kita harus selalu sadar, bahwa tidak ada usaha untuk meringkaskan itu yang mencapai tujuannya. Hukum tidak pernah seluruhnya terlepas dari sistem, meskipun hanya karena hukum itu berganti dan berubah setiap hari.
242
   Pertanyaan untuk pengaturan yang manakah konstruksi mempunyai nilai tinggi dan untuk pengaturan yang manakah konstruksi mempunyai nilai yang rendah, tidak dapat diberi jawaban dengan pendek. Di manapun konstruksi dapat dipergunakan. Hanya dapat diberi catatan, bahwa artinya—jadi juga arti penemuan hukum lewat jalan sistematisasi—meningkat, semakin abstrak pembentuk undang-undang menegaskan ucapannya, dan dengan demikian pembentuk undang-undang sendiri mulai sibuk melakukan sistematisasi. Untuk kita pentingnya konstruksi yang terbesar dalam hukum perikatan. Apabila pembentuk undang-undang, seperti pembentuk undang-undang Jerman, menerbitkan bagian umum, maka bagaimanapun ini hanya akan dapat dimengerti dan karenanya diterapkan oleh suatu penemuan hukum, yang memperlihatkan sendiri sifat konstruktif yang kuat. Interpretasi menurut bahasa pada ketentuan-ketentuan seperti itu tidak begitu penting; ketentuan-ketentuan seperti itu tidak begitu penting; ketentuan-ketentuan itu pagina-83memaksakan suatu penafsiran yang dengan kegiatan intelektual yang bersifat logis berusaha mencapai hasil-hasilnya.
243

§ 15 Analogi. Penghalusan hukum; Asas hukum.

   Ada kemungkinan, bahwa dengan penafsiran undang-undang menurut penggunaan bahasa atau menurut maksud pembentuk undang-undang dan juga dengan pertolongan interpretasi sistematis tidak dapat diberikan jawaban atas suatu pertanyaan konkrit.
   Sudah kita lihat (par. 1) bahwa kebanyakan orang lalu lari ke analogi. Untuk menyebut lagi contoh yang disebutkan di situ: undang-undang mengatur apa yang harus terjadi dengan sewa dalam hal suatu benda yang disewakan dijual: hubungan hukum yang tadinya ada antara penjual yang menyewakan dan penyewa untuk selanjutnya akan ada antara penyewa ini dengan pembeli (ps. 1576 BW). akan tetapi apabila sekarang yang menyewakan tidak menjual rumahnya, melainkan meng-hadiahkannya, menghibahwasiatkannya atau memasukkannya dalam perseroan sebagai pemasukan? Apakah akibatnya terhadap sewa? Juga dalam hal itu sewa akan beralih kepada penerima benda, jawab yurisprudensi. Maka di sini kita menghadapi analogi; suatu peraturan diterapkan atas suatu kasus, yang menurut bunyi dan maksudnya, sepanjang ini dapat diketahui, tidak mengaturnya, akan tetapi kasus ini mirip dengan kejadian yang diatur itu. Bertumpu atas dasar apakah metode ini?
244
   Kadang-kadang dasar ini dekat di samping penafsiran menurut bahasa. Batas-batas arti suatu kata tidak untuk selamanya tetap; ada kemungkinan bahwa kata dari sesuatu peraturan undang-undang dapat mengakibatkan perluasan wilayahnya, akan tetapi di sini tetap ada batas yang ditetapkan oleh penggunaan bahasa sehari-hari pada umumnya dan oleh undang-undang pada khususnya. Apa hak kita untuk menerapkan suatu peraturan undang-undang atas peristiwa yang tidak diatur oleh peraturan itu? Hibah, hibahwasiat dan pemasukan dalam suatu perseroan bukanlah penjualan dan walaupun demikian ps. 1576 BW juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan ini. Mengapa?
245
   Jawabnya harus berbunyi, bahwa dalam sifat dari penemuan hukum atas dasar pengaturan umum dalam undang-undanglah dasarnya bahwa peristiwa-peristiwa yang sama diperlakukan sama94. Akan tetapi apakah di sini ada pagina-84kesamaan; bukankah kita justru sudah mengatakan bahwa hibah dan, pemasukan itu bukan penjualan? Kalau kita menjawab bahwa ada kesamaan, maka hal itu disebabkan karena apapun perbedaan selanjutnya antara perbuatan-perbuatan ini, kita anggap tidak penting di bidang ini, dan kita sampai pada kesimpulan itu hanyalah dengan jalan menganalisa ps. 1576 BW. Di dalam pertentangan kepentingan-kepentingan antara pembeli benda yang tidak mau berurusan dengan sewa yang tidak diadakan olehnya dan si penyewa yang telah memperoleh hak terhadap suatu benda dan tidak mau berurusan dengan sewa yang tidak diadakan olehnya dan di penyewa yang telah memperoleh hak terhadap suatu benda dan tidak mau berurusan dengan perjanjian jual-beli yang kemudian diadakan oleh yang menyewakan, undang-undang mengutamakan yang terakhir.
246
Si penyewa ia jamin kenikmatannya selama waktu yang ditentukan untuk penyewaannya. Kepentingannya diutamakan. Akan tetapi mengapa hanya diutamakan terhadap kepentingan si pembeli, dan tidak terhadap kepentingan penerima-penerima yang lain? Di dalam pembelian dan perbedaannya dengan hibah tidak ada sesuatu apapun yang akan dapat menerangkannya. Apa kemungkinan artinya, bahwa si penerima memperoleh benda karena pembelian, tidak dapat kita insafi; untuk hubungan-hubungan ini hal itu sama saja (tidak peduli). Dengan lain perkataan: kita menganggap berhak untuk meningkatkan peraturan khusus penjualan ke peraturan umum pengasingan, untuk melihat dalam penjualan tidak lain daripada suatu faktor yang kebetulan saja yang karena itu pada waktu pembentuk undang-undang menetapkan peraturan ada dalam pikirannya, karena hal itu yang paling banyak terjadi.
247
   Penemuan hukum dengan analogi nampaknya berhubungan erat dengan penemuan hukum dengan konstruksi. Dari pengertian-pengertian hibah, jual, pemasukan kita mengkonstruksikan pengasingan, dengan pertolongan pengertian itu kita membentuk peraturan umum dari peraturan khusus dan memutuskan untuk menerapkan undang-undang dengan analogi. Pada konstruksi kita menempatkan suatu fakta di bawah suatu peraturan umum; pada, analogi kita mengembalikan suatu peraturan ke suatu peraturan umum yang tidak terdapat dalam undang-undang, dan dari peraturan umum ini menyimpulkan lagi ke fakta khusus: mula-mula dari penjualan ke pengasingan, dan dari pengasingan ke hibah, pemasukan, selanjutnya juga ke hibahwasiat.
248
   Pasangan dari analogi, sebagaimana telah kita tunjukkan dalam paragraf 1 adalah penghalusan hukum. Di dalam analogi suatu peraturan yang kurang lebih dipandang sebagai peraturan khusus dijadikan umum, di dalam penghalusan hukum suatu peraturan umum dibatasi oleh pengecualian-pagina-85pengecualian khusus. Di dalam paragraf itu kita kutip contoh pembatasan peraturan dalam ps. 1365 B.W. oleh pengecualian kesalahan sendiri; kita juga dapat menambahkan pembatasan peraturan mengenai penegoran dalam ps. 1238 dan 1243 B.W. atas jasa yurisprudensi juga. Peraturan ini hanya kenal satu pengecualian atas tuntutan penegoran sebagai syarat ganti kerugian: jika perikatannya sendiri membawa serta penegoran semata-mata karena habisnya waktu. Praktek menerima lebih banyak: penegoran tidak perlu pada pemutusan positif perjanjian, jika debitur mengakui telah lalai, dan sebagainya. Siapa yang ingin mengikuti pertumbuhan lamban dari penghalusan hukum ini silahkan membaca karangan-karangan H.L. Drucker dalam Rechtsgeleerd Magazijn 1909 dan 1910.95
249
Secara metodis di sini ada analogi yang kuat dengan analogi. Juga pada penghalusan dalam kita sampai pada kesimpulan-kesimpulan kita dengan jalan menguraikan pengaturan perundang-undangan dan mengembalikannya ke suatu dasar umum. Akan tetapi di sini kita melakukannya tidak untuk menyatakan kesamaannya dalam ketidaksamaan, melainkan untuk menyatakan ketidaksamaannya di dalam kesamaan. Juga dalam hal ada kesalahan sendiri, orang yang dirugikan dapat mengemukakan haknya atas dasar bunyi ps. 1365 B.W. Akan tetapi betapapun umumnya peraturan ini, pada gilirannya merupakan akibat dari peraturan yang lebih umum: di mana ada kesalahan, di situ ada kerugian96. Dan kasus ini menuntut dibedakannya antara fakta-fakta yang di situ orang yang dirugikan itu juga ada kesalahannya dan fakta-fakta yang di situ orang yang dirugikan tidak mempunyai kesalahan. Demikian pula dicari dasar dari ketentuan-ketentuan mengenai penegoran dan dasar ini diketemukan dalam peraturan yang berbunyi bahwa hanyalah debitur yang tinggal diam, yang tahu bahwa sekarang dikehendaki perbuatan dari dia, yang diwajibkan mengganti kerugian. Akan tetapi bilamana ini tepat, maka akibatnya juga, bahwa barang siapa telah menyatakan tidak mau memenuhi kewajibannya, maka ia tidak boleh menginginkan bahwa kepadanya masih dikirimkan suatu peringatan. pagina-86
250
   Konstruksi adalah suatu klasifikasi: kita mengumpulkan pengertian-pengertian tertentu dan mengelompokkannya ke dalam pengertian-pengertian yang lebih tinggi yang mencakupnya. Analogi dan penghalusan hukum terjadi dengan pertolongan klasifikasi itu, akan tetapi bagaimanapun sifatnya lain. Di sini kita mereduksi peraturan-peraturan tertentu menjadi peraturan-peraturan lain yang jangkauannya lebih umum, melihat dalam peraturan-peraturan yang akhir ini dasar dari ketentuan yang diberikan oleh hukum positif: dalam peraturan bahwa penyewa harus didahulukan dari pada si penerima kita melihat dasar dari ps. 1576 B.W. dalam peraturan: di mana ada tingkah-laku yang tercela, di situ ada kerugian, kita lihat dasar dari ps. 1365 BW, dan sebagainya. Jelas kita tidak selalu sadar akan hal ini: di sini, seperti yang kerapkali terjadi, kita maju dengan meraba-raba; melihat lebih banyak kemiripan dari pada meringkasnya dalam satu formula secara tuntas, akan tetapi tetap merupakan kenyataan, bahwa penguraian dari apa yang kita lakukan pada analogi, selalu mengakibatkan kesimpulan ini.
251
Kita mencari apa yang dulu kebanyakan disebut orang ratio legis. Sekarang ratio legis itu yang ditunjuk sebagai peraturan yang menjadi dasar sendiri dapat dikembalikan lagi ke peraturan yang lain lagi, dan demikianlah kita dapat berbuat terus, akan tetapi juga di sini, seperti halnya pada pencarian pengertian umumnya, yang ke dalamnya dapat dikelompokkan suatu pengertian khusus, kita sampai pada suatu titik di mana kita tertahan dan di dalam hukum, seperti halnya di luar hukum, kalau kita sudah mencapainya, maka kita sampai di bidang lain. Di sini kita menginjakkan kaki di bidang yang lain itu, kalau kita menyusun suatu putusan yang untuk kita—jadi orang-orang dari waktu tertentu yang hidup dalam negara tertentu dalam sistem hukum tertentu—langsung jelas. Di mana ada kesalahan di situ ada kerugian adalah salah satu dari padanya. Ini kita sebut asas hukum.
252
Suatu asas hukum bukanlah peraturan hukum. Andaikata itu peraturan, maka peraturan itu akan sedemikian umumnya, sehingga peraturan itu tidak akan mengatakan apa-apa atau akan berkata berlalu banyak. Penerapan secara langsung dengan jalan subsumsi suatu fakta pada asas tidaklah mungkin, untuk itu terlebih daulu harus dibentuk peraturannya oleh isi yang lebih konkrit. Pada pembentukan peraturan itu asas berbenturan dengan asas: yang satu akan mendesak ke jurusan ini dan yang lain akan mendesak ke jurusan itu. Jadi asas bukanlah hukum, namun tidak ada hukum dapat dimengerti tanpa asas-asas itu. Itu adalah kecenderungan-kecenderungan yang ditetapkan oleh penilaian susila kita untuk hukum, hal-hal yang bersifat umum, dengan segala kenisbiannya yang dibawa serta oleh yang umum itu, akan tetapi yang tidak dapat kita abaikan. Di dalam asas kita menyinggung faktor susila dalam hukum, seperti halnya di pagina-87dalam bentuk dasar kita menyinggung faktor yang logis dalam hukum. Akhirnya penemuan hukum menyandarkan diri pada penilaian susila kita. Penyandaran diri pada penilaian susila kita itu pertama-tama pada putusan konkrit—itu akan kita bicarakan kemudian—akan tetapi penemuan hukum juga menyandarkan diri pada penilaian susila kita pada waktu melacak asas hukum itu di dalam sistem hukum. Kita hanya dapat menamakannya asas hukum apa yang kita akui etis.
253
   Salah satu di antara fungsi-fungsi terpenting dari ilmu hukum adalah melacak asas hukum di dalam hukum positif. Itu tidak hanya sungguh penting kalau kita dihadapkan pada pertanyaan apakah kita akan menerapkan satu atas lain ketentuan undang-undang dengan analogi atau apakah pembatasan suatu peraturan dengan penghalusan diperbolehkan; juga di dalam sistematik, kalau kita mengkombinasikan peraturan-peraturan tertentu, kita bertanya apakah itu akibat dari asas yang sama, sehingga karenanya dapat menerima kombinasi seperti itu. Setiap kali kita meraih kembali asas hukumnya.
254
   Ada kemungkinan bahwa kita menemukan asas hukumnya dengan cara menunjuk apa yang umum dalam peraturan-peraturan yang nampaknya berbeda-beda (tidak ada hubungannya) satu sama lain. Demikianlah J.H. Thiel97 dalam disertasinya menemukannya dengan jalan menyatakan adanya asas perlindungan itikad baik orang-orang ketiga terhadap perbuatan-perbutan fihak-fihak dalam peraturan hubungan wesel, dalam peraturan perolehan hak milik atas benda tak bergerak dan dalam ps. 1872 B.W., dalam arti: pikiran bahwa barang siapa yang atas dasar peraturan yang terbukti keluar dari suatu hubungan hukum antara orang-orang tertentu menerimanya sebagai yang nampak keluar itu, maka ia boleh percaya kepada yang nampak keluar itu dan ia dilindungi terhadap fihak-fihak apabila atas dasar kepercayaan itu ia bertindak lebih Ianjut.
255
Asas ini dapat ditunjukkan dalam banyak hubungan-hubungan yang lain; sekali asas ini diketemukan asas itu memperjelas peraturan-peraturan yang belum memperoleh penjelasan yang memuaskan, memperjelas ps. 1977 B.W. misalnya dan pada penyelidikan lebih lanjut asas ini dapat dipergunakan dengan baik. Demikianlah saya menganggap boleh mempergunakannya pada pembicaraan mengenai persoalan berlaku surutnya pemutusan penjualan benda tak bergerak berdasar ps. 1266 B.W. dan pagina-88pengaruhnya terhadap perolehan hak atas benda itu oleh orang-orang ketiga setelah penjualan.98
256
   Pasal 1977 B.W. sendiri dapat dipandang sebagai pernyataan-asas. Bilamana pembentuk undang-undang memberikan pernyataan yang begitu umumnya, sehingga subsumsi langsung tidak mungkin, maka pernyataan itu adalah asas99. Di sini kita berdiri pada batas antara peraturan yang dipandang umum dan asas. Barang siapa menganggap dalam ps. 1977 B.W. terkandung ketentuan bahwa barang siapa berzitter dari benda bergerak maka dia juga pemiliknya, dia boleh menyebut ps. 1977 BW itu suatu peraturan hukum, meskipun menurut pendapat saya pada penerapannya dalam sistem hukum kita pasal itu tidak dapat berbuat apa-apa; barang siapa beranggapan seperti saya bahwa peraturan itu menyatukan dua peraturan, yaitu “barang siapa dengan itikad baik memperoleh suatu benda atas dasar alas hak yang membebaninya dari seorang bukan-pemilik, maka dia menjadi pemilik” dan “bezitter dari suatu benda bergerak diperkirakan merupakan pemilik dari benda itu”, maka ia menganggap perumusan dalam formula ini “bezit adalah alas hak yang sempurna” sebagai penunjukan suatu asas hukum yang pada satu fihak berhubungan erat dengan asas perlindungan orang ketiga yang beritikad baik, pada lain fihak asas hukum itu berhubungan erat dengan apa yang disebut orang konseratisme dalam hukum, “beati possidentes”.
257
   Jelas pasal-pasal 1338 B.W. dan 23 A.B. adalah tidak lain dari pada pernyataan-pernyataan asas. Penemuan kembali di zaman kita mengenai perluasan kewajiban kontraktual di luar isi kontrak dan sekaligus perluasan batasnya melalui asas itikad baik, untuk hukum perdata luar biasa pentingnya. Akan tetapi peraturan yang berlandaskan dasar ini baru memperoleh isi yang positif, apabila peraturan itu keluar dari asas dan turun ke kekhususan; apa gunanya asas jika asas itu tidak diwujudkan dalam peraturan-peraturan khusus?Akhirnya mungkin juga, bahwa asas hukumnya tidak diucapkan maupun tidak dapat disimpulkan dari peraturan-peraturan tertentu, melainkan bahwa asas itu adalah aksioma yang menjadi titik tolak dari seluruh pengaturan bidang hukum, kadang-kadang dari seluruh hukum. Di dalam hukum acara contoh dari aksioma semacam itu adalah asas kesamaan para fihak, keharusan untuk bertumpu pada asas tersebut memberikan kepada kedua belah fihak kesempatan yang sama untuk mempertahankan pendiriannya (audi et alteram partem), juga ucapan “di mana tidak ada kepentingan, tidak ada pagina-89tuntutan/gugatan”. Di dalam hukum pidana pernyataan “tidak ada pertanggung jawaban menurut hukum pidana tanpa adanya kesalahan” adalah contoh dari asas yang tidak diucapkan itu100, sedangkan akhirnya keterikatan kepada undang-undang sendiri dapat dianggap sebagai asas yang tidak terucapkan itu.
258
   Dalil bahwa .ada asas-asas yang tidak terucapkan dan bahwa dengan dimasukkannya dalam undang-undang asas-asas itu belum menjadi peraturan-peraturan hukum, melainkan bahwa asas-asas ini baru menjadi peraturan hukum dalam pengkhususan yurisprudensi, tidak berarti bahwa pernyataan tegas-tegas oleh pembentuk undang-undang tidak dikehendaki. Seperti halnya kita sudah melepaskan diri dari gagasan bahwa diluar undang-undang tidak dapat diketemukan hukum, maka kita juga harus melepaskan gagasan bahwa segalanya yang dimasukkan dalam undang-undang adalah peraturan hukum.
   Apakah suatu asas harus diucapkan ataukah boleh diperkirakan ada secara diam-diam, adalah persoalan teknik perundang-undangan. Andaikata kedua peraturan yang saya sebutkan di atas dimasukkan dalam undang-undang, maka asas dalam ps. 1977 B.W. itu jelas akan dapat ditiadakan.
259
Akan tetapi andaikata ps. 1338 B.W. tidak menyebutkan asas itikad baik, maka dapat dipertanyakan apakah .ps. 1338 B.W. itu dalam yurisprudensi baru kita juga akan merintis, jalannya seperti sekarang ini. Mustahil juga tidak; asas yang analog yang tidak terdapat dalam undang-undang, bahwa penyalahgunaan hak tidak dilindungi, telah, membuktikannya. Namun demikian kita boleh meragukan apakah asas itu lalu ,memperoleh arti seperti itu. Lagi pula dimasukkannya asas tak terucapkan dalam sistem kasasi kita yang sekarang adalah penting, karena pemasukan itu menempatkan dipertahankannya asas itu di bawah pengawasan HR: pemasukan dalam sistem kasasi itu akhirnya yang terbaik untuk tidak meragukan pengakuan asasnya, untuk memberikan wibawa khusus kepada asas itu.101
260
   Dengan demikian asas hukum adalah pernyataan mengenai hukum positif, yang langsung menjadi jelas. Kita menemukan asas hukum itu dalam hukum positif, dalam sistem peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan lembaga-lembaga dalam keseluruhannya, akan tetapi di samping yang positif itu asas hukum berisi penilaian susila, pemisahan yang baik dari yang buruk, yang menjadi landasan hukum.
   Seperti halnya kategori adalah bentuk yang menjadi wadah fungsi logis dari jiwa kita menampakkan diri dalam hukum, maka asas hukum adalah
pagina-90akibat dari fungsi etis jiwa kita. Di dalam asas itulah penilaian susilanya masuk dalam hukum. Di dalam sifat etis dari asaslah tercakup penilaian di dalamnya dan adanya penilaian itu memungkinkan adanya perbedaan tingkat. Asas dan asas tidak selalu sama. Ada asas yang kita tunjuk sebagai asas, Karena asas tersebut oleh sifat umumnya tidak memungkinkan diterapkannya dengan subsumsi sederhana, akan tetapi masih kuat mengandung unsur-unsur dari pengaturan-pengaturan khusus (misalnya asas dalam ps. 1977 B.W.); ada juga asas yang tidak menyatakan lain dari pada bahwa tuntutan-tuntutan susila tertentu yang fundamental juga harus dipatuhi dalam hukum (misalnya asas kejujuran dan kenyataan, yang dalam setiap penipuan melihat pertentangan dengan itikad baik). Yang satu tidak hanya lebih umum dari pada yang lain, tetapi juga dinilai lebih tinggi dari pada yang lain. Pada penemuan hukum asas yang lebih rendah akan menyingkir untuk asas yang lebih tinggi. Sehubungan dengan ini maka kejelasannya juga berlainan. Yang satu akan segera jelas untuk setiap orang, yang lain hanya jelas untuk orang yang mengenal sekali sistem hukumnya.
261
   Mencari asas adalah kegiatan intelektual dan juga kegiatan yang terpenting dari ilmu hukum, karena asas itu harus dilacak dalam sistem positif, yaitu keseluruhan tatanan hukum, yang di situ tidak ditegaskan asasnya, dan asas itu harus dikaji terhadap keseluruhan itu jika pernyataan asasnya sudah terjadi, akan tetapi sekaligus sepenuhnya irasional, karena hanyalah apa yang oleh si peneliti sendiri diterima sebagai nyata di mata kesadaran susilanya dapat diakui sebagai
   Dengan ini kita singgung pertanyaan, yang seperti halnya di atas pada bentuk logisnya, dapat kita kemukakan di sini: apakah juga pembentuk undang-undang terikat kepada asas-asas ini ataukah ia dapat mengesampingkannya? Suatu pertanyaan, yang karena mengenai pengetahuan dan penilaian kedua-duanya, di sini membutuhkan jawaban yang lain dari pada jawaban yang diberikan di situ.
262
   Asas hukum diketemukan di dalam hukum. Pembentuk undang-undang mempunyai kekuasaan atas hukum, dia dapat memasukkan asasnya ke dalam hukum positif, dapat juga membuangnya dari hukum positif. Asas dalam ps. 1977 B.W. dapat hapus dari undang-undang kita, tak seorangpun dapat meragukannya. Akan tetapi dengan pengamatan yang sederhana ini pertanyaan kita belum terjawab dengan tuntas.
   Sebab pertama-tama ada kemungkinan, bahwa pernyataan asasnya dan pengaturan khususnya bertentangan satu sama lain. Asas adalah asas dari hukum dalam keseluruhannya. Apabila asas itu dianut dalam peraturan-peraturan khusus, dalam yurisprudensi dan dalam penegakan hukum, maka
pagina-91asas itu merupakan hukum positif, meskipun undang-undang menyingkirkannya, dan sebaliknya: apabila penerapannya tidak ada, maka pernyataan yang paling tegas sekalipun tidak membuat suatu formula menjadi peraturan hukum. Jelas sekali kemungkinan itu tampak, bilamana undang-undang sungguh-sungguh menulis asasnya, akan tetapi tidak berisi pengaturan khususnya dan menyerahkannya kepada orang-orang lain. Pertama-tama kepada hakim. Isteri wajib mematuhi suaminya, kata ps. 106 B.W. Pasal ini ingin menunjukkan suatu asas hukum; -ini huruf mati. Putusan-putusan hakim yang memutuskan bahwa asas hukum harus menjadi peraturan hukum, tidak dapat ditunjukkan; itu tidak ada. Dan sekarang janganlah orang berkata, bahwa meskipun putusan-putusan ini tidak ada, namun setiap saat putusan-putusan semacam itu dapat dipancing, bahwa karenanya asas hukum itu bukan hukum selama ada dalam undang-undang.
263
Barang siapa bernalar seperti itu, maka ia tidak memperhatikan perbedaan antara peraturan hukum dan asas hukum. Suatu peraturan undang-undang tidak kehilangan kekuatannya karena tidak diterapkan (ps. 5 N. AB); pada asas hukum, di mana otoritas lain dari pada pembentuk undang-undang harus membentuk peraturannya, maka asas hukum itu tidak menjadi hukum, selama pembentukan peraturan ini tidak terjadi. Dan sekarang memang betul, bahwa hakim memang wajib menghormati asas yang dianut oleh undang-undang, akan tetapi wibawa yang di sini ada pada pembentuk undang-undang bersifat lain dari pada wibawa yang memberlakukan aturan yang berupa peraturan atau perintah. Asas adalah pedoman, sehingga asas tidak dapat menginginkan diikutinya tanpa syarat, justru karena asas itu tidak lain dari pada asas. Hanyalah perintah, suatu peraturan dan bukan pernyataan-asas, dapat dipatuhi. Seorang hakim yang mengesampingkan suatu asas, dengan berbuat begitu belum berarti menghindari kewajibannya. Memang untuk berbuat demikian ia harus mengemukakan alasan-alasan yang baik; dalam mengemukakan alasan-alasan itu ia terikat kepada penilaian dari orang-orang yang bersangkutan; pada asas yang begitu luas ruang lingkupnya seperti asas kepatuhan seorang wanita kawin, dia terikat kepada apa yang dapat disebut kesadaran hukum dari waktu tertentu dalam suatu bangsa tertentu. Di bawah ini kita akan kembali membicarakan hal itu, di sini sudahlah cukup untuk menyatakan pernyataan undang-undang saja mengenai suatu asas tidak membuatnya menjadi hukum.
264
   Di dalam paragraf sebelumnya kita lihat, bahwa kekuasaan pembentuk undang-undang berhenti kalau menghadapi fungsi logis dari jiwa manusia. Pembentuk undang-undang tidak mempunyai kekuasaan atas penilaian ilmiah dan penilaian kebenaran kita. Mengenai kehendak kita dan penilaian tingkah-laku ia mempunyai kekuasaan, akan tetapi apabila ia menentukan suatu asas, pagina-92namun tidak menjabarkannya dalam peraturan-peraturan positif, maka asas itu baru menjadi hukum apabila asas itu diterima oleh mereka yang diserahi penjabarannya. Bilamana kata dari pembentuk undang-undang tidak mendapat sambutan, maka kata itu tinggal kata yang kosong. akan tetapi bagaimana kalau pembentuk undang-undang tidak hanya mengucapkan asasnya, tetapi juga menjabarkannya sampai terperinci—apakah juga harus diakui oleh orang yang menurut penilaiannya sendiri asas itu tidak jelas?
265
   Di sini kita menyinggung titik yang paling sulit yang terletak dalam sifat4 dari hukum sendiri. Adalah peraturan positif, yang dari luar diwajibkan sebagai demikian dan yang dapat ditetapkan secara ilmiah; peraturan itu sekaligus merupakan peraturan yang bersifat seyogyanya, yang hanya mempunyai kekuatan bilamana sifat seyogyanya itu diakui oleh orang yang mencari hukum yang konkrit. Bagaimana jadinya kalau kedua syarat ini bertabrakan satu sama lain, yang satu dipenuhi dan yang lainnya tidak? Bahwa peraturan positif yang oleh si penegak hukum dipandang tidak susila bagaimanapun harus diterapkan, karena kita tidak menyelidiki keterikatan kepada undang-undang, akan tetapi menerimanya, dalam buku ini kami kita terima sebagai dasar dari sistem hukum perdata kita dewasa ini; namun bagaimana dengan asas yang tersembunyi di dalam dan di belakang peraturan-peraturan itu; apakah kita juga harus mengakuinya dan mempergunakannya pada tiap-tiap penemuan hukum, atau apakah kita harus membatasi diri pada menerima peraturan-peraturan yang ditulis dan bolehkah kita menolak setiap konsekuensi dari asas yang menurut pendapat kita tidak tepat?
266
   Satu hal harus mendahului jawaban atas pertanyaan ini. Di dalam penilaian atas asas-asas hukum ada tingkatan-tingkatan, kata kita; tingkatan-tingkatan itu juga ada dalam penolakannya. Mungkin saja bahwa kita memandang suatu asas kurang tepat, bahwa tidak hanya dalam penjabarannya, melainkan kita secara prinsipiel menghendaki satu atau lain hal lebih baik diatur lain, namun bahwa bagaimanapun, karena kita mengakui nilai peraturannya sendiri sudah sebagai peraturan atas kehendak dari kekuasaan yang, menjadi asal peraturan itu, maka kita tunduk pada peraturan itu. Sampai batas tertentu kita dapat menerima apa yang bagi kita sendiri tidak jelas, tetapi yang kita mengerti evidensinya untuk orang lain. Akan tetapi juga mungkin, bahwa kita menganggap asas itu sedemikian buruknya, sehingga asas itu bagi kita tidak boleh bemama hukum.
267
   Baru dalam hal yang terakhir kita menghadapi problema kita. Mengenai hal itu terdapat perbedaan pendapat yang penting.
   Bilamana orang berpendapat, bahwa mengenai suatu penilaian: nyata atau tidak nyata, hukum positif atau bukan, sudah- ditentukan oleh ilmu hukum,
pagina-93dan penilaian susilanya, persoalan mengenai keadilannya dikeluarkan selama suatu pertanyaan mengenai hukum diselidiki, maka setiap asas yang karena penyelidikan itu diketemukan dalam sistem hukum, adalah hukum. Bagi saya tidak jelas bagaimana kegiatan dalam peradilan atau ilmu yang mempersiapkan peradilan, dari sudut pandangan itu mungkin. Selalu ditanyakan sifat “memuaskannya” dari suatu kesimpulan, dan akhirnya pemuasan ini untuk penilaian susila itu dominan dalam pembentukan keputusannya.
268
Pembuktian saya seluruhnya bertujuan untuk menunjukkan bagaimana pembuktian itu dalam keputusan ini melihat masih ada sesuatu yang lain dari pada penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh penyelidikan intelektual. Apabila ini benar, maka sudah karena alasan itu prinsip ini harus ditinggalkan. Namun demikian pendapat yang tidak dapat diterima ini dianut oleh banyak sarjana hukum, tidak hanya oleh mereka yang disebut kaum positivis102 yang beranggapan bahwa dengan menetapkan apa yang hukum atas dasar satu atau lain gejala (undang-undang atau kebiasaan) yang berwibawa, tugas dari ilmu hukum sudah selesai, akan tetapi juga dianut oleh mereka yang memisahkan dengan tujuan hukum yang berlaku dan yang dikehendaki, hukum positif dan hukum “richtig”—untuk menggunakan istilah Stammlerdan mau mengakui yang akhir itu sebagai kritik dari hukum positif, pedoman untuk pembentukan peraturan-peraturan baru, akan tetapi tidak sebagai faktor pada penemuan hukum yang konkrit. Hukum yang richtig itu bukan faktor pada penemuan hukum konkrit, kecuali dalam kasus-kasus di mana hukum positif menunjuk kepada hukum yang richtig itu.103 Bagi mereka yang seperti kita berpendapat bahwa penerapan hukum adalah selalu penemuan hukum, bahwa pemisahan yang jelas yang menjadi titik-tolak para pemikir itu tidak ada (lihat par. 1 dan 2), maka pendapat ini sekali lagi tidak dapat diterima.
269
   Semua penulis-penulis ini sudah puas dengan asas hukum yang dengan tegas diucapkan oleh fihak yang pegang kekuasaan. Mereka tidak bisa lain; bagi mereka asas hukum itu adalah hukum, karena pemegang kekuasaan menyatakannya demikian. akan tetapi barang siapa berpendapat bahwa hukum mempunyai bagian dalam kehidupan susila, bahwa keputusan hukum berakar dalam penilaian susila, maka ia tidak dapat menerima sebagai asas hukum suatu asas yang dalam hati nuraninya ia tolak karena memuakkan. Ia harus mengkajinya dengan putusan hati nuraninya, baik karena ia mengakui pagina-94putusan hati nuraninya itu sebagai kekuasaan tertinggi maupun karena ia berpendapat bahwa ucapan hati nurani ini pada gilirannya tunduk pada tatanan yang lebih tinggi dan barulah asas itu boleh berlaku sebagai asas hukum. Yang pertama adalah pendapat dari idealis-idealis dari berbagai selera, yang kedua adalah keyakinan Kristen. Bagi keduanya suatu asas yang tidak susila yang diucapkan dan dijabarkan dalam peraturan-peraturan khusus oleh kekuasaan yang manapun, tidak pernah hukum.
270
   Untuk menyebut suatu contoh: dari sistem hukum kita dewasa ini gagasan bahwa perkawinan adalah perikatan antara satu orang pria dan satu orang wanita untuk seumur hidup, adalah asas. Dengan diakuinya secara terbatas mengenai perceraian, dengan diberlakukannya apa yang disebut perkawinan yang dapat diputuskan, maka asas ini ditinggalkan. Ada aliran yang menjurus ke sana; di tempat lain hal itu sudah terjadi. Andaikata pembentuk undang-undang kita mengalah terhadap keinginan itu dan perikatan yang berlangsung tidak lebih lama dari pada yang dikehendaki oleh fihak-fihak ia buat menjadi perkawinan menurut undang-undang, dan menjabarkan pengaturan itu sedemikian rupa, sehingga tanpa diragukan asasnya sudah diucapkan, maka hal ini untuk keyakinan Kristen yang melihat dalam asas yang masih diterima sekarang ini suatu ordonansi dari tatanan yang lebih tinggi, bagaimanapun bukanlah asas hukum. Suatu asas hukum tidak mungkin apa yang bertentangan dengan dasar yang paling inti dari semua hukum. Siapa yang menganut prinsip ini akan menerima pengaturan positifnya, akan tetapi akan menentang setiap perluasan atas dasar asasnya. Semua peraturan, yang di dalamnya ditunjukkan akibat dari asas itu, harus ditafsirkan menurut bunyi kata-katanya.104
271
   Di sini adalah a priori susila dari undang-undang. Menurut pendapat saya setiap analisis dari penilaian hukum harus mengakui a priori susila penguraiannya sendiri memperlihatkan tidak dapat dipertahankannya pendapat yang menganggap bahwa di dalam hukum tidak boleh dipertimbangkan keadilannya. Akan tetapi akhirnya kepercayaanlah yang menentukan isi dari a priori. Sama halnya dengan dalam etik dan sebetulnya dalam setiap ilmu, pagina-95apabila dalam penyelidikan fundamen-fundamennya kita cukup menggali lebih dalam, kita sampai pada kepercayaan.105
   Dengan semuanya ini kita memang jauh menyimpang dari analogi. Namun demikian perlu kita untuk membicarakannya di sini, kalau kita tidak ingin tinggal dangkal. Di samping itu, untuk penemuan hukum dengan analogi dan penghalusan hukium pembicaraan ini tidak tanpa kepentingan. Ini akan kita tunjukkan.
272

§ 16 Analogi; Penghalusan hukum (Lanjutan); Argumentum a contrario; pemisahan analogi dari interpretasi? Penguraian ilmiah dan penelaian keduanya.

   Kita harus menelaah analogi lebih lanjut. Kebanyakan orang melawankan analogi dengan argumentum a contrario, bukti, bahwa apabila undang-undang menetapkan peraturan untuk fakta-fakta yang dirumuskan tertentu, maka peraturan itu hanya untuk fakta-fakta tersebut dan untuk hal-hal yang ada diluar perumusan itu akan berlaku kebalikannya. Apabila misalnya ps. 34 BW, mengatakan bahwa wanita tidak dapat kawin lagi selain setelah lampaunya 300 hari sesudah putusnya perkawinan, maka dari ketentuan itu disimpulkan bahwa pria tidak terikat kepada jangka waktu apapun untuk kawin lagi.
273
   Metode untuk berargumentasi a kontrario tidak berbeda dengan metoda analogi. Kita bekerja dengan cara yang sama, tetapi mencapai .hasil lain yang negatif. Apabila kita ajukan pertanyaan apakah bukan karena tuntutan kesalehan (pietas) harus diterima bahwa antara pemutusan perkawinan dan perkawinan baru harus berselang suatu tenggang waktu tertentu dan pada penyelidikan mengenai pendirian pembentuk undang-undang terhadap pertanyaan itu terbentur pada ps. 34 B.W., maka kita menjadi ragu-ragu apakah ketentuan ini mengizinkan generalisasi. Akan tetapi jika terhadap wanita ada alasan untuk larangan yang tidak berlaku bagi pria (kekhawatiran akan confusion sanguinis), maka penggeneralisasian peraturan untuk wanita menjadi peraturan untuk suami tidak diperbolehkan. Juga di sini analogi mempunyai pasangannya pada penghalusan hukum: jika kita menolak suatu pembedaan atas dasar dalil, bahwa jiga undang-undang tidak membedakan, maka kita juga pagina-96tidak boleh membedakannya.
274
Kita lalu beranggapan, bahwa ketidaksamaannya, yang dipakai sebagai dasar pembedaan, tidak menutup kesamaannya terhadap peraturan umum atau asas yang peraturan yang bersangkutan dapat dikembalikan kepada, peraturan umum atau asas itu. Atau: kita menolak penghalusan hukum, karena terhadap interpretasi gramatikal kita menganggap sandaran pada ratio tidak cukup kuat untuk menyimpang dari kata-katanya. Demikianlah halnya pada ps. 34 B.W.106 yang sama, bahwa perkawinan baru di dalam jangka waktu 300 hari setelah putusnya perkawinan dilarang, juga kalau si wanita setelah putusnya perkawinan sebelumnya melahirkan dan karenanya confusio sanguinis tidak mungkin ada. Dalam kedua kasus ini kita tidak akan mencari lebih lanjut peraturan-peraturan umum dan asas-asas hukumnya, tetapi kita membatasi diri pada data-data yang diberikan oleh bahasa dan sejarah hukum, kalau perlu dalam hubungannya dengan sistematik hukum.
275
   Apabila orang ingin menyebut yang akhir ini interpretasi, saya tidak keberatan. Asalkan orang mengerti bahwa ia menafsirkan kata “interpretasi” itu lebih sempit dari pada kebiasaannya sejak bangsa Romawi, dan bahwa hakim selalu melakukan lebih banyak dari pada menafsirkan ini. Sesegera dia mengingat tujuan dan bekerjanya peraturan, maka masuklah unsur lain dalam keputusannya.
   Akan tetapi menurut pendapat saya sungguh tidak tepat untuk menarik garis batas yang prinsipiel antara interpretasi yang lalu disebut interpretasi luas atau interpretasi ekstensif dan analogi, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan sarjana hukum. Pemisahan seperti itu dimungkinakan atas dasar data-data pada penemuan hukum. Orang juga dapat melawankan: bahasa sehari-hari, sistem, sejarah undang-undang, ratio, terhadap satu sama lain. Juga mungkin ada pemisahan menurut metodanya. Akan tetapi apakah orang mengingat metodanya ataupun data-datanya, dalam kedua hal itu analogi dan interpretasi ekstensif sepenuhnya sama. Pada keduanya orang mencari keputusannya dengan jalan menetapkan ratio, peraturan yang lebih tinggi, tempat (kepada mana) undang-undang dapat dikembalikan dan dari ratio itu mendeduksi peraturan barunya. Hanya ada perbedaan tingkat.
276
   Apabila orang mengatakan107 bahwa interpretasi adalah penetapan batas-batas, penetapan bidang yang dijangkau oleh suatu ketentuan undang-undang dan pada analogi si penerap undang-undang dengan sadar keluar dari batas-pagina-97batas itu, maka orang lupa bahwa bidang itu tidak dilingkarbatasi tersendiri, melainkan pada keduanya (analogi maupun interpretasi) diadakan hubungan antara suatu ketentuan undang-undang dan suatu kasusposisi, yang pada keduanya penerapan pada kasusnya tidak ditentukan oleh kata-kata dari peraturannya, bahwa bidang ini pada keduanya dicari dengan jalan generalisasi dari dasarnya. Kasus perluasan ps. 1576 B.W. dipandang sebagai interpretasi oleh H.R.; menurut saya ini merupakan contoh khas dari analogi.
277
Pembelaan yang disajikan dengan baik, bahwa analogi berpijak pada prinsip dari si pencari hukum sendiri, dan interpretasi ekstensif berpijak pada prinsip pembentuk undang-undang108, yang andaikata pembentuk undang-undang itu mengingat kepada kasusnya akan mengatakan sama seperti yang dikatakan oleh si interpretator, secara keliru melihat penafsiran menurut sejarah undang-undang sebagai saat yang menentukan segalanya dan di samping itu ia bekerja dengan fiksi yang tidak perlu. Mengenai apa yang akan dilakukan oleh pembentuk undang-undang, andaikata ia memikirkan sesuatu yang dalam kenyataannya tidak ia pikirkan, kita tidak mengetahui apa-apa.
278
   Bahwa bagaimanapun orang dengan sekuat tenaga berpegang teguh pada perbedaan yang tidak ada ini, terdapat alasan rangkap. Pertama-tama alasan itu terdapat pada kepentingan yang akan ada bagi hukum pidana. Menurut kata orang, dalam hukum pidana analogi dilarang, penafsiran ekstensif diizinkan. Akan tetapi contoh-contoh penafsiran ekstensif yang diberikan oleh para pembela pendapat ini sama berhak untuk disebut contoh-contoh analogi. Dari sudut ilmu bahasa mumi telpon bukan telgrap, buah-buahan kebun bukan buah-buahan ladang, orang yang tidur bukan orang yang pingsan, dan sebagainya. Usaha-usaha pada Rapat Sarjana Hukum (Juristen-vergadering) tahun 1922 untuk memutuskan apakah pencurian aliran listrik dapat dipidana menurut ps. 362W.v.S ataukah analogi terlarang, memperlihatkan tidak lebih dari pada kekacauan yang hebat.109 Dan di sini orang tidak boleh melawan dengan mengatakan, bahwa suatu pembedaan tidak boleh ditolak, karena ada kasus-kasus batas yang di situ pengertian-pengertian yang dibedakan itu menyinggung satu sama lain. Ini hanyalah betul, apabila secara prinsipiel dapat diadakan pemisahan, dapat ditunjukkan suatu Kriterium. Kriterium ini tidak ada di situ. pagina-98
279
   Ini tidak berarti, bahwa tidak ada alasan yang baik bagi penegakan hukum pidana untuk menolak analogi. Alasan ini terdapat dalam ps. 1 W.v.W, dalam asas yang dijunjung tinggi dalam pasal itu: tiada pidana tanpa adanya ketentuan pidana yang mendahuluinya. Undang-undang pidana menurut sifatnya juga bertujuan untuk menetapkan batas-batas perbuatan pidana. Kepastian hukum yang selalu dipakai sebagai dasar untuk menolak analogi, mempunyai arti khusus dalam hukum pidana, karena kepastian hukum itu adanya di dalam hukum pidana juga untuk pengamanan terhadap kesewenang-wenangan dari hakim.110 Di dalam hukum pidana, dalam hal dua peristiwa yang pada asasnya sama dinilai berbeda, maka ketidakadilan yang terletak di dalamnya harus diterima bilamana dalam hal yang sebaliknya kepastiannya akan terlalu dibahayakan.
280
Jadi ada alasan cukup, mengapa dalam hukum pidana orang begitu takut untuk mengadakan analogi. Bahwa orang tidak dapat tanpa analogi, itu dibuktikan oleh contoh-contoh yang saya kutip. Perbedaannya hanya bertingkat (gradual): di dalam hukum pidana hanya dengan sikap hati-hati yang setinggi-tingginya orang boleh meningkat ke suatu peraturan yang lebih tinggi; peraturan yang baru harus memuat hampir semua unsur dari data yang ada, yaitu peraturan-peraturan, generalisasinya harus ditahan dalam batas-batas yang sesempit-sempitnya. Orang dapat merumuskan semuanya ini dengan seketat-ketatnya seperti yang ia kehendaki, namun perbedaan yang prinsipiel tidak ada di sini.
281
   Hukum perdata bersikap lain menghadapi semuanya ini. Di dalam hukum perdata kita tidak boleh mengatakan seperti dalam hukum pidana: kalau terpaksa boleh bukan hukum, asalkan bukan hukum itu hanyalah demi kepentingan si tertuduh. Di sini tidak ada dua satuan yang tidak sama yang berhadapan satu sama lain, yaitu masyarakat dan individu, di mana yang akhir itu mendapat perlindungan di dalam kepastian rumusan undang-undang. Di dalam hukum perdata individu berhadapan dengan individu dan jika undang-undang, seperti halnya setiap undang-undang, juga sudah menentukan batas-'batas kekuasaan hakim dan karenanya ingin mencegah hakim untuk mengadakan analogi, maka ps. 22 AB yang mewajibkannya untuk mengadili setiap perkara, memaksanya ke jurusan lain. Di sini putusan: di dalam teks undang-undang tidak saya temukan dasar untuk menuntutnya, jadi dia saya bebaskan, tidak pada tempatnya. Terhadap si penggugat putusan itu akan merupakan bukan hukum. Page 99
282
   Namun demikian juga di sini (dalam hukum perdata) ada dasar untuk usaha membedakan analogi dari interpretasi ekstensif. Dasar ini terletak dalam sistem kasasi. Kasasi hanya mungkin dalam hal penodaan undang-undang, lembaga kasasi ini bertumpu pada gagasan (yang sebelumnya sudah kerap kali kita amati), bahwa semua ,hukum terdapat dalam undang-undang, bahwa penemuan hukum adalah penerapan undang-undang dan bahwa penemuan hukum ini terjadi dengan subsumsi, dengan mempergunakan bentuk logis silogisme. Akibatnya adalah bahwa analogi ada diluar penemuan hukum dengan silogisme dan hakim kasasi tidak berurusan dengan keputusan apakah analogi diizinkan atau tidak. Kasasi masih dianggap mungkin, bilamana suatu pasal, yang menurut penilaian H.R. tidak mengizinkan perluasannya, diterapkan secara analogis. Akan tetapi apabila analogi ditolak oleh hakim, maka penilaian mengenai ketepatan dari putusan ini tidak masuk kekuasaan H.R.
283
Mengenai tidak diterapkannya analogi tidak dapat dimintakan kasasi, kata orang: suatu pasal undang-undang tidak dapat dinodai karena tidak diperluasnya.111 Pernyataan batalnya suatu merk menurut ps. 10 Merkenwet harus dimintakan dengan permohonan tertulis. Apabila orang berpendapat, bahwa dalam proses yang dibuka dengan permohonan itu berbagai peraturan hukum acara yang ditulis dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (B. Rv.) untuk penuntutan yang mulai dengan gugatan tidak dituruti sebagaimana layaknya, maka permohonan kasasi untuk itu tidak mungkin. Penerapan peraturannya akan berarti penerapan secara analogis dan “penodaan oleh penerapan tidak analogis pasal-pasal undang-undang tidak dapat dimintakan kasasi dengan berhasil”.112 Sebaliknya penolakan oleh Hof (pengadilan) untuk memperluas peraturan dalam pasal 1576 B.W. sampai ke pemasukan dalam perseroan, dianggap sebagai penodaan pasal ini.
284
   Seperti halnya para penulis, H.R. juga tidak memberikan kriterium bagaimana memisahkan interpretasi dari analogi. Namun demikian H.R. beranggapan harus membuat pemisahan itu dan kita tidak boleh terlalu menyalahkannya, dia terkurung di dalam sistem kasasi. Sistem ini tidak memungkinkan analogi, karena sistem ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa suatu subsumsi sederhana memberikan penyelesaian untuk setiap kasus dalam teks undang-undangnya sendiri. Itulah sebabnya mengapa terdapat pekerjaan separo-separo dan inkonsekuensi-inkonsekeunsi dalam yurisprudensi. Pekerjaan separo-separo dan inkonsekuensi-inkonsekuensi ini baru hapus, jika kasasi diperlukan sampai kepada setiap penodaan hukum. Selama ini tidak pagina-100terjadi, maka hakim akan merasa terpaksa untuk memisahkan apa yang tidak dapat dipisahkan, yaitu analogi dan interpretasi ekstensif. Namun karenanya pemisahan itu secara ilmiah tidak kurang dapat dipertahankannya. Dan apa yang secara teoretis tidak tepat akhirnya pembentuk undang-undang tidak dapat memaksakannya.113
285
   Akan tetapi sekarang masih sedikit lagi mengenai analogi.
   Kita membuktikan dalam paragraf sebelumnya, bahwa pembentukan hukum dengan analogi terjadi dengan melacak peraturan umumnya, tempat suatu peraturan dapat dikembalikan, dengan akhirnya menggali asas yang menguasainya. Kadang-kadang jelas apa peraturan umumnya. Untuk ps. 1576 B.W., sepengetahuan saya tidak ada yang menentangnya. Akan tetapi hendaknya orang ingat, bahwa kejelasan itu baru terbukti kemudian, bahwa untuk mengambil langkah untuk melakukan analogi selalu dibutuhkan suatu keputusan yang tidak pernah diambil dengan tanpa keragu-raguan, Karena pada setiap analogi—dan juga pada setiap interpretasi ekstensif—sandaran yang mudah, yang dengan sendirinya, yang terletak dalam interpretasi menurut kata-katanya, dilepaskan.
286
   Yang menunjukkan peraturan hukum umumnya, yang menjadi asal dapat dikembalikannya suatu peraturan, adalah selalu pekerjaan ilmiah; pekerjaan ilmiah dan pekerjaan penilaian. Setiap penyelidikan, yang mengakibatkan penerapan secara analogis, mulai dengan penyelidikan intelektual mumi, akan tetapi berakhir dengan suatu putusan, yang juga bertumpu pada penilaian.
   Beberapa contoh. Pertama-tama satu contoh, yang unsur penilaiannya masih tersembunyi di belakang layar, meskipun juga mudah ditunjuk. Misalkan kita bertanya apakah peraturan dalam ps. 582 B.W. dapat diterapkan secara analogis, apabila bukan suatu benda yang dibeli, melainkan benda yang digadaikan yang direvindikasi (dituntut kembali)? Apabila orang melihat dalam ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 1977, 582 dan 1152 B.W. hanya peraturan-peraturan yang lepas satu sama lain (masing-masing berdiri sendiri), maka ada alasan untuk menjawab “tidak” pertanyaan ini, seperti yang dilakukan oleh H.R. Sebaliknya apabila orang menganggap bahwa pasal 1977, ayat 1 B.W. menegaskan suatu asas dan pada umumnya ingin melindungi penerima benda bergerak yang beritikad baik, maka ps. 1977, ayat 2 yang merupakan pengecualian terhadap asas itu dalam hal kehilangan dan pencurian, ps. 582 B.W. kembali ke asas ini dalam bentuk yang lain, tidaklah menutup pintu terhadap revindikasi, melainkan mengizinkannya hanya dengan syarat restitusi (pembayaran kembali) jumlah yang sudah dibayar.
287
Maka pagina-101selanjutnya ps. 1152 B.W. sepanjang pasal itu menentukan bahwa ketidakwenangan si pemberi gadai tidak dapat dikemukakan terhadap pengambil gadai, tidak lain adalah akibat dari asas yang sama dan ada alasan cukup untuk menganggap diizinkannya tuntutan ex ps.1977 B.W., juga terhadap si pemegang gadai tunduk kepada pembatasan yang analog dengan tuntutan terhadap si pembeli. Ps. 582 B.W. adalah jus commune dan bukan jus singulare—untuk menggunakan pemisahan yang digunakan oleh orang-orang zaman dahulu di sini. Menurut pendapat saya, yang di sini tidak dapat dikembangkan lebih lanjut dan untuk hal itu saya tunjuk kepada jilid II dari Handleiding114 ini, penelitian sistem undang-undang memaksa kita sampai pada kesimpulan ini; sebetulnya di sini tidak ada tempat untuk penilaian. Bagaimanapun H.R. menilai lain: apakah terlalu gegabah untuk memperkirakan bahwa mahkamah ini tidak begitu tertarik kepada seluruh asas dari pas 11977 B.W. dan menganggap revindikasi tanpa syarat menurut resep Romawi sebagai satu-satunya yang baik, sehingga karenanya semua ketentuan yang bertentangan dengan itu dianggap harus ditafsirkan secara sempit?
288
   Suatu contoh lain, yang di situ penilaiannya dapat ditunjukkan dengan kepastian yang lebih besar. Hof di Amsterdam pada suatu ketika menghadapi suatu pertanyaan yang dapat dianggap sebagai pertanyaan tentang perluasan analogis dari ps. 1201 B.W. dan dalam hubungannya dengan ps. 1601x B.W.115 Pasal yang pertama mengizinkan hakim untuk mengurangi hukuman yang telah diperjanjikan, bilamana perikatan pokoknya sudah dipenuhi sebagian; pasal yang kedua mengizinkan hakim untuk membatalkan sebagian atau seluruhnya suatu janji hukuman dalam suatu perjanjian kerja, yang dalam perjanjian itu si buruh berjanji akan membayar denda, bilamana ia melanggar klausula dalam perjanjian yang membatasi kebebasannya untuk melakukan pekerjaannya setelah hubungan kerjanya dihentikan.
289
Andaikata klausula seperti itu diperjanjikan tidak dalam perjanjian kerja, melainkan dalam perjanjian pengoperan suatu usaha perniagaan; dalam hal pembeli melanggar janji itu bolehkah hakim mengurangi denda yan diperjanjikan, jika ia menilai pelanggaran itu kecil dan hukuman yang ditentukan untuk pelanggaran itu tidak wajar? Hof menjawab boleh. Pasal 1309 B.W. tidak dapat langsung diterapkan; orang tidak dapat mengatakan ada tidak-pemenuhan sebagian, apabila tidak mengenai perikatan untuk melakukan sesuatu melainkan perikatan untuk tidak melakukan sesuatu. Oleh setiap perbuatan pagina-102 yang bertentangan dengan itu larangan tersebut dilanggar oleh karenanya hukumannya hapus. Akan tetapi untuk analogi dapat ada alasan. Demikianlah penilaian Hof. Ini jelas suatu penilaian.
290
   Pasal 1309 dan 1601x B.W. keduanya memberikan kepada hakim suatu' kekuasaan yang biasanya tidak dimiliki oleh hakim: kemungkinan untuk! mengesampingkan apa yang telah diperjanjikan oleh fihak-fihak. Pasal mengandung pembatasan-pembatasan asas fundamental keterikatan kepada perjanjian. Apakah dalam kedua peraturan itu kita boleh melihat aturan baru' yang merintis jalannya melawan kekuasaan tertinggi dari asas itu? Ataukah hanya pengecualian-pengecualian yang dapat diterapkan dengan terbatas mungkin? Jelaslah bahwa ini adalah pertanyaan mengenai penilaian. Seberapa tinggikah orang menilai asas kontrak? Nilai apakah yang diberikan orang kepada usaha-usaha untuk memasukkan ekuivalensi yang lebih banyak lagi dalam hubungan-hubungan kontrak? Penimbangan dari keduanya inilah yang menentukan di sini.
291
   Berbarengannya penyelidikan intelektual dan penilaian yang sama itu kita ketemukan pada penghalusan hukum. Ps. 1925 B.W. mengatakan, bahwa suatu pengakuan di muka sidang dalam suatu acara perdata mengikat, memberikan bukti sempurna istilahnya. Suatu penyelidikan mengenai dasar dari aturan itu menemukan dasar tersebut di sini, yaitu bahwa setiap orang dapat menguasai hak-hak perdatanya secara bebas, dapat mempertahankannya atau melepaskannya. Dari situ timbul akibat, bahwa aturan ini tidak, berlaku di dalam peristiwa—peristiwa, di mana penguasaan bebas ini tidak ada pada, fihak-fihak. Pasal 825 B.W. menetapkan hal itu untuk pemisahan benda-benda,-' akan tetapi itu juga harus diterima sebagai demikian untuk perceraian, pengampuan, pengingkaran sahnya seorang anak, dan sebagainya. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa terhadap perceraian yurisprudensi berlainan.116
292
   Menurut pendapat saya ini bukanlah peristiwa yang memberikan alasan untuk keragu-raguan seperti pada beding/janji konkurensi; disini tidak ada asas yang bertabrakan dengan asas. Akan tetapi di sini H.R. dalam tahun 1883 dan sampai sekarang kebanyakan hakim masih bersikap kritis terhadap aturan bahwa perceraian dikeluarkan dari penguasaan bebas fihak-fihak. Hakim tidak menghargai tinggi peraturan itu. Penghalusan hukum, yang selalu harus merintis jalannya melawan interpretasi kita, ditolak karenanya. Ini berakibat pagina-103bahwa penghalusan hukum juga dalam peristiwa-peristiwa yang lain, di mana kritik itu tidak berlaku, hanya dengan susah payah merebut tempat.117
293
   Orang melihat: apa yang terjadi pada analogi dan penghalusan hukum itu selalu merupakan pekerjaan rangkap. Hal ini sudah diketahui orang sejak abad pertengahan. Di samping pemisahan dalam jus commune dan jus singulare,. aturan dan pengecualian, aturan sesuai dengan asas dan aturan sebagai penyimpangan dari asas, terdapatlah pemisahan dalam hukum “favorabel” dan hukum “odieus”. Yang pertama harus ditafsirkan “benigae” dan yang lain harus ditafsirkan sempit. Kodifikasi menolak pembedaan seperti itu. Portalis dalam Titre préliminaire dari Code ingin memasukkan peraturan itu: La distinction des lois odieuses favorables faite dans la vue d'étendre on de restreindre leur disposition est abusive.118 Bahwa ini tidak dimasukkan, itu sangat boleh jadi bukannya karena pembentuk undang-undang tidak menyetujui ucapan itu. Pembentuk undang-undang menganggapnya tidak perlu. Namun demikian pembedaan yang pada umumnya dinilai tidak dapat diterima tetap ada pengaruhnya.
294
   Akan tetapi, orang dapat bertanya apakah tidak tepat abad ke-18 menolaknya? Apakah pembedaan itu tidak mengakibatkan kesewenang-wenangan? Pembedaan itu dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan. Dapat dimengerti, bahwa suatu kodifikasi yang bermaksud mengatur seluruh kehidupan hukum dalam suatu undang-undang yang mencakup segalanya dengan jalan subsumsi logis yang sederhana, tidak mau tahu tentang pembedaan itu. Segera setelah analogi dan penghalusan hukum menjadi metoda-metoda penting untuk penemuan hukum dalam praktek, pembedaan itu semakin besar artinya, akan tetapi sekaligus (bersama-sama dengan itu) timbul tuntutan akan kepastian dari ketentuan-ketentuan undang-undang yang mencakup segalanya.
295
   Kepastian itu tidak dapat dicapai. Analogi dan penghalusan hukum selalu menuntut tempat lagi, dan dengan itu juga kebebasan untuk menilai bagi hakim menuntut tempatnya, suatu kebebasan yang bukan kesewenang-wenangan, melainkan suatu peluang main. Kita sudah menunjuk beberapa batas yang harus ditarik di sini, kita masih akan menunjuk yang lain-lain; kita dapat meringkas ini semua kalau kita mengatakan, bahwa putusan baru dan aturan baru, juga yang dibuat oleh hakim, harus mendapat tempat dalam sistem hukum dari bangsa tertentu dalam waktu tertentu. pagina-104
296

§ 17 Sistem terbuka dari hukum.

   Dalam paragraf 12 kita katakan bahwa tatanan hukum merupakan suatu sistem, artinya bahwa berbagai pengaturan itu berhubungan satu sama lain, yang satu. ditentukan oleh yang lain, bahwa pengaturan-pengaturan dapat dikelompok-kelompokkan secara logis, kekhususan-kekhususan dapat dikembalikan ke peraturan-peraturan umum, sampai asas-asasnya ditunjukkan.
   Akan tetapi sama sekali tidak benar, bahwa ini mengakibatkan dengan pekerjaan yang logis mumi dari sistem ini dapat disimpulkan putusan bagi setiap peristiwa yang terjadi. Ini ternyata dari pembuktian kita dan sekarang tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Tidak mungkin ada ketertutupan logis dari hukum. Orang banyak bertengkar mengenai hal itu, kebanyakan di bawah semboyan: ada atau tidak ada kekosongan dalam hukum (Lücken). Kerapkali pertengkaran itu merupakan pertengkaran kata-kata, banyak kesalahfahaman di dalamnya; yang diartikan dengan kekosongan pengertian orang tidak selalu sama.
297
Apabila orang mengingkari adanya kekosongan, karena setiap perselisihan dapat dan harus menemukan keputusannya dan hakim tidak pernah diizinkan untuk mengatakan: “ di sini ada kekosongan, saya tidak tahu”, maka orang lalu bertitik tolak dari pengertian kekosongan yang lain dari pada apabila orang membuktikan,bahwa undang-undang dapat menunjukkan kekosongan-kekosongan dan juga bahwa analogi tidak selalu menolong dan lalu hakim sendiri harus mengisi kekosongannya, seolah-olah ia pembentuk undang-undang, seperti yang dikatakan oleh ps. 1 KUHPerd. Swis. Dalam persoalan yang akhir ini yang dimaksudkan kekosongan dalam undang-undang, dalam persoalan yang pertama yang dimaksudkan kekosongan alam hukum. Akan tetapi lebih baik orang menyingkirkan pengertian “kekosongan” itu. Barang siapa menggunakan pengertian itu, maka ia sudah berpegang pada suatu prinsip yang harus ditinggalkan. Sebab ia bertitik tolak dari gagasan, bahwa dengan kegiatan intelektual saja, dengan memasang kejadiannya di bawah peraturannya dapat diketemukan keputusannya. Perbedaan hanya ada mengenai pertanyaan apakah peraturan itu hanya harus dicari dalam undang-undang ataukah juga di luarnya. Suatu pengetahuan yang mendalam mengenai analogi membuat orang mengerti apa yang tidak dapat diterima dari pendapat ini: itu adalah kegiatan intelektual yang dilakukan pada perundang-undangan yang ada, dan sekaligus dia memberi tempat untuk penilaian.
298
Penerapan analogis adalah penerapan, akan tetapi ia sekaligus menciptakan sesuatu yang baru. Apabila orang mengingat, seperti yang sudah pagina-105 kita lihat dalam paragraf sebelumnya, bahwa penafsiran dan analogi itu berbaur menjadi satu, tidak berbeda secara prinsipiel, dan selanjutnya bahwa, seperti halnya kita tunjukkan dalam paragraf 10 dan berikutnya, kita memang dapat menetapkan data-data interpretasi dan nilainya masing-masing, akan tetapi tidak dapat memberikan peraturan-peraturan yang jitu, kapan metoda ang satu harus dipakai dan kapan metoda yang lain, bahwa karenanya juga disana ada tempat untuk penilaian dari hakim sendiri, maka jelaslah bahwa pada interpretasi juga berlaku hal yang sama. Tidak dapat diragukan bahwa Burckhardt benar, jika ia berkata:
Zwischen Ergänzung eines Rechtssatzes, Ausdehnung eines gegebenen Rechtssatzes nach Analogie und Auslegung ist nur ein Unterscheid des Grades.119
299
Akan tetapi kita dapat melangkah satu langkah lebih jauh: setiap keputusan, juga keputusan yang terjadi sesuai dengan kata-katanya, adalah sekaligus penerapan dan penciptaan; selalu ada penilaian dari orang yang memutus, yang juga menetapkan penerapannya. Ini sudah dibawa serta oleh sifat penerapan sendiri. Suatu keputusan itu secara logis memaksa hanyalah apabila prepositio mayor dan minor sudah ditentukan. Minor: “A membeli” yang dipergunakan oleh hakim apabila ia menghukum untuk membayar harga pembelian, ditentukan oleh hakim sendiri. Bahwa di sini ada pembelian, itu adalah keputusan hakim dan di dalam keputusan itu telah terletak penilaian mengenai peraturan pembelian.120 Di dalam setiap penemuan hukum terdapat kegiatan logis, keterikatan kepada data-data; juga selalu ada kebebasan. Perbedaan antara yang satu dengan yang lain hanyalah perbedaan dalam tingkat.
300
   Orang yang berkeberatan terhadap kesimpulan ini hanyalah orang yang beranggapan bahwa keputusan-keputusan hanya diketemukan dengan terus-menerus menalari suatu data tertentu secara logis, yang dari situ orang maju selangkah demi selangkah. Dalam kenyataannya kita menemukan keputusan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan kemudian memberikan keputusannya. Akhirnya di dalam keputusan selalu terdapat suatu loncatan.
   Siapa yang menyadari hal ini, juga mengerti, bahwa keputusan tidak pernah merupakan deduksi dari suatu sistem yang tertutup. Meskipun demikian tidak dapat diragukan bahwa hukum merupakan suatu sistem, suatu keseluruhan dari pengaturan-pengaturan yang secara logis muat. Akan tetapi suatu sistem yang karena hal itu adalah karya manusia yang penuh kekurangan, di sana-sini tidak menunjukkan kekosongan, melainkan suatu
pagina-106sistem yang menurut sifatnya tidak selesai dan tidak dapat selesai, karena sistem itu menjadi dasar dari semua keputusan yang menambahkan sesuatu yang baru kepada sistemnya sendiri. Saya berpendapat, yang paling tepat sistem ini kita sebut sistem terbuka.
301
   Kita masih dapat menjelaskan sistem ini dari segi lain.
   Hukum adalah keseluruhan dari norma-norma, akan tetapi bukan keseluruhan dari norma-norma yang berlaku tidak tergantung pada waktu dan tempat, seperti misalnya peraturan-peraturan logika, melainkan keseluruhan dari norma-norma yang wibawanya diperoleh dari kejadian-kejadian historis tertentu (tindakan fihak perundang-undangan atau, pada hukum kebiasaan, perbuatan dari orang-orang yang tunduk kepada hukum). Selanjutnya itu adalah norma-norma yang minta diterapkan dan akhirnya tergantung kepada penerapan itu lagi. Jadi hukum adalah sistem dari norma-norma dan sistem dari perbuatan-perbuatan (perundang-undangan, yurisprudensi, pelaksanaan oleh administrasi, perbuatan-perbuatan dari yang bersangkutan yang menyesuaikan diri kepada hukum). Hukum adalah suatu “Sollen”, suatu yang seharusnya, akan tetapi suatu “yang seharusnya” yang terikat kepada suatu “Sein”, kejadian-kejadian historis. Hukum hanya berlaku dalam waktu tertentu, dalam suatu lingkungan tertentu.
302
   Sifat rangkap ini kelihatan jelas kalau kita bicara tentang sistem terbuka. Hukum tidak pernah selesai, hukum berubah sehari-hari. Tidak hanya oleh perundang-undangan, penciptaan hukum baru secara sadar, juga oleh penerapannya. Kita juga dapat mengatakan dengan cara berikut: hukum dapat dilihat “dinamis”, tidak “statis”.121 Ajaran ketertutupan logis melihat hukum sebagai sistem yang statis, yang tetap tidak berubah, selama pembentuk undang-undang tidak bertindak. Di situlah letak kesalahannya.
   Bilamana demikian halnya, maka akibatnya adalah bahwa kita harus tidak menganggap kebalikan antara pembentuk undang-undang dan hakim secara tajam berlawanan satu sama lain: yang pertama menciptakan hukum, yang kedua menegakkan hukum, yang pertama bebas, yang kedua terikat, melainkan harus melihatnya sebagai berikut: pada yang pertama kebebasan adalah primer, pada yang kedua keterikatanlah yang primer, yang pertama dalam kegiatan penciptaan hukum yang baru bagaimanapun selalu terikat kepada penegakan hukum yang lama, yang kedua dalam kegiatan penegakan bagaimanapun selalu menambahkan sesuatu yang baru kepada yang ada.
pagina-107
303
   Akan tetapi ini adalah penambahan dan tidak lebih dari itu. Akibatnya adalah, bahwa hakim tidak dapat dengan sewenang-wenang menciptakan hal-hal yang baru, melainkan harus memberi titik taut dengan hukum yang ada. Kegiatan hakim ini mengandung dalam dirinya kegiatan historis. Jika sistemnya selalu berubah, maka sistem itu hanya dapat dimengerti dalam perubahannya. Siapa yang dengan cara ini mencari hukum baru, harus selalu bertanya: bagaimanakah hukum yang lama itu sekarang jadinya, apakah saya dapat melihat garis perkembangan di dalamnya, apakah saya membangun terus pada hukum yang ada, apakah yang baru itu sesuai dengan yang lama?
   Dan sekaligus ia harus bertanya kepada dirinya sendiri: kemanakah saya pergi kalau saya melakukan langkah ini, konsekuensi-konsekuensi apakah yang terkandung di dalamnya? Dia harus mengingat sifat logis dari penilaian kita yang selalu mendorong ke konsekuensi-konsekuensi yang lebih jauh, justru karena dalam hukum selalu yang sama minta perlakuan yang sama.
304
   Barang siapa sadar betul akan sifat dari analogi, maka ia sekaligus melihat tempat interpretasi historis dan tempat interpretasi teleologis. Dia mencari garis berurutan yang teratur. dia menengok ke belakang untuk dapat melihat ke depan. Di sinilah terletak batas-batas untuk penilaian bebas pada penemuan hukum, yang saya maksudkan pada akhir dari paragrat sebelumnya.
   Kita membangun terus pada suatu sistem. Hukum mungkin menunjukkan retak-retak yang nampaknya tajam dalam perundang-undangan, terutama jika perundang-undangan ini karena meyakini jiwa revolusioner dengan sadar berusaha menciptakan hukum baru, namun hukum tetap terikat kepada apa yang oleh abad-abad yang lampau diperbuat dari padanya. Sebaliknya, betapapun terikatnya, hukum bukanlah hukum jika di dalamnya tidak ada arah, usaha untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan kita. Dengan demikian tempat interpretasi historis dan interpretasi teleologis dengan sendirinya menunjukkan dirinya.
305

§ 18 Penafsiran menurut sejarah hukum; Tradisi; Lembaganya.

   Sudah menjadi kebiasaan untuk tidak membedakan antara penafsiran undang-undang menurut sejarah terjadinya dan penafsiran menurut sejarah hukum yang sebenarnya, melainkan menggabungkan keduanya menjadi satu pagina-108dengan nama penafsiran historis.122 Pada keduanya orang melihat penyelidikan akan maksud dari pembentuk undang-undang; sejarah yang lebih tua, hukum sebelum adanya undang-undang, hanya dianggap penting karena pembentuk undang-undang dianggap menghendaki dipertahankannya hukum yang sudah ada sebelum undang-undang itu. Pendirian kita yang dipaparkan dalam paragraf-paragraf 9, 11 dan 17, adalah lain. Untuk menetapkan maksud dari pembentuk undang-undang penyelidikan mengenai hukum yang lebih tua tidak begitu penting: meskipun pembentuk undang-undang mengoper suatu formula dari seorang penulis yang lebih tua, belumlah pasti bahwa dengan berbuat begitu kepada formula itu dia memberikan arti yang seluruhnya sama dengan yang dimaksudkan oleh penulis lama itu, belum pasti bahwa dia juga mengoper apa yang diungkapkan di sekitar formula itu oleh penulis lama itu. Nilai yang kita berikan kepada penyelidikan sejarah bertumpu pada dasar yang lain; nilai itu bertitik tolak dari pandangan yang lain terhadap pekerjaan pembentuk undang-undang.
306
   Pada halaman 44 kita tunjukkan, bahwa orang melawankan metoda obyektif penafsiran dengan metoda subyektif; obyektif: undang-undang itu sendiri; subyektif: undang-undang sebagai pernyataan kehendak dari pembentuk undang-undang. Pada halaman itu kita mengatakan: tidak obyektif atau subyektif, melainkan obyektif dan subyektif. Undang-undang adalah sekaligus pernyataan kehendak dari pembentuk undang-undang dan suatu nilai tersendiri. Sekarang kita harus menambahkan kepada pernyataan itu: undang-undang adalah masih sesuatu yang lain: undang-undang adalah juga satu bagian dari kehidupan hukum. Itu adalah kehidupan yang selalu berubah-ubah dari suatu bangsa yang hanya dapat dikenal secara historis dalam bentuk-bentuk hukum. Di dalam perundang-undangan hukum difiksikan, dan kepada formula yang memfiksikannya diberikan wibawa untuk masa yang akan datang, akan tetapi penetapan formula itu bukannya penciptaan dari sesuatu yang tidak ada, melainkan suatu pertalian yang sadar atau tidak sadar dengan yang ada, suatu pembangunan lanjut pada dasar-dasar yang sudah diletakkan. Setiap undang-undang baru membawa suatu unsur baru ke dalam sistem hukum, tetapi membawanya di dalam sistem itu, yang baru itu tidak pernah pagina-109baru sepenuhnya. Kenyataan yang diungkapkan oleh Madzab Sejarah inilah yang menurut pendapat saya masih selalu tidak cukup kita sadari.
307
   Juga jika kita lihat dengan demikian penafsiran menurut sejarah hukum dan penafsiran menurut sejarah undang-undang dapat berbarengan, akan tetapi penafsiran menurut sejarah hukum lalu tidak mendapat tempat sebagai bagian dari penyelidikan kehendak pembentuk undang-undang, namun sebaliknya penafsiran menurut sejarah undang-undang menjadi sebagian dari penyelidikan jalannya perkembangan. Terutama interpretasi menurut sejarah undang-undang itu tidak penting sebagai penetapan maksud dari orang-orang yang menyandang wibawa untuk membuat undang-undang, melainkan suatu mata rantai dalam suatu rangkaian, suatu bagian dari suatu garis yang kadang-kadang membentang dari abad ke abad. Untuk hukum perdata kita tidak pernah lain; kehendak dari pembuat undang-undangnya Napoleon sebagai demikian bagi kita sama saja, akan tetapi Code-lah yang dalam sejarah kita sangat penting dan karena itu penerusan atau perubahan garis yang diperlihatkan oleh kitab undang-undang itu dapat mempunyai arti bagi kita.
308
   Akibat dari pendapat kita adalah bahwa tidak ada nilainya untuk menyandarkan diri pada sejarah saja tanpa apa-apa yang lain, tanpa menunjukkan apa yang dalam sejarah memimpin si penafsir.123 Juga tidak ada nilai setiap penyandaran kepada sejarah, di mana diangkat satu dari banyak kejadian-kejadian yang pernah terjadi dan menyodorkannya kepada si pencari hukum. Hal seperti itu dulu dilakukan orang dan sekali-kali masih dilakukan orang mengenai peraturan-peraturan Romawi atau keanehan-keanehan Jerman. Bukan kejadian yang sudah lama terjadi (anteseden) itu yang mempunyai arti, melainkan garis perkembangannya. Sudah barang tentu pada garis itu ada titik-titik yang lebih penting, yang dalam perjalanan waktu kemudian memperoleh wibawa yang lebih besar. Menunjukkan hal ini adalah tugas dari penyelidikan sejarah hukum. Titik-titik' seperti itu untuk hukum perikatan kita adalah hukum Romawi dan hukum Prancis dari abad ke-18, yaitu Pothier.
309
   Hukum perikatan kita berstruktur Romawi; untuk sebagian besar tidak lain dari pada tradisi Romawi yang dilanjutkan. Akan tetapi bukannya hukum Romawi-nya sendiri yang penting, melainkan hukum Romawi sebagaimana secara historis berpengaruh pada hukum kita. Ilmu yang lebih baru sudah menunjukkan, bahwa banyak dari yang dianggap hukum Romawi oleh abad-abad pertengahan dan para ahli Pandekt sampai akhir abad ke-19, bukanlah pagina-110 hukum Romawi. Untuk kita hal itu tidak kurang pentingnya. Justru kebalikannya, bagi kita lebih besar artinya bagaimana Pothier dan Voet melihat hukum Romawi dari pada bagaimana hukum Romawi itu menurut ajaran interpolasi yang lebih baru dan menurut penemuan-penemuan dalam kertas-kertas lama (papyrus). Betapapun tingginya nilai yang akhir itu dari sudut pandangan historis, untuk kita pada pelaksanaan hukum yang sekarang yang akhir itu adalah suatu tahap yang lebih jauh dari kita letaknya dari pada hukum Romawi sebagaimana keadaannya dalam resepsi (penerimaan kedalam hukum kita). Hukum Romawi dalam resepsi itu terdapat pada titik permulaan suatu garis yang harus kita tarik terus dan yang menjadi lebih penting semakin dekat garis itu mendekati zaman kita.
310
   Dan juga terhadap Pothier kita harus melepaskan diri dari gambaran yang kebanyakan masih melekat pada kita, yang menganggapnya sebagai komentar undang-undang, suatu komentar yang lalu mendahului undang-undang dan mempunyai wibawa yang lebih besar dari pada komentar yang lebih muda kemudian. Pothier untuk yang terakhir kali sebelum kodifikasi, memberilcan ringkasan dari seluruh hukum dalam Traites-nya. Ia lakukan itu dengan sederhana dan jelas sekali, karyanya besar pengaruhnya pada Code, terutama dalam hukum perikatan. Dengan demikian pentingnya Pothier untuk penyelidikan historis ditunjukkan, tetapi juga Pothier adalah tidak lain dari pada satu mata rantai di dalam perkembangan. Pothier bukan pembaharu hukum, melainkan orang yang melukiskan hukum menurut pandangan-pandangan tradisional. Jadi Pothier harus dilihat dalam hubungannya dengan pendahulu-pendahulu dan rekan-rekan seangkatannya; ucapan-ucapannya tidak penting karena ucapan-ucapan itu merupakan perumusan lebih lanjut dari maksud-maksud para pembuat Code, melainkan karena ucapan-ucapan itu merupakan ringkasan dari seluruh tradisi yang mendahului kodifikasi dan karenanya lebih dari sesuatu yang lain dapat menunjukkan hubungan antara yang sebelumnya dengan Code.
311
Karena itu kita akan selalu harus menggeluti Traitesnya. Di samping itu masih ada sesuatu yang lain. Kita percaya kepada karya Pothier, juga karena kualitasnyalah yang menentukan wibawanya. Apa manfaatnya bagi kita pengetahuan dari para penulis yang mendahului kodifikasi, bilamana tidak pasti, bahwa di samping fakta bahwa mreka menikmati wibawa, juga bahwa mereka berhak mendapat wibawa? Andaikata itu tidak demikian, maka akan tetap ada keragu-raguan apakah mereka melukiskan hukum dengan tepat. Karena itu penyandaran pada penulis-penulis lain, di bagian-bagian di mana Code tidak mengikuti Pothier, nilainya jauh lebih kecil. Tidaklah pasti, bahwa Code mengakui wibawa penulis-penulis yang lain itu, apakah formula yang kita ketemukan kembali pada mereka oleh pagina-111Code juga diambil dari mereka, dan kemudian kita tidak tahu apakah hukum yang mereka lukiskan memang mereka reproduksi kembali dengan tepat.124
312
Yang penting pertama-tama adalah hukumnya; bukan pendapat-pendapat para penulis. Pothier kenal hukum Prancis sebelum Code tanpa acl;1 tandingannya dan tahu seninya untuk melukiskannya. Bahwa karena itu kepada kata Pothier kita harus memberikan wibawa yang lain daripada wibawa sebagai unsur di dalam jalannya perkembangan, itu tidak saya bantah, akan tetapi ini menyinggung suatu persoalan, wibawa dari ilmu, yang masih kita simpan untuk kemudian.125 Di sini yang kita persoalkan adalah perkembangan historisnya.
313
   Suatu contoh dari peraturan undang-undang, yang hanya dapat dimengerti secara historis adalah pasal-pasal 1322 dan 1317 B.W. Yang pertama menge-nai pembatalan perjanjian karena kesesatan. Pembatalan ini dimungkinkan dalam hal kesesatan dalam kemandirian (zelfstandingheid) benda. Akan tetapi apakah “kemandirian benda” itu? Kemandirian benda itu apa pada pembelian, yang kata-katanya pada penglihatan pertama mengingatkan kepada pembelian, dan kemandirian benda itu apa pada perjanjian-perjanjian yang lain? Houwing dalam disertasinya126 yang terkenal menyelidiki perkembangan ajaran kesesatan sebelum zaman Pothier dan semasa Pothier dan dia sampai pada kesimpulan, bahwa gambaran palsu yang mendorong salah satu fihak untuk mengadakan perjanjian, baru berpengaruh atas akibat hukum dari perjanjian ini, jika orang, dengan memperhatikan segala keadaan, harus menganggap, bahwa kedua belah fihak menggantungkan perjanjian mereka kepada benarnya gambaran itu seperti kepada suatu syarat.127
314
Formula inilah yang ia anjurkan kepada hakim. Doktrin dan yurisprudensi menerimanya. Dan sekarang tidak dapat diragukan bahwa Houwing mendasarkan kesimpulan-kesimpulannya tidak hanya pada Pothier atau pada penyelidikan historis, sama sekali tidak. Dia menunjukkan bahwa Pothier meringkaskan asas yang diucapkannya secara tidak sempurna dan merumuskannya secara tidak tepat, akan tetapi tanpa penyelidikan sejarah itu Houwing tidak akan dapat menemukan kebebasan untuk mengajukan formulanya sendiri sebagai ganti formula dari undang-undang. Yang esensial dalam formula itu: relevansinya kesesatan tergantung pada gambaran fihak-fihak, ia temukan pada Pothier, dan Pothier pagina-112menghubungkannya dengan ajaran kesesatan in substantia Rowami; pada Pothier perkembangan dari kriterium obyektif ke kriterium subyektif pada pembedaan antara kesesatan dan kesesatan yang tidak relevan mencapai titik akhir sementara. Terminologi dari Code dan dari undang-undang kita tetap terminologi Romawi, sejaran memberi kita kebebasan untuk melepaskan diri dari arti harfiah kata-katanya.
315
   Yang akhir itu juga berlaku bagi kata-kata “untuk kepentingan sendiri memperjanjikan” dalam ps. 1322 B.W. Dalam Majalah Mingguan Hukum Perdata (Weekblad van Privaatrecht) tahun128 saya berusaha menunjukkan, bahwa suatu janji untuk kepentingan orang ketiga baru memberikan hak kepada orang ketiga ini, jika janji itu diikatkan pada suatu perjanjian yang sah antara fihak-fihak. Di sini sudah tentu saya harus tidak membicarakan apakah saya berhasil dalam pembuktian ini. Itu saya kutip di sini, karena dalam tulisan itu sepenuhnya diikuti metoda yang di sini dibela sebagai interpretaasi historis; penunjukan perkembangan historis dari peraturannya, permulaan yang sangat terbatas pada bangsa Romawi, yang untuk penolakan prinsipiel mengikuti pembatasan berlakunya perjanjian hanya antara fihak-fihak, perluasannya dalam abad-abad pertengahan, faktor-faktor yang di sini memperoleh pengaruh dalam hukum Prancis dari abad ke-16 sampai abad ke-18, Pothier, tetapi bukan hanya Pothier dari Traites des Obligations, tetapi juga penggarapannya lebih lanjut di tempat lain, Code dan kemudian Kitab Undang-undang Napoleon untuk negeri Belanda, sejarah undang-undang kita. Sekali lagi, bukan hanya sejarahnya yang saya pakai sebagai dasar untuk menganjurkan formula saya, akan tetapi bagaimana saya akan menemukan formula itu, dari mana saya ambil kebebasan untuk menempatkan formula saya itu dari pada kata-kata sempit dari undang-undang, jika bukan penalaran historis, penunjukan garis perkembangan undang-undang yang memberikan kebabasan itu?
316
Dalam kedua hal (ps. 1322 dan ps. 1317)—dan itu akan dapat ditambah banyak dari hukum perikatan dan tidak hanya dari situ—yang kita persoalkan adalah mengenai pengertian yang baik dari suatu peraturan yang dirumuskan tidak sempurna oleh pembentuk undang-undang. Penyelidikan historis juga dapat berguna untuk mengajukan suatu peraturan, yang menurut penyelidikan itu undang-undang tidak mengatakan apa-apa. M. Bregstein dalam disertasinya “Ongerechtvaardigde verrijking”129 (memperkaya diri yang tidak dapat dibenarkan) berusaha menunjukkan, bahwa juga hukum kita mengenal pagina-113peruntutan kembali dari memperkaya diri yang tidak beralasan. Di dalam undang-undang kita ada peraturan-peraturan khusus yang dapat dikembalikan ke suatu asas: apa yang diterima tanpa dasar, harus dikembalikan, akan tetapi asas ini tidak diucapkan dan nampaknya bertentangan dengan penunjukan sumber-sumber perikatan dalam ps. 1233 B.W. Namun demikian Bregstein memandang boleh membela asas itu dan kalau perlu tuntutan-tuntutan yang dibangun atas dasar asas itu berdasarkan tradisi. Ia menunjukkan perkembangan dari ajaran itu sampai Pothier.
317
Di dalam Code asas itu tidak diketemukan kembali. Tidak dapat diterima adanya dasar bahwa orang secara sadar mau membuangnya. Apakah sekarang berlanjutnya peraturan yang lama berdasarkan tradisi itu tidak boleh dipertahankan? Code mengoper sepenuhnya sistem yang lama itu, mengenai bagian ini ia tidak memberitakan. Apakah juga di sini tidak lebih tepat untuk menerima berlanjutnya peraturan yang lama dari pada kebiasaan meniadakannya oleh karena undang-undang membisu? Tentu ini dapat terjadi, akan tetapi juga tidak selalu diizinkan untuk dalam setiap peristiwa menalarinya a contrario. Di samping itu, seorang di antara penulis-penulis Code, barangkali yang paling berarti, yaitu Portalis, sudah menyadarinya waktu dia berkata:
A défaut de texte précis sur chaque matière un usage ancien, constant et bien établi, tient lieu de loi.130
Tradisi Prancis seperti itu baru mempunyai nilai yang sesungguhnya apabila hal itu didukung oleh tradisi Belanda kuno; Bregstein tidak melalaikan untuk menyelidikinya juga.
318
   Jadi tradisilah yang menentukan dalam hal undang-undang mencakup hukum yang ada, akan tetapi dalam usahanya untuk merumuskannya tidak berhasil dengan baik, dan tradisi pula yang menentukan dalam hal undang-undang membisu tanpa adanya maksud yang diucapkan untuk meniadakannya; di samping itu akhirnya juga tradisi yang menentukan dalam hal undang-undang karena formula yang umum memberi alasan untuk keragu-raguan dan di dalam ketentuan-ketentuan khususnya tidak selalu menuju ke arah yang sama. Pada kesesatan dan janji untuk kepentingan orang ketiga kita dapat menunjukkan garis-garis perkembangan, yang boleh dikatakan berjalan searah; dari Kriteria obyektif ke kriteria subyektif pada kesesatan, pengakuan yang makin bertambah mengenai janji untuk kepentingan orang ketiga. Akan, tetapi juga ada perkembangan-perkembangan yang garisnya berulangkali terputus, di mana aliran yang satu bertabrakan dengan yang lain. Menurut hukum kita masih merupakan problema pertengkaran yang terkenal dan yang masih belum henti-hentinya apakah kita menganut penyerahan hak milik pagina-114yang kausal atau yang abstrak, artinya apakah hak milik berpindah oleh persesuaian kehendak yang ditujukan kepada pemindahan itu ataukah apakah kecuali itu masih diperlukan dasar peralihan hak milik yang diakui oleh hokum.131 Juga di dalam problema ini tidak mungkin untuk memihak kepada salah satu fihak tanpa mengetahui perkembangan historis.
319
Akan tetapi di sini peralihan hak milik sama sekali tidak menunjukkan satu garis, justru sebaliknya, kedua garis, garis abstrak dan garis keterikatan kepada kausa, berjalan berdampingan, bertabrakan dan kadang-kadang semrawut. Dapat dimengerti bahwa para pembela dari kedua sistem menyandarkan diri pada histori, pada satu fihak van Oven132 dan saya sependapat dengan dia menganut peralihan hak milik kausal, pada lain fihak Meyers133 dan Cleveringa134 menganut yang abstrak. Dan sekarang janganlah orang berkata, bahwa justru dari pertentangan itu terbukti betapa kecilnya nilainya sejarah untuk penemuan hukum. Barang siapa bernalar demikian, maka ia bertitik tolak lagi dari gagasan, bahwa satu faktor, jadi di sini sejarah, akan menentukan penafsirannya. Seperti halnya dengan sarana penemuan hukum yang manapun sejarah tidak memutus sendiri.
320
Akan tetapi bagaimana mencari jalan apabila kata-kata dari undang-undang tidak dapat menyelesaikan persoalan, apabila peraturan-peraturan secara logis tidak sejalan, apabila kita tidak melihat bahwa di sini persoalannya adalah mengenai pertentangan antara kepastian hukum pada satu fihak, yang demi ketetapan (vastheid) ingin lari ke abstraksi, dan keadilan (kesesuaian dengan hukum/rechtmatigheid) pada lain fihak, yang tidak mau melihat dikukuhkannya apa yang terjadi secara bertentangan dengan hukum, dan (yang penting bagi kita) bahwa pertentangan itu bukan pertentangan yang sekarang baru muncul atau disebabkan oleh ketentuan-ketentuan undang-undang yang tidak jelas, melainkan pertentangan yang sama yang di bawa dari abad ke abad, jika kita tidak menginsafi bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang ini hanya dapat dimengerti apabila ketentuan-ketentuan itu menuntun kita untuk memilih suatu pendirian di dalam pertentangan yang tidak pernah berhenti itu?
321
   Apabila dengan begini peranan dari penafsiran historis sudah ditunjukkan dengan tepat, maka akibatnya adalah bahwa tidak dapat disebutkan hal-hal . tertentu yang mempunyai wibawa dan hal-hal yang lain yang kurang wibawanya. Di manapun di mana dapat ditunjukkan adanya tradisi, penafsiran pagina-115historis adalah penting, akan tetapi apakah dapat ditunjukkan adanya tradisi itu sendiri hanya dapat diputuskan oleh penyelidikan historis.
   Pendapat inilah yang dianut oleh para pengerja lanjut (bewerkers) dari penuntun (handeleiding) ini, apabila mereka pada pembicaraan peraturan-peraturan setiap kali mendahuluinya dengan penyelidikan historis. Hal itu selalu bagus sekali dilakukan oleh Planiol dalam buku pelajarannya yang terkenal.
322
   Saya sudah katakan, bahwa sejarah itu sendiri sebagai sejarah tidak pernah menentukan. Ini berlaku untuk setiap data dari penemuan hukum, akan tetapi terutama untuk penyandaran diri pada tradisi. Barang siapa memberikan wibawa kepada tradisi, maka ia melakukannya itu karena dia beranggapan, bahwa di dalam hukum itu ada kontinuitas, bahwa peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan kita selalu ada hubungannya dengan yang lama dan meneruskan yang lama itu lebih lanjut. Dari alasan itu sendiri timbul akibat, bahwa kelanjutan (voortgang) itu tidak berhenti dengan ditetapkannya undang-undang. Untuk penyelidikan historis titik inilah yang terpenting, akan tetapi juga masih ada sesuatu sesudahnya.135
323
   Segera kita membicarakan perkembangan, maka kita tidak berhak untuk berhenti di sesuatu tempat; kita harus jalan terus. Suatu penggunaan tradisi yang sepenuhnya tidak historis misalnya apabila orang dalam hukum perdata internasional membela dalil, bahwa pembentuk undang-undang kita menganut prinsip ajaran statuta dan oleh karena itu apabila undang-undang tidak mengatakan apa-apa maka kita harus memakai ajaran statuta itu sebagai pedoman.136 Hukum perdata internasional kita jelas tidak dapat dimengerti tanpa pengetahuan mengenai ajaran statuta, jadi juga tidak dapat diterapkan tanpa pengetahuan mengenai ajaran statuta, akan tetapi barang siapa berhenti pada ajaran itu dan perkembangannya sampai abad ke-19, lupa bahwa justru dalam abad ke-19 hukum perdata internasional memasuki jalur-jalur baru, bahwa dengan itu ajaran statuta untuk sebagian besar ditinggalkan, bahwa karena itu suatu keputusan yang menyandarkan diri pada ajaran statuta tidak diberi motivasi yang cukup. Ini juga dapat kita formulasikan lebih umum sebagai berikut: barang siapa menerima tradisi, sekaligus harus bernai menghadapi tradisi secara kritis.
324
   Apabila dengan begini kita melihat nilai dari sejarah untuk penemuan hukum, maka jelaslah, bahwa keberatan yang banyak kita dengar yang pagina-116mengatakan bahwa barang siapa menyandarkan diri pada sejarah mencampuradukkan penyelidikan genetis dan normatif, tidaklah kena. Kita tidak sampai pada keputusan, apa yang harus, dari penetapan mengenai menjadi bagaimana yang ada itu, kata orang. Untuk hukum ini tidak tepat. Keputusan mengenai apa yang hukum, terikat kepada peraturan-peraturan yang membantu kita sebagai data obyektif. Data ini hanya dapat dikenal secara historis. Pasti ada perbedaan antara penyelidikan sejarah hukum mumi dengan penyelidikan sejarah hukum dalam rangka penemuan hukum.
325
Yang pertama hanya mengkonstatasi saja, yang kedua menarik kesimpulan untuk masa sekarang. Yang pertama akan memisahkan lain antara penting dan tidak penting dari apa yang disajikan oleh sejumlah fakta, untuk itu ia bertanya: apa yang sekarang diketemukan kembali dari sejumlah fakta itu? Pada penyelidikan historis mumi kita berbalik untuk dari masa kini melihat ke masa lampau, pada interpretasi menurut sejarah hukum kita berbalik dua kali, yaitu pertama berbalik ke masa lampau, lalu berbalik lagi ke masa sekarang. Siapa yang tidak beranggapan dapat menggali hukum hanya dari pengetahuannya mengenai apa yang seharusnya, selalu terikat kepada histori.
326
   Sejarah hukum adalah sesuatu yang lain dari pada sejarah peraturan. Untuk penyelidikan seorang historikus hukum yang sesunguhnya sejarah peraturan tidaklah begitu penting; yang penting adalah hukum sebagimana hukum itu hidup dalam keputusan-keputusan dan tingkah-laku. Sebaliknya interpretasi menurut sejarah hukum mulai dengan peraturannya: Burgerlijk Wetboek mengambil peraturannya dari Code, Code mengambilnya dari Pothier, dan seterusnya, akan tetapi penyelidikan itu selalu mengakibatkan penyelidikan dari hukumnya sendiri, formulanya akhirnya penting sebagai kristalisasi dari hukumnya. Persoalannya adalah apa yang sekarang hukum; untuk itu kita harus tahu apa yang dulu hukum. Sejarah dari formula-formula menunjukkan kepada kita apakah ada perubahan ataukah penerusan (apakah B.W. bertautan atau tidak dengan Code), akan tetapi andaikata ada penerusan, maka yang penting adalah hukum yang dicakup di dalam formula.
327
Kita mengakui wibawa Pothier, lcarena kita percaya, bahwa dia melukiskan hukum dari zamannya secara teliti, kita pergunakan karya-karyanya untuk mengetahui apa yang hukum di Prancis sebelum Code. Akan tetapi jawaban yang lebih tepat atas pertanyaan ini diberikan oleh penyelidikan mengenai yurisprudensi. Karena itu keputusan-keputusan hakim dari masa yang dulu-dululah yang terutama penting untuk penyelidikan kita; keputusan-keputusan sebelum undang-undang, juga keputusan-keputusan yang dijatuhkan setelah undang-undang, sebab dalam keputusan-keputusan itu kita paling baik dapat menunjukkan garis tradisi. Benang itu jalan terus sampai sekarang, dengan pagina-117demikian terdapatlah hubungan antara wibawa histori dan wibawa yurisprudensi. Akan tetapi mengenai hal itu kita bicarakan dalam paragraf berikutnya nanti. Di sini lebih dulu sesuatu yang lain. Bukan hanya peraturannya, tetapi juga bukan hanya keputusan hakim, melainkan kehidupan kemasyarakatannya sendiri yang bagi seorang historikus merupakan tempat mengejawantahnya hukum dan juga perkembangan dari kehidupan kemasyarakatan itulah yang penting untuk penyandaran pada tradisi.
328
   Hukum adalah pengaturan hubungan-hubungan antara orang-orang. Pada penyandaran pada tradisi kita harus bertanya hubungan-hubungan apa yang ada pada waktu peraturannya dibuat, untuk dapat menentukan apakah yang tetap ada dalam hubungan-hubungan itu sekarang menyebabkan orang harus mengertikan peraturannya seperti dulu, atau apakah justru suatu perubahan di dalamnya juga mengandung perubahan peraturannya dalam dirinya. Bagaimana struktur ekonomis dan teknis dari masyarakat tempat berfungsinya peraturan itu dipandang dari sudut kebudayaan? Di dalam hukum kita selalu terikat kepada fakta-fakta. Dari fakta-fakta saja orang tidak pernah dapat menyimpulkan hukumnya, akan tetapi hukum tidak pernah dapat dikenal tanpa adanya fakta-fakta. Fakta dalam hubungan ini tidaklah hanya apa yang benar-benar terjadi antara fihak-fihak, melainkan juga kejadian sebagai tipe hubungan kemasyaratakan dan karena itu hubungannya sendiri. Tidak ada penyelidikan sejarah hukum tanpa penyelidikan keseluruhan di mana hukum merupakan bagian dari keseluruhan itu. Barang siapa membuka buku sejarah hukum, maka ia segera melihat bahwa sejarah hukum adalah sejarah dari lembaga-lembaga hukum yang diperintahkan kepada kita, artinya suatu sejarah dari kompleks-kompleks kejadian yang benar-benar terjadi, yang diikat menjadi satu oleh peraturan-peraturan hukum.
329
   Pengertian lembaga hukum jarang diuraikan; ahli sejarah hukum mempergunakannya, sarjana hukum dalam arti sempit tidak memperhatikannya. Walaupun demikian ia juga tidak dapat tanpa pengertian itu. Tidak ada ahli hukum tata negara yang dapat melukiskan hukum dari negara pada masa sekarang tanpa memberikan gambaran tentang kerajaan atau parlementarisme. Yang kemudian ia gambarkan itu adalah lembaga-lembaga negara. Tidak hanya mengenai hak-hak raja dan dewan perwakilan rakyat yang dipermasalahkan, juga tidak hanya prakteknya, tetapi mengenai peraturan-peraturan di dalam praktek, mengenai seluruh gejala, sebagaimana gejala itu dikuasai oleh peraturan-peraturannya. Demi suatu tujuan tertentu dibuat peraturan-peraturan; peraturan-peraturan itu mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang berhubungan satu sama lain dan sebagai kesatuan pagina-118menampilkan diri kepada pengamat kehidupan kemasyarakatan.137 Justru seperti itulah keadaannya dalam hukum perdata. Di dalam suatu lembaga oleh orang-orang diusahakan dicapai suatu tujuan tertentu dengan cara tertentu dengan pertolongan peraturan-peraturan hukum. Kita tidak dapat mengatakan bahwa hak milik itu suatu lembaga hukum; hak milik adalah suatu bentuk yang dipergunakan pada berbagai lembaga, akan tetapi milik pribadi atas tanah dan sistem sewa tanah adalah lembaga hukum.
330
Badan hukum adalah suatu kategori; perkumpulan yang berbadan hukum adalah suatu pengertian dari hukum positif kita, akan tetapi kedudukan sebagai perhimpunan (verenigingswezen) adalah suatu lembaga, yang mempunyai bagian-bagian mandirinya lagi, seperti perhimpunan vak dan perusahaan. Sejarah hukum melukiskan perkembangan kemasyarakatannya lembaga-lembaga ini, di dalam perkembangan kemasyarakatan itu sejarah hukum melihat peraturan-peraturannya. Penafsiran historis pertama-tama untuk mengerti peraturan-peraturan ini, akan tetapi peraturan-peraturan ini berubah bersama-sal6 dengan lembaga-lembaganya; tanpa lembaga-lembaga itu peraturan-peraturan tersebut tidak dapat dikenali. Karena itu penafsiran historis akan bersedia mengingat perkembangan dari lembaga-lembaga itu juga dalam kehidupan hukum dewasa ini. Atau apakah untuk persoalan-persoalan hukum perhimpunan tidak penting sekali bahwa perhimpunan vak yang sangat berkuasa dan perseroan terbatas, yang di dalam perdagangan dunia ikut menentukan, menggunakan bentuk yang pada waktu undang-undang tahun 1855 diundangkan terutama dipergunakan oleh sositet-sositet dan perkumpulan-perkumpulan filantropis (perkumpulan untuk kasih-sayang kepada sesama hidup)?
331
   Dengan demikian interpretasi historis mendorong ke interpretasi sosiologis atau interpretasi teleologis. Apabila diselidiki sehubungan dengan hubungan-hubungan yang manakah suatu peraturan dibuat dan bagaimana hubungan-hubungan itu berkembang, maka pada pertanyaan “bagaimana sekarang” akan harus dilihat sesuai dengan hubungan-hubungan dewasa ini, tujuannya, yang diusahakan dicapai sekarang. Penafsiran historis menunjukkan, bahwa meskipun peraturan pada waktunya dapat dan harus pagina-119dilihat sendiri sebagai peraturan itu, namun pada akhirnya peraturan itu hanya dapat dimengerti dalam hubungannya dengan hubungan-hubungan yang untuk hubungan-hubungan itu peraturan itu ditulis. Sosiologi melihat hubungan-hubungan itu sendiri, peraturan-peraturannya hanya dilihat. oleh sosiologi sepanjang peraturan-peraturan itu ada pengaruhnya pada hubungan-hubungan itu. Kita harus bertanya mengenai apa yang seharusnya, mengenai peraturannya, akan tetapi peraturan untuk dan di dalam hubungan itu.
   Dengan demikian kita harus meninjau berturut-turut wibawa yurisprudensi untuk penemuan hukum dan penafsirannya menurut hubungan-hubungan kemasyarakatan yang sesungguhnya. Mengenai hal ini kita bahas dalam paragraf-paragraf berikutnya.
332

§ 19 Wibawa yurisprudensi

   Belumlah begitu lama berselang adanya anggapan secara umum bahwa penilaian hakim di luar hubungan yang tunduk kepada keputusannya tidak diakui wibawanya. Sampai sekarang masih banyak yang berpendapat seperti itu. Hakim menerapkan hukum, menemukan hukum in concreto, tugasnya bukanlah membuat peraturan-peraturan yang mempunyai jangkauan umum, Seluruh tujuan dari ketatanegaraan kita, pemisahan antara kekuasaan perundang-undangan dan kekuasaan kehakiman, sistem kasasi, semuanya menutup pintu bahwa yurisprudensi sebagai demikian diakui wibawanya. . Non exemplis sed legibus judicandum est. Orang boleh menghormati penilaian HR mengenai suatu persoalan hukum, akan tetapi penghormatan itu tidak lain dari pada penghormatan yang harus diberikan kepada ucapan dari setiap orang yang mempunyai pengetahuan mengenai suatu persoalan yang ia bicarakan.
333
Setiap waktu orang dapat mengesampingkannya apabila orang yakin akan ketidaktepatanya; penilaian itu mempunyai wibawa karena bobot dari argumentasinya dan tidak karena orang yang menjadi sumber dari penilaian itu. Apabila asas ini terdapat dalam keseluruhan lembaga-lembaga hukum kita, itu adalah tujuan kodifikasi kita pula. Wibawa yurisprudensi yang lebih dulu ada harus diputuskan, arrêts de règlement dalam mana parlemen-parlemen Prancis mengundangkan bagaimana mereka selanjutnya akan memutus dalam satu atau lain persoalan, dilarang (ps. 5 C.c.). Undang-undang A.B. kita mengikuti jejak pasal 5 C.c. memerintahkan “Tiada hakim boleh memutus dalam perkara-perkara yang tunduk kepada keputusannya berdasarkan peraturan umum, disposisi atau reglemen”. (ps. 21 A.B.). pagina-120
334
   Apabila demikian tujuannya—alangkah berbedanya prakteknya. Siapa yang menghadiri pembelaan dalam perkara-perkara perdata, akan melihat, bahwa seorang pengacara tidak pernah merasa dirinya lebih kuat daripada apabila dia dapat mendasarkan diri pada putusan HR, bahwa penguraian dan memperbandingkan penafsiran hakim sudah biasa di muka sidang pengadilan. Daftar yurisprudensi itulah yang dari pembelaan itu ia anggap yang terpenting untuk keputusannya. Publikasi putusan-putusanlah yang oleh setiap sarjana hukum diikuti sebagai hal yang paling tidak dapat ditinggalkan, betapapun sempitnya waktu yang dapat disisihkan oleh pekerjaan sehari-harinya untuk studi. Mempelajari jalannya perkembangan yurisprudensi, sistematisering hasil-hasilnya, oleh ilmu juga dianggap sebagai tugasya yang paling utama. Mengikuti jejak Prancis maka yang pertama diusahakan dicapai dengan catatan-catatan di bawah putusan-putusan baik dalam Nederlandse
335
Jurisprudentie maupun dalam Weekblad van het recht. Dan mengenai yang terakhir: bandingkahlah tempat yang diduduki oleh yurisprudensi dalam buku pelajaran sekarang dengan tempat yang diduduki yurisprudensi dalam buku pelajaran 50 tahun yang lalu, orang akan menjadi sadar betapa besarnya wibawa yang diperoleh oleh yurisprudensi.138 Portalis yang melihat lebih jauh dari pada kebanyakan kodifikator memang benar waktu ia berlawanan dengan jiwa dalam zamannya mengucapkan dalil, yang sebagian telah kita kutip di atas pada halaman 108:
à défaut de texte précis sur chaque matière un usage ancien, constant et bien établi; une suite de décisions semblables; une opinion on une maxime reçue tiennent lieu de loi.139
Bahwa yurisprudensi akan mempunyai pengaruh seperti yang dimilikinya sekarang, juga dia tidak mengira.
336
Biasanya orang menempatkan ajaran preseden, hakim terikat kepada putusan-putusan sebelumnya dari hakim atasan dan dari dirinya sendiri, sebagai lembaga Anglosakson khusus berhadapan dengan sistem kontinental yang memberikan kebebasan sepenuhnya kepadanya dalam hal ini. Tidak mengherankan, bahwa setelah berkenalan dengan praktek Prancis seorang penulis Inggris membela dalil, bahwa perbedaannya hanya bertingkat (gradueel)140: hakim Inggris tidak begitu terikat seperti yang dibayangkan orang, hakim kontinental tidak begitu bebas. Yang pertama tidak perlu kita pagina-121bicarakan, yang kedua jelas tepat: ia merasa terikat dan bersikap sesuai dengan itu.
337
Bagaimanapun jarang preseden itu diucapkan secara terang-terangan oleh hakim—inilah sudah suatu perbedaan dengan pendapat-pendapat Inggris. Boleh dikatakan tidak pernah terjadi hakim dengan tegas mengatakan bahwa satu atau lain perkara ia putus begini atau begitu karena H.R. memutus seperti itu. Bahwa ia berpegang pada putusan H.R., itu tidak kurang benarnya. Akan tetapi orang harus mengetahuinya dari tempat lain; dari yurisprudensi sendiri orang hanya dapat menyimpulkan demikian, sepanjang pertimbangan-pertimbangan dan formula-formula H.R. dioper. Pengadilan yang tertinggi itu sendiri tidak pernah menyandarkan diri pada putusan-putusan sendiri sebelumnya141, tetapi orang dapat juga menemukan pengulangan (kadang-kadang harfiah) dari pertimbangan-pertimbangan dan formula-formula dari putusan-putusan yang dulu-dulu.
338
Pantas untuk lebih diperhatikan lagi dalam hal ini adalah bahwa H.R. pada masa yang akhir-akhir ini kadang-kadang mengkaji putusan yang diserang itu tidak terhadap formula undang-undang, melainkan terhadap formula yang ia buat sendiri pada kesempatan yang lebih dulu. Dalam putusan terkenal dari tahun 1919 H.R. memberikan perumusan baru mengenai perbuatan melawan hukum; ketika pada tahun 1928 ia menghadapi pertanyaan kapan suatu perbuatan dari Negara sendiri boleh dinamakan melawan hukum, maka penafsiran dari sebagian formula yang berasal dari H.R. sendiri: syarat untuk tidak berbuat yang bertentangan dengan sikap hati-hati yang layak berlaku dalam pergaulan kemasyarakatan itulah yang menyebabkan sarana kasasi tidak mempan.142 Di sini H.R. memperlakukan formulanya sendiri sepenuhnya sebagai teks undang-undang. Dengan sangat berhati-hati H.R. melangkah lebih lanjut dalam jurusan ini. Demilcianlah dalam putusannya pada tanggal 25 Februari 1932 dalam perkara penerima di Haarlem melawan Schermer, N.J. 1932, 301, W. 12405, ia memberikan penafsiran mengenai penyitaan benda antara orang-orang ketiga sama dengan penafsirannya dalam tahun 1929 mengenai hal yang sama, yang kita kutip pada halaman 77. Untuk meningkatkan kepastian hukum oleh yurisprudensi hal itu dapat mempunyai arti penting. Kepastian hukum ini jelas akan meningkat, apabila hakim lebih terang-terangan mengatakan kapan dan mengapa ia mengikuti H.R., terutama jika menjadi kebiasaannya untuk pada waktu menggunakan beberapa ketentuan seperti ps. 1338 dan 1365 B.W. menonjolkan dengan jelas dimana diketemukan pertentangan dengan itikad pagina-122baik atau dengan sikap hati-hati yang layak itu. Dalam batas-batas dari. sesuatu formula, yurisprudensi meskipun tidak dapat menunjukkan pedoman yang sepenuhnya tetap, namun bagaimanapun dapat menunjukkan suatu pedoman yang agak aman143, baik bagi yang berkepentingan maupun bagi peradilan.
339
   Bagaimanapun pertentangan antara tujuan semulanya dengan apa yang terjadi dalam praktek ini dapat diterangkan. Untuk itu kita tidak perlu menyandarkan diri pada kecenderungan manusia pada umumnya untuk mengikuti, tidak perlu bersandar pada kebutuhan yang sama-sama kita miliki untuk melawan penilaian orang-orang lain, sebabnya dapat ditunjukkan dengan lebih dekat. Suatu acara memakan waktu dan uang: siapa yang akan memulainya apabila sedari semula ia tahu akan kalah? Sekali orang tahu bagaimana hakim menilai suatu perkara, maka orang menerima pendapat itu sebagai hukum. Untuk pengacara, yang ditanya apa hukum itu, jawabnya terdapat dalam apa yang barangkali akan diputuskan oleh hakim. Dan hakim? Sikapnya terpengaruh oleh sistem banding dan kasasi. Tidak mudah dia akan memberikan putusan yang dia ketahui bahwa putusan itu akan dibatalkan dalam instansi yang lebih tinggi. Pertama-tama bukannya kesombongan, ketakutan akan hancurnya karyanya yang membuat dia menyesuaikan diri dengan H.R., melainkan terutama pertimbangan, bahwa dengan berbuat lain ia. akan dengan sia-sia membebani fihak-fihak dengan biaya. Ia juga merasa bertanggungjawab untuk mempertahankan kepastian hukum. Mengenai hal ini nanti akan saya uraikan lebih banyak. Kita masih harus berhenti sejenak pada suatu persoalan prinsipiel.
340
   Inilah persoalan yang saya maksud. Mungkin benar yang dinyatakan bahwa hakim mengakui wibawa putusan-putusan H.R., fihak pengacara dan sarjana hukum pada umumnya mengakui wibawa yurisprudensi dalam keseluruhannya, akan tetapi apakah itu juga dapat dibenarkan? Apakah bukan pencampuradukan dari pernyataan kausal (sebab-akibat) dan keharusan yuridis, , kalau kita mengakui wibawa yurisprudensi? Apakah gejala, betapapun pentingnya kalau ditinjau dari sudut pandangan sosiologis, tidak harus kita kesampingkan, bilamana kita menjumlah faktor-faktor yang seharusnya akan menjadi landasan penilaian hakim? Yurisprudensi bukan sumber hukum? Itulah permasalahannya?
341
   Siapa yang bertanya demikian itu bertitik tolak dari anggapan, bahwa dalam undang-undang terletak putusan mengenai setiap perkara dan bahwa hakim dengan ketelitian sepenuhnya dapat menyimpulkannya dari undang-pagina-123undang itu. Lalu dia menempatkan kesimpulan yang diperoleh dengan cara itu berhadapan dengan kesimpulan yang ditarik oleh hakim yang lebih dulu berdasarkan pertimbangan yang jelas keliru, dan dengan sendirinya yang pertamalah yang harus dipilih dan bukan yang terakhir. Menurut pendapat saya, semua yang kita tulis sampai sekarang, cukup untuk menunjukkan, bahwa tidak begitulah duduknya hubungan-hubungannya, bahwa bukan hanya deduksi logis dari suatu peraturan dengan isi yang tetap yang dilakukan oleh hakim pada pemutusan, melainkan bahwa itu adalah suatu keputusan yang ia ambil setelah ia menyelami serangkaian data, yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan.144
342
   Undang-undang juga harus dilihat sebagai pemfiksian suatu formula dengan wibawa untuk menguasai kehidupan hukum, kata kita di atas. Kehidupan itu dibentuk oleh keseluruhan norma-norma, sebagaimana itu menampakkan diri dalam masyarakat. Apabila kita memikirkan bahwa dalam suatu waktu tertentu suatu wibawa lain dari pada wibawa pembentuk undang-undang juga mempengaruhi kehidupan itu, nyata-nyata ikut menentukan apa yang diakui sebagai hukum, maka kita juga harus tunduk kepada wibawa itu dan harus mengakui peraturan-peraturan yang tercakup di dalamnya sebagai hukum. Kita tinggal berkewajiban untuk menunjukkan hubungan-hubungan antara wibawa ini dan wibawa pembentuk undang-undang dan menyelidiki kapan dan sampai seberapa jauh wibawa itu harus dihormati, mendesaknya ka1au mungkin jika wibawa itu terlalu meluas, akan tetapi mengingkari wibawa itu kita tidak boleh.
343
   Di dalam hukum kita tidak hanya menerima dan melukiskan apa yang terjadi. Setiap gejala harus kita tempatkan dalam keseluruhannya, kita harus bertanya apakah gejala itu dapat menyesuaikan diri dengan yang lain, kita harus mengusahakan suatu penyesuaian dan akhirnya kita harus mengkajinya dengan keinginan akan keadilan, yang menguasai keseluruhannya. Akan tetapi kita juga tidak boleh mengesampingkan kejadian historisnya dan atas dasar bahwa kejadian historis itu tidak akan muat pada gambaran yang ada pada kita mengenai apa yang seharusnya, tidak menggubrisnya karena tidak penting untuk hukum. Untuk ilmu hukum, berbeda dengan untuk sosiologi, pelukisan dari apa yang nyata-nyata terjadi tidak pernah memberikan jawaban yang tuntas atas pertanyaan apa yang berlaku sebagai hukum, akan tetapi sebaliknya apa yang menurut ilmu harus diakui sebagai hukum, tidak pernah dapat ditetapkan tanpa mempertimbangkan apa yang ditunjukkan oleh fakta-faktanya. Pengakuan yurisprudensi sebagai mempunyai wibawa disodorkan pagina-124kepada kita oleh fakta-faktanya. Wibawa yurisprudensi itu akhirnya tidak mempunyai sifat lain dari pada sifat dari wibawa undang-undang. Juga wibawa undang-undang ini bertumpu pada suatu kejadian historis. Tugas kitalah untuk menguraikan wibawa itu dan untuk menetapkannya lebih lanjut.
344
   Apabila selanjutnya ornag mengatakan, bahwa bagaimanapun yurisprudensi dalam ketatanegaraan kita bukanlah sumber hukum, maka saya menjawab, bahwa perkataan ini menimbulkan kebingungan. Karena itu sampai sekarang kata itu tidak saya pakai.
   Kata “sumber” dapat berarti baik material yang dari situ suatu hukum dapat dikenal dari sudut sejarah (hukum Romawi kita kenal dari kodifikasi Justinianus, tetapi juga dari lembaga-lembaga Gajus, dari tulisan-tulisan yang lain, inskripsi dan lain-lain) maupun, dari pengaturan-pengaturan yang mendahului suatu tertib hukum tertentu, yang dari situ secara historis hukum itu timbul (hukum perikatan Romawi dan Prancis adalah sumber dari hukum perikatan kita). Akhirnya dapat dipergunakan dalam arti wibawa yang menetapkan hukum. Dalam arti itu sekarang hanya undang-undanglah yang menjadi sumber hukum. Untuk hukum Inggris juga yurisprudensi menjadi sumber hukum, untuk hukum kita tidak.
345
Bilamana dengan itu orang beranggapan bahwa pembentukan undang-undang memperoleh wibawa tertinggi untuk hukum kita, maka tidak akan ada orang yang membantahnya. Akan tetapi tidak tepat untuk menyimpulkan wibawa saja dari wibaya yang tertinggi itu. Wibawa hakim bersifat lain dan bertingkat lebih rendah dari pada wibawa pembentuk undang-undang. Bagaimanapun wibawa itu ada. Tidak ada putusan undang-undang pada bidang hukum perdata yang tidak harus melalui mesin kehakiman untuk menjadi hukum dalam kenyataan. Mungkin dibesar-besarkan kalau seorang penulis Amerika145 mengatakan bahwa the law is at the mercy of the courts”, pernyataan ini menunjukkan wibawa mandiri dari hakim. Ada tingkat-tingkat wibawa. Penemuan hukum adalah penetapan hukum konkrit atas dasar data yang diakui mempunyai wibawa. Ke dalam data yang diakui berwibawa itu termasuk juga yurisprudensi.
346
   Hal itu menjadi jelas apabila orang memperhatikan bagaimana gurubesar Prancis Geny146 menilai pertanyaan kita. Ia mengemukakan, bahwa atas dasar keseluruhan ketatanegaraan yurisprudensi bukanlah sumber hukum dan ia mempertahankan pemyataan ini dengan keyakinan terhadap lawan-pagina-125lawannya. Akan tetapi lalu menyusul pembatasan--pembatasannya, pengakuan arti yurisprudensi, dan kesimpulannya berbunyi bahwa presiden tidak hanya mempunyaiun ascendant moral et pratique” melainkan “s'impose à son jugement (itu dari hakim) avec une force de conviction analogue à la force de la raison écrite, que connaissait notre ancien droit”. Hakim boleh tidak mengadakan penyelidikan sendiri kalau ia menghadapi yurisprudensi tetap ada une puissance sérieuse qui peut et dans une certaine mesure doit tenir en échec les incertitudes ou les caprices de la raison subjective”.147 Kalau kita harus mengikuti yurisprudensi, apa gunanya untuk masih mengatakan bahwa yurisprudensi itu bukan sumber hukum?
347
Pantas juga diberi perhatian di sini pasal 1 Kitab Undang-undang Swis. Di sini wibawa yurisprudensi diakui. Apabila hakim mencari sendiri hukumnya dalam hal undang-undang tidak mengaturnya, maka ia harus bewährter Lehre und Uebelieferung folgen”. Teks Prancisnya mengatakan Il s'inspire des solutions consacrées par la doctrine en la jurisprudence”. Wibawanya terlalu terbatas dan “folgen”, “s'inspirer de” hanya menyatakan suatu otoritas kecil, namun meskipun demikian pantas untuk diperhatikan juga bahwa kodifikasi sendiri menyebut yurisprudensi sebagai otoritas.
348
   Kita harus menentukan wibawa itu lebih lanjut.
   Pertama, apa yang mendapat wibawa itu? Tidak mungkin dapat dikatakan adanya keterikatan dalam arti penundukan ketat kepada setiap putusan. Kita memberikan wibawa kepada keputusan hakim sebagai pengakuan suatu peraturan. Sebab hanya di situlah terdapat otoritasnya di luar kasusnya. Sekarang yurisprudensi dapat menerima otoritas itu dengan pengulangan, dengan mengikuti serangkaian putusan-putusan. Maka lalu kepada tradisilah kita tunduk, tradisi yang menyatakan dirinya dalam suatu yurisprudensi yang tetap, suatu “yurisprudensi yang menetap”. Mungkin juga bahwa kepada satu putusan saja dapat diberikan wibawa. Itu mungkin akibat dari rumusan putusannya;—semakin umum bunyi rumusannya ini, semakin terlepas rumusan itu dari fakta-fakta kejadiannya, semakin jauh jangkauannya rumusan itu—itu juga mungkin akibat dari begitu meyakinkannya pernyataanya, akibat dari tekanan pada penulisannya.
349
Kita membedakan “gelegenheidsarresten”, yaitu keputusan-keputusan yang hubungannya dengan kejadiannya masih besar, dan keputusan-keputusan standar, yang menurut maksud dari H.R. sendiri jelas bertujuan untuk mengumumkan suatu pendapat tertentu. Sebagai keputusan standar misalnya dapat disebut keputusan tentang perbuatan melawan hukum yang sudah banyak dikutip, juga keputusan pagina-126mengenai pasal 1318 B.W.148 Keduanya juga karena itu mempunyai sifat keputusan standar karena keputusan-keputusan tersebut meninggalkan, yurisprudensi yang ada. Pertentangannya membuat sadar peraturan baru yang terletak di dalam keputusan. Juga mungkin bahwa tidak satu keputusan, melainkan beberapa keputusan bersama-sama, yang melengkapi satu sama lain, merumuskan satu peraturan atau sekelompok peraturan yang diakui sebagai peraturan yang berwibawa. Deretan keputusan-keputusan mengenai itikad baik dalam pasal 1338 B.W. dan perluasan dari kewajiban kontraktual di luar kata-kata dari perjanjian—sebagai akibat dari pasal 1338 B.W.—dapat disebut sebagai contoh-contoh.149
350
   Kita hanya menyebut keputusan-keputusan H.R., dapat juga bahwa keputusan-keputusan dari pengadilan rendahan memperoleh wibawa. Akan tetapi menurut sifatnya kemungkinan ini lebih kecil; di sini pada satu fihak kita mendekati wibawa dari ilmu, pada lain fihak kita mendekati wibawa dari tingkah-laku yang menurut kenyataannya diikuti dalam kehidupan bersama. Mengenai hal ini kita bicarakan dalam bab-bab berikutnya.150
   Dalam hal-hal apakah keputusan itu sekarang mempunyai wibawa? Apakah kita masih dapat menentukannya lebih jauh; sampai berapa jauhkah wibawa keputusan itu dibandingkan dengan data-data yang lain? Tanpa syarat, jelas tidak. Ada bahaya bahwa yurisprudensi kita terlalu tunduk kepada H.R. Ada rasa mau gampangnya saja dalam penerimaan yurisprudensi itu. Dan juga dalam teori menurut pendapat saya wibawa itu terlalu disanjung sesekali. Juga wibawa ini kadang-kadang harus menyisih, apabila wibawa itu mengakibatkan hasil-hasil yang tidak dapat diterima. “Meninggalkan” suatu yurisprudensi merupakan buktinya. Di sinilah terletak perbedaan yang besar dengan sistem Inggris. Di Inggris hakim menghadapi suatu preseden seperti menghadapi teks undang-undang. Pada kita wibawa preseden itu lain. Juga di Inggris dimungkinkan, bahwa dengan pergeseran perlahan-lahan—perkara yang satu hampir tidak pernah sama dengan yang lain—yurisprudensi berubah, akan tetapi tidak dapat dibayangkan, bahwa hakim secara terang-terangan meninggalkan apa yang sebelumnya dia umumkan. Pada kita hal ini dapat dan terjadi.

351
   Jadi kita masih harus meninjau lebih jauh, kapan Kita harus mengakui wibawa yurisprudensi, yaitu yurisprudensi H.R. pagina-127
   Secara pendek dikatakan di mana-mana, yang di situ kepastian hukum lebih tinggi, nilainya daripada isi dari hukum sendiri. Hukum adalah pengaturan (tatanan), kerap kali yang lebih penting adalah bahwa ada ketertiban daripada bagaimana ketertiban itu diperoleh. Sepenuhnya sama saja apakah orang berjalan sebelah kiri atau sebelah kanan, akan tetapi penting sekali bahwa mereka semua berbuat hal yang sama. Dapat diperhitungkannya hukum adalah sesuatu hal yang selalu dituntut dalam kehidupan kemasyarakatan. Dapat diperhitungkannya hukum itu adalah salah satu dari tujuan-tujuan kodifikasi, itu pula merupakan salah satu tujuan dari ajaran preseden Inggris. Keinginan akan kepastian itulah yang membawa Blackstone
sampai pada ucapannya yang terkenal—yang menjadi dasar dari seluruh ajaran ini—bahvva menjadi suatu keharusanlah untuk:to keep the scale of justice even and steady and not liable to waver with every new judge’s opinion.”151
352
Kepentingan akan kepastian hukum inilah yang memberikan nilai kepada setiap keputusan dari H.R. untuk penentuan hukum. Orang akan harus selalu mengindahkannya. Juga di sini berlaku apa yang telah saya katakan mengenai data-data dari penafsiran, itu hanyalah suatu penimbangan; suatu putusan juga tidak pernah tanpa . nilai, akan tetapi putusan itu saja sendiri juga tidak. menentukan. Namun kita boleh mengatakan, bahwa di mana keyakinan kita mengenai apa yang seharusnya, penilaian susila kita mengalami apa yang seharusnya, penilaian susila kita tidak ikut bicara dalam keputusan, maka kepastian hukumnya berat bobotnya. Pertanyaan-pertanyaan mengenai kewenangan dan bentuk memberikan suatu contoh. Adalah suatu keharusan bahwa harus ada kepastian hakim mana yang wenang, akan tetapi dari sudut moral sama saja apakah sekarang yang wenang hakim, ini atau hakim itu. Keputusan-keputusan dari H.R. mengenai hal itu wajib diikuti tanpa syarat.152 Demikian pula keputusan-keputusan mengenai pertanyaan-pertanyaan tentang bentuk: apakah suatu perkara harus diajukan dengan gugatan atau dengan surat permohonan, apakah saksi harus didengar di bawah sumpah, atau tidak, dan sebagainya.
353
   Di samping hal-hal yang kurang penting ini ada hal-hal yang jauh lebih penting. Mungkin saja, bahwa karena yurisprudensi terjadilah suatu aturan yang sedemikian besar artinya, sehingga aturan itu hanya dapat diubah oleh kekuasaan perundang-undangan. Keadaan seperti itu kita jumpai dalam hal aturan itu mengenai suatu pertanyaan yang sangat menarik pendapat umum dan membuat kelompok-kelompok besar dari bangsa kita. Saya hanya kenal pagina-128satu contoh mengenai hal itu. Wibawa yurisprudensilah153 yang menetapkan ajaran, bahwa pengakuan dan tidak hadlirnya pada sidang perceraian (verstek) tanpa adanya bukti selanjutnya membawa serta dikabulkannya tuntutan dan bahwa karena itu melalui jalan tidak langsung mengizinkan perceraian atas persetujuan masing-masing. Perubahan dari aturan itu sangat jauh akibatnya, menyinggung pertanyaan-pertanyaan yang sangat peka yang mengenai hal itu pendapat-pendapat sangat berbeda-beda, sehingga perubahan itu hanya boleh dilakukan oleh wibawa tertinggi, yaitu pembentukn undang-undang, tempat aliran-aliran yang berbeda-beda akan harus menjadi satu dalam satu wadah.
354
   Apabila dengan ini sudah ditunjukkan, betapa yurisprudensi dapat merupakan faktor yang penting bagi penemuan hukum—yang paling penting belum disebutkan dengan uraian itu. Itu terjadi apabila dengan mempercayai yurisprudensi, aturan yang diucapkan oleh yurisprudensi sebagai aturan hukum, dalam kehidupan kemasyarakatan dibangun keseluruhan lembaga-lembaga, diatur hubungan-hubungan tertentu yang luas batas kelilingnya. Bukan yurisprudensinya sendiri, melainkan yurisprudensi sebagai dasar dari dan dalam hubungannya dengan perbuatan nyata dalam hidup bersamalah yang dipakai sebagai sandaran. Penulis-penulis Jerman seperti Gierke154 menyebut wibawa yurisprudensi yang kita bicarakan di atas itu wibawa Gerichtsgebrauch (kebiasaan pengadilan); dalam kejadian-kejadian yang sekarang kita perhatikan, itu merupakan sebagian dari hukum kebiasaan.
   Hanya satu contoh. Di manapun tidak kita ketemukan undang-undang yang menyatakan dengan tegas-tegas, bahwa dimungkinkan didirikannya yayasan. Ada orang-orang yang meragukannya.
355
Namun demikian H.R. mempertahankan kemungkinan didirikannya yayasan ini terus-menerus. Atas dasar kepercayaan pada adanyan kemungkinan itu maka banyak sekali yayasan didirikan. Akan tetapi keadaan yang kacaulah bilamana yurisprudensi surut kembali ke tidak dapat didirikannya yayasan. Semua yayasan yang didirikan sesudah tahun 1838 akan kehilangan kekuatan hukumnya, untuk semua kekayaan yang dimiliki oleh yayasan tersebut akan harus ditunjuk pemiliknya, yang jelas tidak akan mudah, semua perbuatan yang telah dilakukan oleh para pengurus akan dapat dibantah. Tidak ada hakim yang memberi keputusan seperti itu, yang dengan begitu, karena reaksi atas ajarannya sendiri, merusak apa yang telah dibangun oleh generasi-generasi sebelumnya karena percaya pada ajaran itu. Tidak mengherankan bahwa pagina-129adpokat jendral Ledeboer, waktu dicoba lagi untuk memperoleh keputusan dari H.R. dalam arti yang lain, menyatakan:
Ajaran dari H.R. dapat dianggap sebagai hukum yang berlaku dan kontinuitas dari yurisprudensi dalam materi seperti ini adalah sedemikian pentingnya, sehingga sudah karena itulah saya menganggap sarana yang pertama tidak dapat diterima.155156
356
   Tanpa diketahui, dari wibawa yurisprudensi kita sampai pada wibawa perbuatan nyata dari orang-orang yang tunduk pada hukum dan wibawa hukum di dalamnya yang diakui—yang lazim disebut hukum kebiasaan. Yang satu berkaitan erat dengan yang lain. Kita harus menunda penguraian lebih lanjut tentang hal ini sampai paragraf berikutnya.
   Di sini masih ada satu catatan. Penyandaran pada yurisprudensi adalah salah satu dari data pada penemuan hukum; data itu dipakai di samping data yang lain-lain. Akan tetapi itu juga dapat menghalangi suatu data, yaitu penyandaran pada tradisi, interpretasi historis. Sebab sifatnya sama: dalam keduanya dibela kaitannya dengan yang mendahului, hanya karena yang mendahului itu adalah yang ada. Karena itu penyandaran pada tradisi, apabila itu berdiri sendiri berhadapan dengan yurisprudensi tetap, tidak mujarab.
357
Siapa yang akan mengubah suatu yurisprudensi yang ada, jika data yang lain menyokongnya, dapat menyandarkan diri pada suatu tradisi lama, yang di sampingi oleh yurisprudensi secara salah menyimpang, satu penentangan yurisprudensi atas dasar sejarah tidak ada artinya. Jika orang sekali sudah menyimpang dari suatu garis tertentu, mengapa meluruskannya kembali, apakah hanya karena orang sudah menyimpang? Juga sejarah yang terbaru adalah sejarah, orang terlalu sering melupakannya; sejarah dari suatu peraturan hukum, dalam hal undang-undangnya tetap tidak berubah, terdapat dalam yurisprudensi. Karena itu tepatlah dalil bahwa hak istimewa dari orang yang menyewakan juga berlaku atas persediaan-persediaan toko ditolak oleh pagina-130 Rechtbank den Haag, ketika dalil itu157, bertentangan dengan yurisprudensi yang menetap, hanya dibela dengan bersandar pada sejarah sebelum Code.158
358

§ 20 Wibawa Ilmu

   Pasal 1 dari Kitab Undang-undang Swis dalam teks bahasa Prancisnya menempatkan pada satu baris les solutions consacrées par la jurisprudence et la doctrine, teks bahasa Jermannya mengatakan “bewährter Lehre” dan juga Portalis sudah menyebut di tempat yang dikutip, di samping rangkaian tidak terputus dari keputusan-keputusan yang sama, “ opinion reçue” sebagai sumber. Bagi kita karena itu Jalu timbul pertanyaan: apakah kita juga harus mengakui adanya wibawa pada ilmu.159
359
   Jawab yang bersifat mengingkari (negatif) nampaknya paling mudah. Sebab ilmu berusaha mencapai pengetahuan mengenai hukum, ingin menetapkan apa hukum itu, bagaimana mungkin pada gilirannya penetapan ini akan dapat berlaku sebagai hukum? Namun soalnya tidak sesederhana itu. Ilmu—dan sekarang kita berbicara secara umum, tidak hanya tentang ilmu hukum—tidak pernah hanya reproduksi, melainkan selalu juga pembuatan sesuatu yang baru. Yang baru itu dapat atau tidak dapat diterima oleh rekan-rekan sejawat dari orang yang mengutarakannya. Apabila itu terjadi, maka dalam buku-buku pelajaran hal itu dikatakan bahwa ilmu menunjukkan bahwa sesuatu itu begini atau begitu. Ilmu lalu tidak lagi merupakan keyakinan seseorang, melainkan merupakan gejala kemasyarakatan: suatu rangkuman pendapat-pendapat dari orang-orang yang diakui sebagai otoritas dalam kurun waktu tertentu. Ilmu mendapat wibawa dalam arti ini: bahwa masyarakat mengikutinya dan menerimanya tanpa ragu-ragu. Siapa yang tidak mempunyai bakat atau waktu untuk mengkajinya, mengopernya (mengambil alihnya).
360
   Bagi ilmu hukum hal ini mempunyai suatu arti khusus. Tidak demikian halnya sepanjang ilmu hukuman mencari ungkapan-ungkapan historis atau hubungan-hubungan kemasyarakatan, maka dalam hal itu bagi ilmu hukum berlaku apa yang berlaku bagi penyelidikan historis atau sosiologis pada umumnya. Akan tetapi yang kita maksudkan lagi dengan ilmu hukum di sini adalah ilmu hukum dalam arti yang lebih sempit, yang melukiskan hukum pagina-131yang ada. Dalam menggabungkan (merangkaikan) peraturan-peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan perundang-undangan dan yang lain-lain lagi yang mungkin ia jadikan bahan, ilmu hukum ini menetapkan aturan-aturan yang ia ajukan sebagai hukum. Ilmu hukum berbicara in abstracto seperti pembentuk undang-undang, dan tidak berbicara in concreto seperti hakim; akan tetapi ilmu hukum membayangkan hubungan-hubungannya selalu lebih dikonkritkan dan mencari jalannya di dalamnya. Ilmu hukum menunjukkan pedomannya yang harus diikuti oleh hakim dalam perkara-perkara yang digambarkan, mencoba untuk memberikan penetapan lebih lanjut dalam hal data yang ada tidak cukup jelas. Semua metoda yang kita lukiskan dalam buku ini diterapkan untuk kegiatannya itu oleh ilmu hukum.
361
Berdasarkan metode-metode itu maka pelukisan oleh ilmu hukum itu sekaligus merupakan penciptaan. Itu adalah pengolahan dari data-data—terikat kepada data-data itu—akan tetapi dalam pengolahan itu terdapat yang baru. Obyeknya, yaitu hukum yang ada di luar ilmu hukum berubah dalam kegiatan ilmu hukum. Tidak dapat diragukan hukum terus-menerus mengalami pengaruh dari ilmu. Hakim mencari penjelasan pada ilmu. Apa yang ia tambahkan sebagai hukum baru kepada sistem, kebanyakan bukan penemuannya sendiri, melainkan sudah dipersiapkan di dalam ilmu pengetahuan. “Ajaran yang lazim” merupakan unsur penting bagi setiap orang yang ingin mengenal hukum; tidak ada buku yuridis yang tidak mengindahkan, baik dalam hal kita menerapkan istilah “ ajaran” itu pada doktrin dan yurisprudensi bersama-sama, maupun dalam hal kita menggunakannya sebagai lawan dari yurisprudensi dan sebagai penunjukan dari pendapat yang paling bersesuaian antara para penulis.
362
   Sampai sejauh ini ilmu jelas mempunyai wibawa. Tidak ada orang yang dapat melepaskan diri dari wibawa ilmu. Siapa yang berusaha melepaskan diri daripadanya akan tersisih sebagai orang yang berlagak pandai dan berlagak tahu berdiri di luar perkembangan jiwa-jiwa. Namun bukan ini yang kita maksudkan, ketika kita pada permulaan paragraf ini mengajukan pertanyaan mengenai wibawa dari ilmu. Di sana yang kita maksudkan bukannya: apakah orang harus mengindahkan wibawa dari ilmu, melainkan apakah orang harus tunduk kepadanya? Lebih khusus lagi: apakah hakim, yang dihadapkan pada suatu perkara untuk ia putus, tanpa mengkajinya sendiri lebih lanjut data yang diolah oleh ilmu boleh mendasarkan keputusannya pada hasil pengolahan oleh ilmu itu dan apakah ia harus mengikutinya, juga apabila hasil ini baginya pribadi tampak tidak tepat?
363
   Kalau pertanyaan itu diajukan seperti itu, maka jawabnya harus berbunyi “tidak” lagi. Setiap penilaian ilmiah, justru karena itu adalah penilaian pagina-132ilmiah, terbuka untuk kritik dari ilmu yang timbul kemudian.160 Ditinjau dari sudut ilmu, tidak ada pernyataan yang mempunyai otoritas tanpa syarat, betapapun tingginya nilai yang dapat diberikan kepada orang yang membela pernyataan itu. Ilmu selalu kritis. Dan hakim karena jabatannya terpanggil untuk melakukan penyelidikan ilmiah. Jus curia novit.
364
   Akan tetapi apakah kewajiban untuk bersikap kritis itu tidak juga berlaku terhadap- yurisprudensi? Di manakah letak perbedaannya? Di sini: bahwa yurisprudensi dapat mewajibkan ajarannya, yang hal ini tidak dapat dilakukan oleh ilmu. Perundang-undangan dan yurisprudensi mempunyai wibawa, karena mereka mempunyai kekuasaan; ilmu hanya mempunyai wibawa, dan oleh karena itu wibawanya bersifat lain. Ilmu menyediakan diri kepada orang yang mencari hukum sebagai seorang penasehat, yang sebaiknya orang minta pertimbangannya sebelum ia memasuki daerah asing, tidak sebagai orang yang memerintah, seperti pembentuk undang-undang, atau orang yang dengan keputusannya dapat meniadakan apa yang sudah dilakukan, seperti hakim, yang tertinggi. Kekuasaan nyata dari hakim, kedudukannya dalam hidup bersama sebagai penunjuk tertinggi dari hukum itulah yang membuat wibawanya menjadi wibawa lain daripada wibawa dari orang yang memberi penyuluhan. Pada ilmu kedudukan seperti itu tidak ada.
365
   Wibawa dari ilmu pengetahuan tetap bersifat lain daripada wibawa yurisprudensi. S'inspirer des solutions consacrées par la doctrine”menegaskan hubungan antara ilmu dengan penemuan hukum dengan tepat; untuk hubungan antara keputusan hakim dengan penemuan hukum istilah “s'inspirer de” adalah terlalu lemah. Dimungkinkan adanya kewajiban untuk patuh kepada keputusan hakim, yang kepada ilmu tidak ada kewajiban patuh itu.. Mengikuti suatu penilaian ilmiah yang bertentangan dengan keyakinannya sendiri adalah sama sekali tidak ilmiah.
366
   Namun demikian penilaian ilmiah seperti itu di bidang tertentu diikuti tanpa penyelidikan sendiri dan jika ini juga terjadi menurut pendapat saya adalah tepat. Akan tetapi ini terletak dalam sifat dari bidang ini. Sering hakim dalam keputusan-keputusan perdatanya harus memasuki bidang internasional, kita lihat bahwa ilmu memperoleh kekuasaan yang lain yang lebih tinggi daripada kekuasaan yang diperoleh wibawa ilmu di dalam hukum nasional. Itu terjadi pada bidang hukum perdata internasional, segera setelah kita tidak lagi berhubungan dengan penerapan ketentuan-ketentuan yang langka mengenai hukum perdata internasional ini. Itu juga terjadi apabila sesekali hakim harus pagina-133menerapkan peraturan-peraturan hukum antar bangsa. Kita tidak melihat gejala ini pada H.R.; sistem kasasi membawa akibat bahwa H.R. melihat tugasnya dalam soal ini sangat terbatas pada penetapan arti dari ketentuan-ketentuan undang-undang yang termaksud. Tetapi pada peradilan rendahan berulang kali kita temukan, bahwa satu atau lain peraturan diambil dari ilmu. Apa yang diajarkan oleh ilmu ini menjadi dasar keputusan hakim.
367
Suatu contoh baik daripadanya, dengan penolakan tegas-tegas ajaran yang oleh doktrin dari zaman terjadinya undang-undang diajukan sebagai interpretasi historis,161 diberikan oleh keputusan Rechtbank Maastricht, tanggal 20 Januari 1921.162 Ajaran, demikian dikatakan di situ, yang memisah harta warisan dalam benda bergerak dan benda tidak bergerak dan mewariskannya menurut hukum yang berbeda, ditolak oleh ilmu sebagai tidak tepat; ajaran itu hanya harus diterima, apabila undang-undang memaksakan untuk diperbuat begitu, akan tetapi undang-undang memberi kebebasan kepada si penafsir untuk “mengikuti ilmu”. Dan ilmu pada dewasa ini mengharuskan diperlakukannya harta warisan sebagai satu kesatuan. Sangat menyolok, bahwa orang seperti pokrol jendral Polis, yang kesimpulan-kesimpulannya jarang disampingi oleh HR, sudah dalam tahun 1907 mengenai persoalan hukum yang sama menilai bahwa tidak ada teks undang-undang yang memutuskan persoalan itu dan oleh karenanya “doktrin-lah yang harus memutuskan”.163 Kepada ucapannya itu ia lalu menambahkan, bahwa “receptissimi juris”-lah, yang dan sebagainya. Apakah jus receptum juris ini lain daripada ajaran yang telah teruji dari pasal 1 Kitab Undang-undang Swis?
368
   Akan tetapi bagaimana kita menerangkan, bahwa di sini ilmu mempunyai arti, yang tidak dimilikinya di tempat lain? Berbagai-bagai unsur bekerja sama di sini. Pertama-tama unsur negatif: pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim; suatu ucapan dari pembentuk undang-undang yang tidak memberikan tempat kepada wibawa dari ilmu, tidak ada. Lalu, hakim merasa bahwa pengetahuannya di sini kerap kali tidak cukup. Di dalam hukum nasional ia boleh dan harus berkata, bahwa ia sama baik “mengetahuinya” atau setidak-tidaknya seharusnya mengetahui seperti penulis yang mana pun, di dalam hukum internasional ia menyadari, bahwa pagina-134mempelajari ilmu sudah menuntut banyak daripadanya untuk memberikan penilaiannya sendiri ia jarang merasa wenang. Akan tetapi ini adalah keterangan-keterangan yang secara psikologis membuat dapat diterima, mengapa hakim bersandar pada ilmu apabila ia harus menilai persoalan-persoalan yang bersifat internasional. Keterangan-keterangan ini tidak membenarkan, bahwa dia juga boleh berbuat demikian.
369
   Mengapa justru ilmu diakui mempunyai wibawa?
   Jawabnya harus berbunyi: karena ilmu adalah satu-satunya yang membuat peraturan-peraturan pada bidang ini. Berulang kali kita menyatakan, bahwa tugas hakim adalah mencari hukum in concreto; akan tetapi karena hukum itu menata masyarakat, maka ada kebutuhan untuk menyimpulkan keputusannya dari peraturannya atau setidak-tidaknya dapat mengembalikan keputusan itu kepada suatu peraturan. Pada hukum perdata internasional atau hukum antar bangsa, sepanjang sistem hukum dari negaranya sendiri memberi kebebasan kepadanya, maka masyarakat internasional-lah yang ia beri keputusan. Satu-satunya wibawa yang di dalam masyarakat internasional diakui adalah wibawa. ilmu. Pengakuan itu pada dasarnya bertumpu pada dasar yang tidak lain daripada dasar yang di mana-mana dan pada setiap bidang menyebabkan diikutinya ilmu. Akan tetapi dalam hal tidak adanya wibawa lain, maka dengan sendirinya wibawa ini di sini memperoleh otoritas yang lebih tinggi, yang menuntut pematuhan. Sebab tanpa otoritas itu tidak ada ketertiban, tidak ada peraturan.
370
   Menurut sifatnya hukum menuntut wibawa. Apabila tidak ada wibawa yang dihormati dalam organisasi masyarakat seperti wibawa dari pembentuk undang-undang atau hakim, maka penggambaran dari apa yang ada, ilmu, membuatnya menjadi wibawa untuk apa yang harus. Sifat dari ilmu, yang sekaligus penggambaran dan perintah untuk membuat peraturan-peraturan, memungkinkannya.
   Untuk hukum Romawi yang meresap dalam hukum sendiri, yang dihormati pada bangsa-bangsa di bawah wibawa negara yang berbeda dan tatanan hukum yang berlainan, ilmu mempunyai otoritas yang sama sebelum kodifikasi. Ilmu itu bersifat internasional dan diterima secara internasional. Fakta yang begitu mengherankan bagi kita, bahwa hakim-hakim kita mengakui wibawa doktrin Italia dan Prancis–dan wibawa yang lebih besar daripada wibawa doktrin kita sendiri sekarang—, di sinilah diketemukan keterangannya. Sebaliknya penulis-penulis kita mempunyai otoritas juga di Prancis. Kodifikasi mengakhiri ini semua. Akan tetapi di bidang internasional justru masih demikianlah keadaannya dan akan tetap demikian itu, selama juga di situ tidak ada pembentuk undang-undang yang tampil atau selama
pagina-135keputusan-keputusan hakim dari suatu pengadilan, yang keputusan-keputusannya dapat dijadikan kenyataan, diakui wibawanya.
371
   Hanya dengan mengikuti ilmu ini hakim dapat memberikan kepada keputusannya tempat yang dibutuhkannya dalam sistem hukum. Tanpa itu keputusan-keputusan itu bergantung di awang-awang, tetap terlalu subyektif dan tidak meyakinkan, meskipun keputusan itu dapat dilaksanakan. Dan penilaian hakim menuntut dibangkitkannya keyakinan yang sedemikian itulah. Hakim yang dengan seenaknya saja mengesampingkan ilmu di bidang internasional, berbuat acak-acakan.
   Jadi di sini “mengikuti” ajaran memang mengandung suatu unsur kepatuhan dalam dirinya, yang di tempat lain tidak ada. Bahwa dengan itu tidak berarti, bahwa keputusannya in concreto semata-mata didiktekan oleh ilmu, dapat disimpulkan dari semua yang saya uraikan sebelumnya. Keputusan juga tidak didiktekan oleh undang-undang.
372

§ 21 Arti fakta; Hukum kebiasaan; kebiasaan dan undang-undang pada umumnya.

   Hukum diketemukan dengan menetapkan apa yang berdasarkan peraturan seharusnya berlaku dalam suatu hubungan nyata tertentu. Apakah peraturan itu juga dapat disimpulkan dari apa yang dalam hubungan-hubungan nyata sejenis dilakukan oleh orang-orang lain dan oleh orang-orang ini dianggap sebagai layak?
   Apakah kejadian nyata dalam masyarakat, asalkan kejadian itu mendahului hubungan yang diajukan untuk dinilai dan yang karena pengulangan dan luasnya dengan sendirinya menyodorkan dirinya sebagai penting kepada si penilai, ikut menetapkan penilaian mengenai apa yang menurut hukum adalah seharusnya? Itulah pertanyaannya yang sudah beberapa kali kita singgung dan yang sekarang harus kita garap.
373
   Biasanya orang merumuskan pertanyaan yang dimaksudkan di sini sebagai berikut: apakah kebiasaan itu menimbulkan hukum.164 Terhadap rumusan ini timbul keberatan-keberatan. Sebab rumusan itu mengandung dua atau sebenarnya tiga pertanyaan, yang menurut penilaian kita harus dipisah: pertama pertanyaan yang sudah kita nyatakan di atas, kemudian pertanyaan: apakah penilaian yang dulu diucapkan oleh orang-orang yang menyandang pagina-136wibawa mengikat hakim yang kemudian harus mengadili hubungan-hubungan sejenis, dan kemudian: apakah tradisi seperti yang menampakkan diri dalam hubungan itu dan juga dalam perluasan dari peraturan-peraturan itu di bidang lain, mengikat? Pertanyaan mengenai kekuatan mengikatnya hukum kebiasaan mengandung baik pertanyaan mengenai wibawa yurisprudensi dan ilmu maupun pertanyaan mengenai nilai dari tradisi; pertanyaan itu menjadi pertanyaan mengenai apa yang disebut orang hukum tidak tertulis pada umumnya.
374
   Kita sudah menggarap wibawa dari yurisprudensi dan ilmu, juga sudah membicarakan arti tradisi dalam sistem yang sekarang dan akan memberikan satu catatan di bawah ini mengenai hubungan dari semua ini dengan hukum kebiasaan yang sesungguhnya. Sekarang kita membatasi diri pada keterikatan kepada perbuatan nyata.165
   Juga di sini nampaknya sederhana. Pasal 15 A.B. (Ketentuan-ketentuan Umum Perundang-undangan mengatur: “Kebiasaan tidak menimbulkan hukum, kecuali apabila undang-undang menunjuk kepada kebiasaan” dan pasal 5 A.B. Nederland mengaitkan dirinya dengan pasal 15 A.B.: “Suatu undang-undang hanya dapat kehilangan kekuatannya untuk seluruhnya atau untuk sebagian oleh suatu undang-undang yang lahir kemudian (jadi tidak oleh kebiasaan).
375
Jadi tidak ada hukum kebiasaan. Di mana undang-undang menunjuk kepada kebiasaan, maka undang-undanglah yang menetapkan akibat-akibat tertentu bagi perbuatan-perbuatan tertentu; undang-undanglah yang mengikat dan bukan kebiasaan.
   Dalam pada itu, sesederhana itu hal ini juga tidak. Kita sudah berulangkali menguraikan apa yang dapat dikatakan terhadap ajaran yang mengembalikan semua hukum ke undang-undang. Itu tidak akan kita ulang di sini. Sifat yurisprudensi sebagai keputusan, sifat ilmu hukum sebagai penilaian mengenai isi hukum, jadi mengenai apa yang seharusnya itulah yang menentukan keduanya ini sebagai faktor-faktor yang mempunyai wibawa bagi hukum. Demikian pula penginsafan mendalam tentang sifat peraturan hukum menunjukkan kepada kita, bahwa kejadian nyata ikut menentukan dan harus, menentukan isi dari hukum.
376
   Hukum adalah rangkaian peraturan yang berlaku. Berlaku ini dalam hukum mempunyai arti rangkap. Orang menyebut hukum yang berlaku sebagai peraturan-peraturan yang diikuti, tetapi juga sebagai peraturan-peraturan yang diikuti. Andaikata yang menentukan adalah soal diikutinya pagina-137maka kebiasaan dan hukum adalah sinonim. Setiap orang yang mengakui wibawa dari undang-undang, menolak pendapat ini. Sebab undang-undang menunjukkan kepadanya apa yang seharusnya, juga meskipun orang mungkin berbuat lain. Akan tetapi jika hukum tidak semata-mata tergantung pada wibawa yang menguasai hukum itu. Menurut sifatnya hukum minta dijadikan kenyataan; apabila suatu peraturan sama sekali tidak dijadikan kenyataan, maka pada suatu saat tertentu peraturan itu bukan lagi hukum.
377
   Selalu ada tegangan antara peraturan hukumnya dengan kejadian nyata dalam kehidupan bersama. Andaikata kejadian nyata itu sepenuhnya sesuai dengan peraturan, maka akan tidak ada artinya untuk memaksakannya: mengapa mengharuskan apa yang sudah dilakukan oleh setiap orang? Akan tetapi sebaliknya, apabila kejadian nyatanya terus-menerus bertentangan secara terbuka dengan peraturannya, maka peraturannya kehilangan wibawa, peraturan itu bukan lagi hukum. Hukum adalah serangkaian pengaturan yang diwajibkan; hukum sekaligus adalah keseluruhan peraturan hidup yang diikuti. Sifat rangkapnya, seperti halnya dalam istilah “berlaku” juga terdapat dalam istilah “peraturan”.
378
Peraturan hukum sama nilainya dengan “rechtsvoorschrift”, “lazimnya” sebaliknya sinonim dengan “biasanya”. Dan tidak hanya istilah-istilah ini yang mempunyai arti rangkap, ada lebih banyak lagi istilah dengan mana bahasa hukum menegaskan sifat aneh dari hukum ini. Ingat saja kepada istilah normal (apa yang sesuai dengan norma, tetapi juga apa yang biasanya terjadi), kepada ketertiban hukum, ketertiban (verordening) dan sebagainya. Untuk banyak pertanyaan sulit dari filsafat hukum—saya tidak mengatakan “penyelesaian”, sebab itu justru tidak ada orang akan memperoleh pengertian yang mendalam, andaikata lebih banyak diperhatikan sifat rangkap dari hukum. Hukum sekaligus masuk alam kenyataan dan alam yang seyogyanya alam “Sollen” dan alam “Sein”, seperti orang Jerman menyebutnya.166
379
   Di sini ada tegangan, yang disadari, tetapi tidak dapat dihapuskan. Ini lebih-lebih tidak dapat, karena keduanya berhak atas berlakunya (gelding) sepenuhnya. Itulah sebabnya kita berulang kali melihat, bahwa yang satu atau yang lain dikorbankan, atau undang-undang dibawahkan oleh kebiasaan, seperti ahli-ahli sosiologi cenderung melakukannya, atau—khas yuridis, setidak-tidaknya dalam abad ke-19 dan dalam zaman kita—kebiasaan dikesampingkan oleh undang-undang. Ini jelas kelihatan pada Burchkhardt yang sudah banyak dikutip. Hukum kebiasaan menurut dia tidak dapat pagina-138berdampingan dengan undang-undang.
380
Maka terjadilah pertentangan yang tidak dapat dipecahkan. Hukum kebiasaan yang tidak memperoleh kekuatannya dari undang-undang sendiri, tidak muat dalam organisasi dari negara, yang kepada orang-orang tertentu memberikan kekuasaan mutlak untuk menetapkan undang-undang yang merupakan peraturan-peraturan hukum yang mengikat.
Das Gewohnheitsrecht ist dem Historiker der die Tatsachen nachgfeht, ein Schmaus, aber ein Greuel dem Dogmatiker, der mit dem Recht, Gewohnheitsrecht zu bilden, in seinem System nichts anfangen kann. Die beiden Geltungs-gründe Gesetz und Gewohnheit schliessen sich aus.167
381
Ini tidak dapat dibantah: undang-undang tidak memberikan tempat untuk wibawa lain di sampingnya. Akan tetapi apa akibat yang langsung terjadi? Pernyataan:
wir leugnen nicht, dass Gewohnheitsrecht vorkommt.
Akan tetapi kalau ada hukum kebiasaan, apakah dogmatikus yang tidak dapat berbuat apa-apa dengan itu, lalu tidak dipersalahkan? Apakah juga dia tidak harus menerima faktanya dan apakah pengakuan, bahwa seharusnya tidak ada hukum di luar undang-undang dan seharusnya tidak ada hukum yang bertentangan dengan undang-undang, akan tetapi meskipun demikian ada, namun bahwa di dalam sistemnya dia tidak tahu tempatnya, tidak mematikan untuk sistem itu?
382
   Di sini ada dua kekuatan yang saling berhadapan dan menurut pendapat saya juga tidak ada penyelesaian, yang untuk yang satu menunjukkan tempat di dalam sistem dari yang lain. Akan tetapi pertentangan ini dapat diterima,, kalau kita menyadari, bahwa di dalam keputusan konkrit kita dapat mencapai satu keputusan, yang kadang-kadang mempertahankan undang-undang terhadap kebiasaan, dan kadang-kadang menjamin dimenangkannya kebiasaan terhadap undang-undang. Ini tidak tertahankan hanya bagi orang yang beranggapan, bahwa setiap keputusan dalam hukum harus dapat disimpulkan secara logis dari suatu kesatuan tertutup peraturan-peraturan. Andaikata itu tepat, maka hanya akan ada satu sumber hukum saja.
383
Uraian kita seluruhnya akan membuktikan ketidaktepatan dalil ini. Apabila hukum itu suatu sistem terbuka dari peraturan-peraturan yang kita usahakan mengertinya selogis mungkin, akan tetapi tidak pernah menguasainya secara logis, yang sehari-pagina-139harinya bertukar dengan bahan yang mengalir ke dalamnya yang selalu baru, maka tidaklah sulit untuk membuarkan adanya perpecahan, yang dibuat oleh pengakuan hukum kebiasaan dalam sistem yang dibangun dari sudut undang-undang, maka sebaliknya penerimaan dari fakta-faktanya sepenuhnya muat dalam apa yang dikenal orang sebagai sifat dari hukum;
384
   Dalam pada itu, jiwa manusia selalu mempunyai kecenderungan untuk mencari satu penyelesaian yang mulus dari problema-problema, dan oleh karena itu tidaklah mengherankan, bahwa orang berulang kali berusaha untuk menghilangkan pertentangan yang harus mereka akui itu. Itu tidak pernah berhasil dan menurut pendapat saya juga tidak akan pernah berhasil. Usaha-usaha itu mengakibatkan kaburnya pertentangannya yang tidak dapat dihilangkan; dua yang paling terkenal boleh kita sebut di sini. Pertama putusan, yang di dalam Pandecten dikenal sebagai putusan Julianus.168 Undang-undang dan kebiasaan menurut putusan ini adalah sama nilainya, kedua-duanya adalah dasar hukum, karena di dalam keduanya rakyat menyatakan kehendaknya (kehendak rakyat menampakkan diri) dan tidak peduli apakah rakyat menyatakan kehendaknya itu dengan jalan pemungutan suara ataukah dengan “rebus ipsis et factis”. Putusan ini bertumpu pada anggapan, bahwa dalam kebiasaan terletak pernyataan kehendak yang sadar dari rakyat mengenai apa yang seharusnya hukum, suatu anggapan yang bertentangan dengan kenyataan, karena sesungguhnya bukannya perbuatan itu dilakukan karena itu hukum, melainkan kesadaran mengenai hukum timbul dengan dan oleh perbuatan.
Als Nichhtrecht beginnt die Norm ihr Leben; in der Uebung erprobt sie ihre Berechtigung und erobert das Bewustsein der Gemeinschaft,
kata Regelsberger.169
385
Apabila di sini hukum kebiasaan menjadi perundang-undangan yang tidak langsung, maka bagi tokoh-tokoh dari madzab Historis undang-undang menjadi pernyataan tidak langsung dari jiwa rakyat, yang langsung menyatakan diri dalam kebiasaan. Dengan tidak menghiraukan keberatan-keberatan terhadap ajaran kehendak rakyat pada umumnya bagaimana undang-undang dapat mempunyai arti sendiri apabila undang-undang itu tidak lain daripada rumusan dari apa yang juga langsung terbukti sebagai hukum dalam perbuatan itu? Salah satu dari dua: atau rumusan itu tidak membawa sesuatu yang baru, akan tetapi lalu undang-undang juga tidak mempunyai nilai yang mandiri di samping kebiasaan, atau orang melakukan konsesi-konsesi, seperti Puchtabersama-sama dengan von Savigny sebagai pemimpin dari madzab Sejarah—dengan jalan mengakui, pagina-140bahwa undang-undang itu sesekali menolong suatu pendapat yang belum menjadi keyakinan tetap melangkahi ambang pintu hukum,170 akan tetapi lalu ajaran bahwa hukum terletak dalam jiwa rakyat dan hanya diucapkan, sudah ditinggalkan.
386

§ 22 Arti fakta; Hukum kebesiaan; Kebesiaan dalam hukum perdata ta Belanda; Khususnya berhadapan dengan hukum pelengkap.

   Di dalam setiap ketertiban hukum, hukum kebiasaan berdiri di samping hukum yang berdasar pada wibawa. Akan tetapi dengan ucapan ini kita tidak maju banyak, batas-batas antara keduanya dapat ditarik berlainan sekali; setiap ketertiban hukum akan menetapkan batas-batas itu menurut caranya sendiri. Juga di sini kita harus waspada terhadap pandangan-pandangan yang kabur. Untuk hukum perdata dalam zaman kita, kita harus memberikan gambaran lebih jauh lagi mengenai arti dari kebiasaan.
387
   Pantas untuk segera diperhatikan, bahwa di sini kebiasaan menempati tempat yang sama sekali lain daripada dalam hukum tata negara pada dewasa ini. Terutama hukum tata negaralah yang menyebabkan dilontarkannya kembali pertanyaan mengenai kekuatan mengikatnya kejadian nyata. Siapa yang ingin meyakinkan dirinya mengenai hal itu bacalah uraian yang lazimnya dianggap jelas mengenai persoalan kita yang diberikan oleh Struyken dalam “Staatsrecht”171nya. Di situ pengakuan kebiasaan bertalian dengan dasar-dasarnya sendiri dari lembaga-lembaga negara kita (parlementarisme), kebiasaan bertabrakan dengan ketentuan-ketentuan undang-undang yang sangat tegas dan memaksa. Pada bidang hukum perdata, setidak-tidaknya kelihatannya dari luar, kebanyakan orang tahu memasukkan kebiasaan ke dalam sistem undang-undang, hanya sesekali saja kebiasaan lolos dari tembok yang melingkari sistem itu.
388
   Apa sebabnya?
   Ada dua dasar dari perbedaan ini yang dapat disebut. Pertama-tama ini: setiap persoalan mengenai hukum perdata pada akhirnya dapat diajukan kepada hakim; dalam banyak persoalan dan justru persoalan yang terpenting mengenai hukum tata negara tidak ada kemungkinan untuk minta penilaian
pagina-141hakim ini. Ini mempunyai dua macam akibat lagi. Pertama, bahwa dalam hukum perdata, hakim yang berkewajiban untuk menegakkan undang-undang mendukung undang-undang ini dan menolak kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang itu, sedangkan di dalam hukum tata negara kebiasaan dengan mudah masuk ke dalamnya, karena mereka yang diwajibkan untuk menegakkan undang-undang adalah orang-orang sendiri, yang perbuatannya bertentangan dengan undang-undang minta diakui sebagai hukum kebiasaan. Dan yang kedua, bahwa pertentangan antara undang-undang dan kebiasaan dari hukum tata negara di dalam hukum perdata menjadi pertentangan antara undang-undang dan hakim dan bukanlah perbuatan dari orang yang bersangkutan sendiri, melainkan diakuinya perbuatan dalam putusan hakimlah yang menetapkan otoritasnya sendiri terhadap wibawa undang-undang, dengan lain perkataan, bahwa di sini persoalan mengenai hukum kebiasaan kebanyakan menjadi persoalan mengenai wibawa peradilan.172
389
Apabila di zaman kita berpisahnya suami istri atas dasar persetujuan antara mereka semakin banyak terjadi, maka hal itu bukannya persoalan apakah ada perubahan dalam keyakinan atau apakah perbuatannya itu sendiri yang mengesampingkan pasal 208 B.W. melainkan hal itu adalah persoalan pertentangan antara yurisprudensi H.R. dan teks dari pasal ini. Pertentangan antara perbuatan kemasyarakatan dan undang-undang tidak dibicarakan sebagai demikian dalam hukum, kerapkali pertentangan itu terletak di belakang pertentangan hakim atau undang-undang.
   Ini adalah dasar pertama dari perbedaannya. Yang kedua, justru yang penting sekali adalah, bahwa hukum perdata, berbeda dengan hukum tata negara, sebagian besar adalah hukum pelengkap, hukum pengatur dan bahwa untuk bagian dari perundang-undangan itu persoalan mengenai hubungan antara kebiasaan dan hukum dengan sendirinya adalah lain daripada untuk hukum pemaksa. Pada pembicaraan mengenai hukum ini dalam hukum perdata, hukum pelengkap dan hukum pemaksa harus kita pisah.
390
   Kita mulai dengan yang pertama. Pasal 1339 B.W. berbunyi: Perjanjian mengikat tidak hanya apa yang ditentukan tegas-tegas oleh perjanjian itu, melainkan juga mengikat semuanya yang menurut sifat dari perjanjian itu dituntut oleh kelayakan, kebiasaan atau undang-undang.
   Pasal 1347 B.W. berbunyi: “Janji-janji yang menjadi kebiasaan tetap dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun itu tidak ditegaskan dalam perjanjian itu”. Kedua pasal ini pada umumnya dikutip sebagai contoh-contoh mengenai penunjukan kepada kebiasaan yang dimaksud
pagina-142oleh pasal 5 A.B. Dengan demikian dalam bidang yang luas dari hukum perjanjian, kebiasaan mendapat tempat. Akan tetapi, seperti kebanyakan orang menyatakan apakah dengan demikian itu tidak lain daripada tempat yang lebih rendah berdasarkan penunjukan itu, ataukah kebiasaan itu mempunyai arti mandiri? Pertanyaan itu mengakibatkan pertanyaan lain yang bersifat praktis ini: bagaimana, jika kebiasaan itu menyimpang dari hukum pelengkap? Lalu yang berlaku ketentuan undang-undangnyakah atau kebiasaannya?
391
   Pertanyaan ini sangat ditentang. H.R. dalam tahun 1874 memutuskan,173 bahwa kebiasaan menyimpang dari undang-undang, sebaliknya dalam tahun 1908.174 H.R. memutuskan, bahwa kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang tidak dapat menimbulkan hukum; dalam tahun 1832 prinsip ini ditinggalkan lagi; apakah HR pada waktu itu mendahulukan kebiasaan pada umumnya ataukah hanya janji yang menjadi kebiasaan (janji yang menurut kebiasaan) daripada ketentuan undang-undang pelengkap, tidaklah pasti.175 Yurisprudensi rendahan tidak sama pendapatnya176 Molengraaff177 memihak kepada keputusan yang pertama tersebut; kebanyakan orang menganut keputusan yang kedua atau orang mencari jalan tengah: Kosters mau mendahulukan kebiasaan, asalkan terbukti, bahwa fihak-fihak mengenal kebiasaan itu;178 J. van Kuyk mengalahkan kebiasaan terhadap undang-undang, memenangkan janji yang menetap menjadi kebiasaan terhadap undang-undang;179 Houwing akhimya melihat faktor penentunya adalah maksud dari fihak-fihak, akan tetapi bukannya apa yang dalam kenyataannya dilakukan oleh fihak-fihak, melainkan apa yang sekiranya akan mereka maksudkan, andaikata mereka berunding dengan kelayakan dan itikad baik, dengan lain perkataan, ada kalanya dia akan mengutamakan kebiasaan dan ada kalanya dia mengutamakan undang-undang, sesuai dengan yang dibawa serta oleh kelayakan.180 pagina-143
392
   Bagi kita181 - juga kita berpendapat, bahwa dalam hal ada pertentangan antara hukum pelengkap dengan kebiasaan maka yang kebiasaanlah yang diutamakan. Di dalam contoh-contoh yang dikutip Houwing dari yurisprudensi mengenai pertentangan antara tempat pembayaran yang lazim dan tempat pembayaran yang ditunjuk joleh pasal 1393 B.W.182 dan antara kebiasaan dari bentuk tertentu mengenai penyewaan oleh si penyewa (onderverhuren) dan larangan pasal 1559183 B.W. saya akan mengikuti kebiasaan dan bukan ketentuan-ketentuan undang-undang.
393
   Untuk kebalikannya, seperti yang dilakukan oleh Rechtbank Rotterdam,184 orang tidak boleh menyandarkan diri pada pasal 15 A.B. Kebiasaana memperoleh kekuatannya dari undang-undang, kata orang, karenanya kebiasaan harus menyisih untuk undang-undang. Sebaliknya perlu diperhatikan, bahwa “undang-undang” dari mana kebiasaan akan memperoleh kekuatannya, bersifat lain daripada “undang-undang” yang dalam kejadian yang digambarkan itu bertabrakan dengan kebiasaan. Jadi meskipun kebiasaan hanya mengikat karena undang-undang mengatakannya, maka dari situ belum berakibat bahwa kebiasaan akan dikalahkan terhadap hukum pelengkap. Apakah pembentuk undang-undang, yang jelas dalam pasal 15 A.B. akan menghapuskan segala hukum kebiasaan yang ada dan untuk masa mendatang memberikan monopoli pembentukan hukum kepada dirinya sendiri, juga mengingat kepada kebiasaan pergaulan berhadapan dengan ketentuan-ketentuan hukum pelengkap?
394
Apa yang mengenai sejarah dari pasalnya ditemukan membuat kecil kemungkinannya bahwa pembentuk undang-undang mengingat hal itu. Akan tetapi apakah yang benar atau tidak benar dari itu semua–pertanyaan apakah kebiasaan memperoleh kekuatannya dari undang-undang, tidak dapat diputuskan oleh undang-undang—, sudah memilih sebelum ia akan amenimbang hak-hak dari keduanya.
   Jadi kita harus melihat pertanyaannya sendiri, dengan tidak mengingat pasal 15 A.B. dan selanjutnya pendapat saya bersandar baik pada keterikatan kepada perjanjian maupun pada sifat dari hukum pelengkap.
395
   Kita jelaskan keduanya. Pada umumnya sekarang orang beranggapan, bahwa kata-kata dari suatu kesanggupan harus ditafsirkan sedemikian rupa seperti yang dapat dan mungkin diterima oleh orang kepada siapa kesanggupan itu ditujukan. Bukannya apa yang dimaksud oleh orang yang berjanji, melainkan apa yang oleh orang lain itu dapat atau mungkin dianggap pagina-144dimaksudkan oleh orang yang berjanji itu yang menentukan. Arti dari kata-kata menurut percakapan sehari-hari menjadi pegangan, harapan-harapan yang bersandar pada arti dari kata-kata itu harus dijadikan kenyataan. Siapa yang ingin menetapkan luasnya kewajiban-kewajiban yang lahir dari suatu pernyataan, mulai dengan menyelidiki luasnya jangkauan dari kata-kata yang dipakai. Kebiasaanlah yang menunjukkan kepadanya luasnya jangkauan dari kata-kata itu. Apakah kebiasaan yang sama tidak harus menjadi penunjuk jalannya, apabila ia ingin menetapkan bukannya ruang lingkup dari kata-kata tertentu melainkan ruang lingkup dari keseluruhan pernyataan? Setiap janji, yang menurut hukum mengikat, dapat dilihat baik menurut arti individualnya (apa yang dimaksudkan oleh yang berjanji?) maupun menurut fungsi kemasyarakatannya (apakah sifatnya janji ini sebagai gejala dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan?).
396
Keduanya bersama-sama menentukan isinya. Fihak-fihak bebas untuk mengatur seperti yang mereka kehendaki, akan tetapi sepanjang mereka tidak mengaturnya, maka perjanjian dalam kata-katanya akan dimengerti menurut arti umum dari perjanjian sejenis. Kalau itu berlaku untuk kata-katanya, mengapa tidak akan sama berlakunya untuk arti dari perjanjian pada umumnya? Penetapan arti dari kata-kata, penafsiran dan penetapan dari akibat yang tidak diatur pada titik tertentu akan berbaur. Apabila saya boleh menetapkan arti dari kata “membayar” seperti halnya setiap kata menurut kebiasaan, apakah juga atas dasar kebiasaan yang sama itu saya tidak boleh menentukan, bahwa dalam suatu hubungan tertentu “membayar” adalah “menyediakan uang yang akan diambil”, dan tidak “mengantarkan uang” (contoh yang dikutip di atas dari H.R. tahun 1908).
397
Interpretasi dari suatu janji menurut bahasa sehari-hari mengakibatkan diakuinya kebiasaan sebagai ikut menentapkan luasnya kewajiban-kewajiban yang diterima. Jadi juga berakibat dikesampingkannya hukum pelengkap oleh kebiasaan yang menyimpang daripadanya.
   Untuk membedakan antara kebiasaan dan janji yang lazim tidak ada dasarnya. Janji hanya mempunyai arti yang mandiri apabila janji itu mengambil bentuk tertentu, sebagai clause de style senantiasa (terus-menerus) terdapat dalam perjanjian-perjanjian tertulis. Maka lalu disandarkan pada apa yang lazimnya diperjanjikan, pada kebiasaan masalahnya adalah apa yang biasanya dilakukan oleh fihak-fihak. Tidak ada alasan untuk memberikan kekuatan lebih kepada janji yang lazim daripada kepada perbuatan yang lazim.185
pagina-145
   Di antara penulis-penulis mengenai obyek kita ada beberapa yang jalan pikirannya menuju ke arah yang sama. Akan tetapi mereka membatasi kesimpulan ini pada kebiasaan-kebiasaan pergaulan, perbuatan-perbuatan khusus dalam lalu-lintas perdagangan dan membedakannya (usages conventionnels) dari kebiasaan (coutumes).
398
Kelaziman pergaulan mereka akui mempunyai kekuatan, karena fihak-fihak menghendaki demikian. kebiasaan sebaliknya tidak mampu berbuat apa-apa terhadap undang-undang.186 Saya berpendapat bahwa perbedaannya tidak ada;; dasar dari keterikatan pada kebiasaan dan kelaziman pergaulan keduanya adalah perbuatan nyata dalam kejadian-kejadian sejenis; kelaziman pergaulan mengikat, bukannya karena fihak-fihak menghendaki demikian, melainkan karena isi dari pernyataan yang mengikat mereka hanya dapat ditetapkan dalam hubungannya dengan kebiasaan-kebiasaan dalam arti kemasyarakatannya. Kehendak hanyalah negatif penting. Apabila fihak-fihak tidak menghendaki yang lazim itumereka bebas untuk tidak menggunakannya, akan tetapi itu harus juga terbukti.
399
   Perbedaan mengenai dasarnya memperoleh kepentingan praktis jika orang bertanya, apakah fihak-fihak harus mengenal kebiasaan yang dijadikan sandaran. Para penulis yang saya maksudkan, Geny misalnya, menjawab mengiyakan.187 Saya akan mengingkarinya: untuk mengutip lagi suatu contoh dari karangan-karangan Houwingsiapa yang menyewakan tanah pertanian di Zeeuws-Vlaanderen, harus menerima, bahwa kebiasaan-kebiasaan setempat mengenai penyewaan-penyewaan tanah seperti itu mengikat dia, meskipun dia tinggal di Prancis dan meskipun dia tidak tahu apa-apa mengenai kelaziman itu. Houwing sendiri mengoreksi pendapat yang dipertentangkan di sini dengan mengingat bukannya apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh fihak-fihak, melainkan apa yang sekiranya akan mereka maksudkan andaikata mereka berunding dengan kelayakan dan itikad baik. Kelayakan dan itikad baik mengakibatkan dia untuk mengesampingkan sandaran tidak diketahuinya kebiasaan dalam kejadian seperti yang dibicarakan itu.
400
Sudah jelas, bahwa di sini dipergunakan fiksi yang tidak ada gunanya;188 penunjukan kepada maksud dapat dihilangkan. Seperti para penulis yang saya kutip itu, saya melihat dalam kebiasaan bahan penafsiran untuk perjanjian, pagina-146akan tetapi penafsiran bagi saya bukannya seperti yang bagi mereka penyelidikan mengenai kehendak dari fihak-fihak-material itu tidak untuk melacak “maksud” mereka, melainkan untuk melacak arti obyektif dari pernyataan, arti kemasyarakatannya dan akibat hukumnya.
   Dari sini sudah berakibat, bahwa kebiasaan itu mengikat, tidak karena undang-undang menunjuknya, melainkan karena kebiasaan itu menentukan isi dari janji yang mengikat, dengan lain perkataan bahwa akan berlaku yang sama, juga andaikata pasal-pasal 1339 dan 1347 tidak terdapat dalam undang-undang kita dan pasal 15 A.B. terdapat dalam undang-undang kita-juga penyadaran mengenai apa hukum pelengkap itu menunjukkan kepada kita, bahwa hukum pelengkap tidak dapat mempunyai kekuatan terhadap kebiasaan.
   Di atas sudah kita tunjukkan, bahwa hukum pelengkap mempunyai fungsi rangkap: penataan—bersandar atau tidak bersandar pada kehendak yang diperkirakan dari orang yang bersangkutan—dan penunjukan mengenai apa yang oleh pembentuk mengenai undang-undang dianggap layak dalam suatu hubungan tertentu, selama fihak-fihak tidak menyatakan sendiri apa yang mereka kehendaki, jadi dorongan ke arah tertentu.
401
   Sepanjang ketentuan-ketentuan hukum pelengkap mengandung penataan, jelas harus menyisih terhadap kelaziman. Sebab persangkaan bahwa fihak-fihak akan menghendaki seperti itu hapus, segera kelazimannya berbeda, dan suatu penataan dari luar kehilangan alasan eksistensinya, bilamana kehidupan kemasyarakatan sendiri menatanya. Penataan dari hubungan-hubungan kontraktual adalah selalu pelengkapan demi kepastian dari apa yang oleh fihak-fihak sendiri dibiarkan tidak pasti-apabila kelaziman sudah memberikan kepastian, maka tidak ada tempat untuk penataan. Pembentuk undang-undang yang membuat peraturan-peraturan hukum pelengkap tidak mengatakan: beginilah saya perintahkan-melainkan: beginilah nanti jadinya, apabila anda sendiri tidak merumuskan peraturannya.
402
Yang terakhir itu boleh kita 1engkapi: atau peraturan ini tidak diberikan oleh kelaziman dari suatu tempat. Fungsi dari hukum pelengkap sebagai penataan dari kehidupan kemasyarakatan menyebabkan hukum pelengkap dikalahkan oleh peraturan-peraturan yang diberikan oleh kehidupan sendiri. Barang siapa membantah, bahwa kebiasaan tidak dapat menghapuskan peraturan, (pasal 5 N.A.B.) lupa, bahwa peraturannya tidak dihapuskan oleh kelaziman, melainkan dibatasi. Peraturan dari undang-undang adalah umum dan tetap mempunyai ruangan yang luas di samping pengaturan yang lebih khusus oleh kelaziman. Pasa1 1393 B,W. tidak dihapuskan, meskipun tidak dapat diterapkan pada hubungan antara penyewa dan orang yang menyewakan tempat tinggal mingguan di Amsterdam. Dengan kelaziman timbullah differensiasi, penghalusan hukum. pagina-147
403
Akan tetapi apakah ini tidak lain, bilamana dan sepanjang dalam peraturan dari hukum pelengkap itu juga terletak penilaian? Di atas189 sudah kita jelaskan, bahwa pembentuk undang-undang dengan peraturannya juga menunjukkan apa yang ia nilai tepat untuk sesuatu hubungan tertentu. Apakah peraturan seperti itu yang bagaimanapun harus kita hormati, dengan jalan tidak mengikutinya saja, asalkan cukup luas, dapat ditinggalkan?
   Pertanyaan ini dengan demikian mendekati pertanyaan mengenai kelaziman dan hukum pemaksa. Kita akan segera membicarakan hal itu. Mengenai hukum pelengkap, pertanyaan itu mendapat jawabannya dalam pertimbangan-pertimbangan yang kita susun di atas mengenai hukum perjanjian dan arti dari ketentuan-ketentuan undang-undang yang melengkapi.
404
   Janji itu mengikat, bukannya karena undang-undang mengatakannya, akan tetapi karena hukum janji ada di samping hukum undang-undang—yang akhir ini menunjukkan batas-batas keterikatan yang lahir dari janji; itu dilakukannya dalam hukum pemaksa. Akibatnya adalah, bahwa apabila janji dalam arti kemasyarakatannya memang ditentukan oleh kelaziman itu, maka akhirnya setiap hukum pelengkap menyisih untuk kelaziman itu. Akan tetapi meskipun demikian kita harus menghindarkan diri dari satu jawaban yang mudah' dan selalu tuntas itu. Tidaklah benar bahwa setiap peraturan hukum pelengkap boleh dikesampingkan, bilamana peraturan tersebut dalam suatu kasus posisi tertentu berulang kali dilanggar.
405
Kita harus membedakan. Apabila peraturannya baru, maka kelaziman harus terdapat dalam waktu sesudah peraturan itu. Sebab kelaziman-kelaziman yang mendahului peraturan tidak dihormati oleh peraturan yang ingin memasukkan arah baru dalam kehidupan kemasyarakatan. Segera kita menerima kewenangan pembentuk undang-undang—dan saya ulangi, bahwa ini terjadi a priori dalam buku ini maka kita harus mengikutinya, apabila ia ingin mengendalikan kehidupan kemasyarakatan dengan peraturan-peraturannya. Akan tetapi apabila kehidupan itu menolak, jadi apabila suatu kelaziman berkembang atau bertahan sesudah adanya peraturan, maka mungkin tiba saatnya bahwa kelaziman yang didahulukan.
406
   Ini yang pertama. Dan yang kedua: kelaziman adalah satuan kuantitatif. Ada kelaziman-kelaziman yang cepat hilang yang terjadi di sana-sini, ada kelaziman-kelaziman yang selalu berulang akan tetapi tidak begitu penting, ada kebiasaan-kebiasaan yang kokoh-kuat dihormati oleh setiap orang. Semakin peraturan undang-undang sekarang—juga peraturan undang-undang yang bersifat hukum pelengkap—harus dihargai lebih tinggi, harus dilihatnya pagina-148lebih daripada hanya tatanan, dan juga arah–demikian pula kelaziman harus semakin menjadi lebih kuat dan lebih luas, jika bertentangan dengan peraturan orang dapat menyandarkan diri padanya.
407
   Bukanlah suatu kebetulan, bahwa justru pada suatu pasal seperti pasal 1393 B.W.—yang merupakan penataan mumi—kekuasaan kelaziman begitu jelasnya menentang undang-undang. Pada pasal 1559 B.W. kekuasaan kelaziman terhadap undang-undang ini sudah agak lebih kecil–lain halnya, jika kita menghadapi peraturan-peraturan dari undang-undang baru (perjanjian-perjanjian kerja, perseroan-perseroan terbatas), di mana pembentuk undang-undang jelas ingin menggerakkan kehidupan kemasyarakatan ke arah tertentu dan hanya karena kekawatiran akan bertindak terlalu tegas menahan kekuasaan memaksanya. Kelaziman harus sudah kuat sekali, sudah berlangsung lama dan luas, jika ingin mengalahkan peraturan-peraturan seperti itu.
408
   Di sini ada suatu pertimbangan. Inilah inti sesungguhnya dari pengamatan Houwing, bahwa kelayakan dan itikad baiklah yang harus menentukan apa yang didahulukan: kelaziman atau hukum pelengkap.
   Jadi kalau kita ringkaskan: hukum pelengkap yang merupakan penataan, menyisih untuk kelaziman, hukum pelengkap yang menunjukkan arah yang menurut penilaian pembentuk undang-undang seharusnya oleh orang-orang yang bersangkutan hanya menyisih jika kelaziman itu kuat. Mengenai kebiasaan dalam hubungannya dengan hukum pemaksa, lihat di bawah ini. Terlebih dahulu kita harus meninjau segi lain dari persoalan kita.
409

§ 23 Kebiasaan dan hukum pelengkap (lanjutan); Syarat-syarat; Arti formulering; Bukti.

   Kapankah kebiasaan menjadi hukum?
   Pertama-tama harus ada pengulangan fakta-fakta: dalam hubungan-hubungan sejenis orang berbuat sama. Mendasarkan pada kebiasaan tidak banyak berbeda daripada pernyataan: setiap orang berbuat seperti saya, atau: saya boleh mengharapkan, bahwa anda akan berbuat seperti setiap orang. Lihatlah contoh-contohnya dalam paragraf sebelumnya. Pada umumnya dalam hal tempat tinggal mingguan di Amsterdam orang menyuruh mengambil sewa di tempat tinggal penyewa, tidak lazim terjadi bahwa penyewa ini mengantarkan uang sewanya ke rumah orang yang menyewakan, begitulah bunyi bantahan dalam acara yang satu; dalam acara yang lain: pelepasan tanah-tanah sempit oleh petani kepada seorang buruh untuk menanam kentang
pagina-149untuk konsumsi sendiri, terjadi umum di Haarlemmermeer; izin dari pemilik untuk itu tidak diminta.
410
   Akan tetapi apakah dengan pembuktian faktanya, pembuktian dari rangkaian perbuatan, juga ditunjukkan adanya kebiasaan, ataukah harus ada sesuatu lain? Apakah perlu bahwa perbuatan-perbuatan itu akibat dari keyakinan, bahwa orang seharusnya berbuat begitu seperti yang orang perbuat? Orang mengatakan adanya opinio necessitatis, yang akan disyaratkan untuk hukum kebiasaan. Ungkapan itu tidak begitu kena: suatu keharusan untuk berbuat seperti yang dilakukan orang tidak perlu, dalam hal hukum pelengkap. Apabila orang mengganti ungkapan itu dengan opinion juris, maka keberatannya tidak terangkat: orang-orang yang bersangkutan tidak memikirkan hukum; suatu kesadaran, bahwa seharusnya seperti yang mereka lakukan itu, tidak mendahului perbuatannya dan juga tidak mengiringinya. Berbuat lain daripada kebiasaan tidak menyebabkan orang menjadi tidak pantas, asalkan itu diperjanjikan dengan tegas; apabila tidak, maka fihak lawan boleh memandang, bahwa jika ia mengikuti kebiasaan ia tidak akan dicela, bahwa sebaliknya juga fihak lain akan bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan. Ketidakpantasannya baru ada, jika ada penyimpangan dari kebiasaan tanpa adanya janji.
411
   Tidak dapat dikatakan adanya keyakinan hukum yang akan mendasari atau mengiringi perbuatan, akan tetapi dengan demikian belum berarti, bahwa selalu tidak peduli apa yang digambarkan oleh mereka yang bersangkutan mengenai akibat-akibat dari perbuatan mereka, bahwa selalu hanya rangkaian perbuatan-perbuatan sama yang berturut-turut membuat kebiasaan dan dengan itu membuat hukum. Terus-menerus berbuat sama dapat mewajibkan untuk meneruskannya, akan tetapi itu tidak perlu dan tidak akan mewajibkan untuk meneruskannya, bilamana yang bersangkutan tetap sadar akan tidak wajibnya perbuatan-perbuatan mereka dan karena itu harapan, kepercayaan, bahwa kebiasaan menjadi peraturan (dalam arti rangkap seperti yang diutarakan dalam halaman 136-137) tidak dapat dilahirkan.
412
Mungkin saja, bahwa setiap tahun seorang pegawai kantor pada tahun baru menerima gratifikasi, bahwa semua pegawai kantor dalam kedudukan yang sama juga menerima hadiah sejenis dan bahwa meskipun demikian orang yang bersangkutan seperti halnya majikannya tetap sadar, bahwa itu adalah kebaikan hati si majikan, apabila ia menyampaikan amplop itu. Dengan lain perkataan: opinio juris tidak merupakan syarat positif, akan tetapi secara negatif kesadaran akan ketidakterikatan itu dapat menghalangi terjadinya hukum kebiasaan. Dari tata susila dapat tumbuh hukum, akan tetapi tata susila adalah perbuatan-perbuatan dalam arti kemasyarakatannya; ini tidak dapat ditetapkan tanpa pagina-150 mengingat gambaran dari mereka yang melakukannya. Akan tetapi bukannya gambaran-gambaran dari fihak-fihak tertentu yang menentukan, melainkan arti khas dari perbuatan, harapan-harapan yang ditimbulkan dalam lingkungan itu oleh perbuatan-perbuatan itu.
413
   Jelaslah sudah tidak dapat diberikan peraturan umum, bahwa apabila kejadian yang diulang itu memperoleh intensitas dan memperoleh sifat tetap yang sedemikian rupa, bahwa kecuali diperjanjikan kebalikannya juga untuk seterusnya dapat dipastikan diteruskannya rangkaian perbuatan itu. Akhirnya hakim lagilah yang di sini memutuskan. Akan tetapi dengan itu tidak berarti, bahwa hakim di sini adalah orang yang menciptakan hukum; orang memang menganggapnya demikian untuk seluruh hukum kebiasaan, namun itu keliru: ia merumuskannya dan itu mempunyai arti yang penting sekali, akan tetapi itu bukan penciptaan. Di sini kita menyinggung suatu titik prinsipiel.
414
   Mungkin saja ada hukum kebiasaan yang belum pernah ditegakkan oleh hakim. Memang benar bahwa hakim dapat menghentikan keragu-raguan apakah suatu kebiasaan itu hukum dan dengan demikian menambahkan suatu peraturan baru pada sistem hukum, akan tetapi ia melakukan itu dalam keyakinan, bahwa peraturan itu sudah tersembunyi dalam sistem, bahwa memang rumusannya berasal dari dia, tetapi bukan isinya. Di samping itu keragu-raguan itu dapat diatasi dengan cara lain, dengan musyawarah bersama. Mungkin saja, bahwa keragu-raguan itu bahkan tidak pernah timbul, bahwa peraturannya tanpa adanya sesuatu tindakan yang disengaja sudah melewati batas yang memisahkan tata susila dan hukum. Peraturan-peraturan yang terakhir itu kebanyakan adalah yang terkuat, yang paling wajar menjadi hukum.
415
   Ahli-ahli kebiasaan yang dulu-dulu, yang mulai dengan membukukannya, sudah mengetahuinya. Salah seorang yang terbesar di antara mereka, Philippe de Beaumanoir (1283) melihat,190 bahwa ada dua cara untuk menunjukkan adanya suatu coutume: atau kebiasaana itu begitu umumnya, sehingga di mana-mana diikuti tanpa ditentang, atau kebiasaan itu dapat dibantah, lalu dapat dibuktikan dengan putusan hakim. Sebagai contoh dari yang pertama disebut kewajiban seorang bangsawan untuk membayar suatu hutang yang diakui dalam 15 hari sesudah perintah untuk membayar, untuk orang biasa dalam 7 hari sesudah perintah untuk membayar.
416
   Sampai sekarang itu masih demikian. Dari putusan-putusan hakim hanya dapat dikenali sebagian dari hukum kebiasaan—penyelidikan dari perbuatan kemasyarakatannya sendiri barulah menghasilkan pengetahuan yang pagina-151sebenarnya di sini.191 Ketika John Austin192 menulis pernyataannya, yang karena pernyataan itu ia langsung bertentangan dengan ajaran yang lazim di Inggris pada waktu itu: “Customary law is but a species of judiciary law'', ia lupa bahwa hakim juga sama terikatnya baik kepada kebiasaan maupun kepada undang-undang. Andaikata pernyataan itu benar, maka semua hukum adalah judiciary law. Akhirnya hanyalah gagasan bahwa hanya peraturan yang diformulasikan adalah hukum yang menjadi dasar dari anggapan-anggapan ini. Suatu anggapan yang diucapkan lebih tajam oleh seorang penulis yang lebili muda, Alf Ross, sebut193
Eine Gewohneit, als solche kann nicht Erkenningsgrund für etwas als Recht sein. Auch nicht einmal als eine unselbständige Quelle lässt die Gewohnheit sich verstehen: denn es werden hiermit nicht bestimmte, objectiv eindeutige Kriterien angegeben wenn etwas Recht ist.

417
   Dalam jiwa yang sama di negeri kita sudah sebelum dia, B.A. Kahn194 menyatakan:
Barulah ada suatu peraturan hukum apabila berlakunya tidak ditentang dan isinya tidak mendua arti (ondubbelzinnig).
Apabila dikaji dengan syarat ini, maka akan banyak sekali hukum undang-undang tidak boleh bernama hukum. Di sini terdapat penghargaan yang berlebih-lebihan kepada formula, suatu anggapan, bahwa dengan formula itu diberikan keputusan dalam setiap pertikaian yang dapat dipikirkan, yang oleh praktek peradilan kita yang berdasar undang-undang sesudah kodifikasi, juga oteh pengertian mengenai apa interpretasi itu, sepenuhnya ditunjukkan ketidaktepatannya. Adalah petitio principii mumi, bahwa hanya hukum yang terikat kepada formulalah yang merupakan hukum.195 Pengalaman dari pagina-152berabad-abad sama bertentangannya dengan pendirian itu seperti praktek sekarang. Peradilan menaruh harapannya pada kebiasaan dan sampai sekarang masih demikian.
418
   Dengan demikian sama sekali tidak berarti bahwa arti dari formula tidak diakui. Justru sebaliknya, saya akui, bahwa hakim, segera ia menuliskan hukum kebiasaan, nampaknya hanya bertindak menyatakan (mengkonstatasikan), namun sekaligus membentuk. Akan tetapi apabila tidak tepat untuk menentang yang baru dalam putusan, sama saja tidak tepatnya. untuk tidak menghargai pernyataan (konstatasi) dari yang ada. Sebelum keputusan peraturannya sudah ada, oleh keputusan itu peraturan tersebut memperoleh bentuk dan dengan itu mendapat arti baru.
   Apakah arti dari rumusan hukum kebinasaan?
   Sebelum kita menjawab pertanyaan itu perlu ditunjukkan bahwa justru zaman kita mengenal rumusan oleh orang-orang lain daripada oleh hakim dan yang malahan penting sekali. Rumusan dari hakim selalu tidak mempunyai hubungan satu sama lain (onsamenhangend), sedikit banyak kebeltulan, akan tetapi juga dapat ditunjukkan adanya gambaran yang disengaja dan bulat dari hukum kebiasaan. Sekarang saya tidak mengingat kepada kenyataan, bahwa bagian-bagian besar dari perundang-undangan adalah tidak lain daripada rumusan dari hukum kebiasaan. Di sini kita sepenuhnya sependapat dengan pendapat yang lazim, yang dalam undang-undang melihat pernyataan kehendak dari orang-orang yang menyandang wibawa dan melawankannya dengan kebiasaan.
419
Akan tetapi tidak hanya wibawa negara, juga otoritas-otoritas lain, di mana orang-orang yang bersangkutan secara suka rela menundukkan diri kepadanya, memutuskan untuk melukiskan dan menuliskan hukum kebiasaan seperti itu. Perkumpulan-perkumpunan dari pedagang-pedagang membuat kitab-kitab undang-undang, yang di dalamnya dicatat secara teliti peraturan-peraturan yang harus diikuti oleh cabang perdagangan mereka. Penanggung-penanggung Amsterdam dan Rotterdam sudah melakukannya berabad-abad lamanya. Perdagangan yang sesungguhnya dari zaman kita dalam bidang yang luas Mengikuti contoh mereka. Perdagangan gandum, surat-surat berharga, kopi dan banyak perdagangan lain-lain dengan demikian mempunyai kodifikasinya sendiri, yang di dalamnya diatur keseluruhan pembelian dan kemungkinan akibat-akibatnya. Pelayaran membuat tatanan-tatanan internasional: York-Antwerp-rules sudah bertahun-tahun menguasai hukum averijgrosse; untuk pengangkutan di laut lahirlah Hague Rules dalam tahun 1923.
420
   Peraturan-peraturan seperti ini mengandung unsur-unsur undang-undang dan hukum kebiasaan dalam dirinya. Peraturan-peraturan ini tidak dipaksakan, pagina-153dan juga tidak diharuskan oleh suatu wibawa negara; fihak-fihak menundukkan diri secara suka rela. Akan tetapi dari segi kemasyarakatan peraturan-peraturan itu kerap kali tidak dapat lain. Peraturan-peraturan itu adalah peraturan-peraturan abstrak, yang secara otomatis diterapkan, segera fihak-fihak membuat suatu tipe perjanjian tertentu, Peraturan-peraturan, yang kadang-kadang menyebabkan dilahirkannya hukum baru, yang bertentangan dengan praktek yang ada diusahakan dicapainya pemecahan baru dari kesulitan-kesulitan. Lalu peraturan-peraturan itu sudah dekat sekali mendekati undang-undang, yaitu bagian undang-undang yang bersifat pelengkap. Akan tetapi kita tidak membicarakan hal itu—sekarang kita bicara mengenai bagian dari pengaturan-pengaturan, yang tidak berbuat lain daripada menetapkan apa yang sudah ada dalam formula-formula yang setajam mungkin.
421
   Apabila kita memperhatikan hal itu, maka kita melihat jelas arti dari rumusan itu, suatu arti yang juga dimiliki oleh rumusan dari hakim, rumusan dari setiap orang yang melukiskan hukum kebiasaan dengan wibawa.
   Saya melihat arti itu dalam tiga jenis akibat:
   1
o. Formulanya sendiri menjadi bagian dari hukum. Pada gilirannya formula itu minta interpretasi. Perbuatan yang nyata dapat menjadi alat bantu pada interpretasi itu, bukan lagi menjadi obyek penyelidikan; yang menjadi obyek penelidikan adalah formulanya, peraturan yang dituliskan dalam kata-kata. Penyelidikan menurut ilmu bahasa dan menurut sejarah dari formula ini akan memegang peranan pada penerapan formula itu. Apa yang dimaksudkan sebagai penulisan dari fakta-faktanya, berhadapan dengan fakta-fakta memperoleh arti yang mandiri.
422
   2o. Formulanya membekukan hukum. Memang tidak terjadi keadaan berhenti dalam pembentukan hukum–itu tidak pernah terjadi–akan tetapi ada kelambanan yang kuat. Hukum yang tidak• diformulasi mengubah dirinya dengan mudah; terhadap peraturan yang dituangkan dalam kata-kata setiap perubahan harus diperjuangkan, peraturan tertulis selalu membela diri. Apa yang diucapkan dalam kata-kata dan tidak hanya terasa dengan samar-samar, menggores kuat dalam kesadaran, memberikan dukungan dalam hal ada keragu-raguan, akan tetap: lalu juga tidak mudah ditinggalkan.
423
   3o. Karena rumusan hapuslah syarat dari hukum kebiasaan, bahwa tidak hanya dulu diperbuat seperti itu, melainkan juga sampai waktu-waktu yang terakhir sebelum keputusan selalu diperbuat seperti itu. Formulanya tetap, meskipun dasarnya, perbuatan nyatanya, hapus, asalkan perbuatan nyata itu tidak merupakan kebalikannya. Dapat juga, bahwa untuk waktu yang lama syarat-syarat untuk berbuat tidak ada, namun bagaimanapun juga peraturannya berlangsung terus. Suatu peraturan hukum kebiasaan untuk perang dapat tetap pagina-154ada, meskipun selama bertahun-tahun tidak terjadi perang, akan tetapi itu hanya mungkin, bilamana peraturan itu diucapkan dalam suatu formula, Dari perbuatan dari puluhan tahun sebelumnya tidak dapat lagi disimpulkan adanya hukum kebiasaan.
424
   Kalau diringkas tiga akibat ini kesemuanya adalah akibat dari yang satu: rumusan adalah penetapan dari yang sudah lampau, akan tetapi itu adalah demi masa depan. Rumusan itu menjangkau masa depan. Kita melihat bahwa akibat-akibat dari formulering itu penting. Boleh ditambahkan, bahwa kita hanya boleh menyebut sesuatu sebagai milik kita pribadi apa yang kita sadari dengan jelas dan karenanya kita dapat meringkasnya dalam suatu formula. Kita banu menguasai, mengenal hukum kebiasaan dengan baik, apabila kita melukiskannya. Selalu ada kebutuhan untuk menuangkannya dalam kata-kata, akan tetapi penuangan itu, betapa pun pentingnya; bukanlah hukum kebiasaanya.
425
   Apabila sekali kita mencurahkan perhatian kita pada arti dari rumusan, maka kita dapat juga menemukan kembali arti itu dalam hukum kebiasaan sendiri. Akhirnya perbedaan antara kebiasaan dalam pasal 1339 B.W. dengan janji lazim yang menetap dalam pasal 1347 B.W. tidaklah lain daripada perbedaan antara hukum kebiasaan yang tidak tertulis dengan hukum kebiasaan yang dirumuskan. Asal saja kita ingat, bahwa di sini tidak seperti di atas rumusannya tidak berasal dari suatu wibawa yang dipaksakan atau dipilih, melainkan dari mereka yang bersangkutan sendiri dan oleh karena itu pada gilirannya bertumpu tidak lain daripada kebiasaan.
426
   Perbedaan-perbedaan yang ditunjukkan di atas juga kita lihat di sini. Janji lazim yang menetap harus diinterpretasikan—juga penafsiran ini adalah menerangkan teks, juga itu membutuhkan penyelidikan bahasa dan sejarah. Janji itu membawa kepastian. Janji dapat terus ada, juga meskipun syarat-syarat untuk penerapannya tidak ada. Ya, janji dapat sedemikian terlepasnya dari kejadi.an nyata, sehingga dapat mengenai suatu situasi yang tidak pernah ada selama janji itu dibuat. Sebab janji lazim itu tidak perlu harus mengatur kejadian yang mungkin dapat diperkirakan. Seperti halnya kodifikasi-kodifikasi kebiasaan yang bersifat sebagai kitab-kitab undang-undang kecil mengenai pengaturan-pengaruran di masa yang akan datang, tanpa mengingat kejadian yang sampai sekarang terjadi, maka janji kontrak (contractsbeding) juga dapat dilepaskan dari kejadian itu.
427
Suatu ilustrasi dari perbedaan antara kebiasaan dengan janji lazim, pasal 1339 dan pasal 1347 B.W. diberikan oleh pagina-155suatu putusan pengadilan dalam waktu perang.196 Persengketaannya berkisar mengenai persoalan apakah dalam perdagangan arang yang berbunyi “perang mengakhiri perjanjian” merupakan janji yang lazim. Dapat dinyatakan bahwa janji itu selalu dibuat, akan tetapi tidak dapat dinyatakan bahwa dalam hal tidak adanya janji perang menyebabkan hapusnya perjanjian juga. Sebab sebelum tahun 1914 pertanyaan itu tidak muncul dalam perdagangan arang di negara kita. Karena itu tidak ada kebiasaan, kata Rechtbank. Hof membatalkannya, sebab tidak penting apa yang sudah terjadi, melainkan yang penting adalah apa yang diperjanjikan; dasarnya adalah pasal 1347 dan bukannya pasal 1339 B.W. Dan janji itu dapat menjadi kebiasaan, meskipun tidak pernah dilaksanakan.
428
   Demi kejelasan dalam materi yang sulit ini kita ringkaskan lagi kesimpulan-kesimpulan kita: ada hukum kebiasaan yang tidak dilukiskan dan ada hukum kebiasaan yang dilukiskan dan dirumuskan. Pelukisan itu dapat terjadi dalam yurisprudensi, dapat pula terjadi dengan cara lain. Pelukisannya mempunyai arti yang mandiri. Akan tetapi juga hukum kebiasaan yang tidak dilukiskan itu mungkin hukum juga. Itu ada apabila terjadi perbuatan yang sedemikian berulang-ulangnya, sehingga dalam kehidupan kemasyarakatan dapat diharapkan diteruskan adanya. Harapan yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan itu, adalah menentukan pada hukum kebiasaan yang tidak dilukiskan itu.
   Dengan ini maka arti dari hukum kebiasaan sudah selesai dibahas.
429
   Di dalam kepustakaan orang masih menemukan dua pertanyaan yang dibicarakan, yang menurut pendapat kita tidak pantas dibahas tersendiri. Pertama, apakah kebiasaan itu dapat ditunjuk sebagai kebiasaan setempat ataukah harus dapat ditunjuk sebagai kebiasaan umum. Jawaban tidak meragukan—kebiasaan adalah berbuat ajeg dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan itu dapat ditentukan lebih kecil dan lebih besar, setempat atau menurut perusahaan atau keahlian. Tidak ada alasan sedikit pun untuk memperbedakan. Kedua, apakah suatu penyelidikan mengenai masuk akalnya suatu kebiasaan itu diperbolehkan dan apakah kebiasaan-kebiasaan yang tidak rasional dapat dianggap tidak mengikat dari dapat dikesampingkan. Akan tetapi apakah dasarnya kewenangan mengkaji masuk akalnya hukum yang tumbuh secara irrasional yang dasarnya justru bahwa itu tidak direncanakan melainkan, dengan sendirinya hidup? Sudah barang tentu pada penerapan hukum kebiasaan sama halnya dengan pada penerapan hukum undang-undang pagina-156dapat diajukan pertanyaan apakah putusan konkritnya tidak bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh penilaian susila kita. Akan tetapi ini sama sekali tidak mengandung penyelidikan khusus mengenai masuk akalnya' kebiasaan.
430
   Akhirnya bukti dalam hukum kebiasaan. Pada umumnya orang mengatakan, dan ini juga yurisprudensi tetap,197 bahwa hakim bebas untuk memutus adanya kebiasaan dengan segala sarana yang ia pandang baik dan' bahwa ia sama sekali tidak terikat kepada alat-alat pembuktian berdasarkan undang-undang. Sebab, kata orang, kebiasaan adalah sumber hukum, dan jus curia novit. Penalaran itu nampak lemah kepada saya dan kesimpulannya. sendiri terlalu umum. Barang siapa mendasarkan diri pada hukum kebiasaan (dalam arti yang sesungguhnya, jadi tidak pada yurisprudensi yang menentapkan hukum seperti itu), maka ia mendasarkan diri pada fakta. Apabila fakta itu dibantah, maka fakta itu harus dibuktikan, persis seperti yang lain4ain: bukti dengan saksi, bukan pendengaran para ahli, adalah terutama upaya untuk menetapkannya sebagai hukum.
431
Bahwa kadang-kadang ini tidak perlu, itu disebabkan karenahakim boleh menganggap fakta yang - dikenal umum sebagai tetap, meskipun tanpa bukti. Bantahan tidak dihiraukan, bukannya karena kebiasaan menciptakan hukum, melainkan karena bantahan terhadap fakta yang sudah diketahui umum itu dapat dikesampingkan sebagai keberatan yang dicari-cari. Apabila faktanya sudah pasti, maka kesimpulannya apakah dalam fakta itu terdapat hukum kebiasaan adalah kesimpulan dari hakim, bukan dari fihak-fihak dan bukan pula dari ahli-ahli atau dari saksi-saksi yang didengar. Hakim bebas untuk menentukan sendiri kepada siapa ia ingin mencari informasi untuk itu. Sejauh ini bukti memang tidak perlu.
432

§ 24 Kebiasaan berhadapan dengan hukum pemaksa.

   Sekarang kita menghadapi pertanyaan apakah di Negeri Belanda kebiasaan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum pemaksa mengikat.
   Jawabnya tercantum dalam paragraf-paragraf sebelumnya. Alasan mengapa pada hukum pelengkap kebiasaan didahulukan, hapus. Berbeda dengan
pagina-157peraturan pelengkap dari pembentuk undang-undang, maka perintah hukum pemaksa tidak tanpa daya terhadap perbuatan yang pada umumnya menyimpang.; Hakim tunduk kepada perintah-perintah itu. Mungkin menjadi kebiasaan, bahwa hutang-hutang karena perjudian dibayar dan kadang-kadang bahkan dianggap lebih mengikat daripada hutang yang lain, namun tidak ada hakim yang dengan bertentangan dengan pasal 1788 akan memutus menghukum untuk membayar suatu hutang yang lahir dari perjudian.
433
Namun demikian—ada kemungkinan, bahwa dalam kehidupan yang nyata suatu peraturan hukum pemaksa sedemikian rupa dikesampingkannya, sehingga hubungan-hubungan yang sedemikian pentingnya lama-kelamaan mendapat pengaturan yang bertentangan dengan peraturan itu, sehingga peraturan itu tidak dapat dipertahankan. Di sinilah terdapat benturan yang sudah kita tunjukkan dalam paragraf 21; dari apa yang sudah dikatakan di situ berakibat juga, bahwa suatu pedoman yang tetap mengenai kapan hal itu akan terjadi tidak dapat diberikan; selanjutnya, bahwa hal itu dalam hukum perdata kita merupakan pengecualian yang langka dan seharusnya merupakan pengecualian yang langka. Sistem kodifikasi, posisi dari hakim kita, penghargaan tinggi terhadap undang-undang secara tradisional, semuanya ini berakibat membatasi hukum kebiasaan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pemaksa. Bagaimanapun juga, itu selalu tidak dapat dihindari dan juga ada di negara kita.
434
   Meskipun demikian tidaklah mudah untuk mengukuhkannya dengan contoh-contoh. Ada dua sebabnya. Pertama-tama jarang terjadi bahwa sejarah dan teks undang-undang memberikan jawaban yang tidak mendua-arti atas suatu persoalan hukum, yang oleh kebiasaan diputuskan dalam arti yang sebaliknya. Kebanyakan kejadiannya adalah sebagai berikut, bahwa ada pertentangan mengenai suatu interpretasidan bahwa dalam pertentangan pertimbangan-pertimbangan mengenai setuju dan tidak setuju, kebiasaanlah yang menentukan. Optima interpres conseutudo tidak hanya berlaku untuk penafsiran undang-undang yang diketemukan dalam yurisprudensi, melainkan juga untuk penafsiran undang-undang yang terdapat dalam perbuatan orang-orang yang bersangkutan. Consuetudo paling sedikit sama-sama merupakan dasar dari keputusan maupun merupakan penguraian paling cerdas dari teks undang-undang. Akan tetapi alasan yang kedua, juga kemudian hakim—yang menganggap dirinya terikat kepada undang-undang dan menurut teori bebas terhadap kebiasaan--kebanyakan tidak mengatakannya dengan terus terang.
435
   Di atas pada halaman 128 saya memberi contoh tentang yayasan. Bahwa mendirikan yayasan di negara kita dimungkinkan itu adalah hukum yurisprudensi, itu juga hukum kebiasaan, apabila orang menerima motivering pagina-158dari advokat jendral Ledeboer yang saya kutip di situ. Akan tetapi motivering seperti itu langka, H.R. sendiri hampir-hampir tidak pernah menggunakannya—apakah bagaimanapun juga terlalu berani untuk bertahan bahwa motivering itu menurut penilaiannya juga penting?
436
   Apakah pada yayasan dengan alasan-alasan yang baik, orang dapat mengemukakan bahwa tidak dapat ditunjukkan adanya pertentangan dengan undang-undang, lebih lemahlah kedudukannya dalam kejadian lain, di mana persoalannya juga berkisar pada pertanyaan apakah suatu perbuatan itu sah dan mencapai akibat hukum yang dikehendaki, ataukah suatu ketentuan undang-undang pemaksa menutup akibat ini. Saya maksudkan pertanyaan apakah sebelum undang-undang perubahan tahun 1928 pendirian perseroan terbatas yang tidak bertujuan untuk melakukan perbuatan perniagaan dimungkinkan. Pasal 14, pasal 36 W.v.K, sistem dan sejarah undang-undang, semuanya membela jawaban yang mengingkari. Namun demikian Departemen Kehakiman mengakui perseroan-perseroan terbatas seperti itu. Banyak perseroan terbatas yang sudah didirikan (maskapai-maskapai pembangunan; perusahaan-perusahaan pertanian); modal-modal besar sudah ditanamkan di dalamnya, perbuatan-perbuatan hukum yang tidak terhitung jumlahnya sudah dilakukan dengan perseroan-perseroan itu.
437
Ini semua akan goyah dan tidak pasti, apabila diucapkan kata yang mematikan: perseroan terbatas yang tidak bertujuan untuk menjalankan perniagaan, tidak ada. Apakah mengherankan, bahwa meskipun bertentangan dengan pertimbangan-pertimbangan yang kuat yang bersifat interpretatif, orang tidak berani mengucapkan putusan itu dan menyerah kepada fakta-fakta: “adanya sungguh-sungguh” perseroan-perseroan terbatas yang tidak menjalankan perniagaan dalam arti undang-undang. Molengraaff dengan terang-terangan mengatakan: “oleh kebiasaan—dengan menyimpang dari undang-undang—terjadilah hukum di sini”.198
438
   Suatu contoh dari bidang yang sama sekali berlainan. Contoh itu mengenai organisasi dari Gereja Belanda yang direorganisasi (Nederlandse Hervormde Kerk). Pada tahun 1816 Raja Willem I mengundangkan suatu keputusan mengenai hal itu, yang keabsahannya sangat dipertentangkan, atau lebih baik dikatakan, bahwa ketidak-absahannya sudah pasti. Banyak jumlahnya sarjana hukum dan ahli-ahli gereja yang berpendapat bahwa Raja sama sekali tidak mempunyai kewenangan untuk mencampuri urusan ini.199 Meskipun demikian hanya sedikitlah200 jumlah orang yang sekarang masih pagina-159tidak mengakui Keputusan Raja itu sebagai dasar dari organisasi gereja ini.
439
Boleh jadi benar, bahwa diterimanya Keputusan Raja itu oleh mereka yang bersangkutan, yang kerap kali dijadikan sandaran, dapat dipertentangkan, namun demikian pada hemat saya tepatlah bahwa rebus ipsis et factis, untuk mengoper ungkapan H.R.201 dalam materi ini, organisasi yang diperintahkan oleh Raja sudah menjadi organisasi dari Gereja Belanda yang direorganisasi (Nederland Hervormde Kerk). Pada penerimaan (Keputusan Raja) barangkali orang terlalu memikirkan akan keputusan kehendak yang tegas-tegas—di sini sudah bertahun-tahun biasa diperbuat seolah-olah Keputusan Raja itu undang-undang dan atas dasar itu diciptakanlah suatu kesatuan lembaga dan pengaturan yang bercabang luas, sehingga sekarang tidak dapat diizinkan adanya penentangan terhadap Keputusan Raja itu. Apakah ini lain daripada hukum kebiasaan? Hukum kebiasaan yang berlawanan dengan undang-undang”?202
440
   Begitulah dapat disebut contoh-contoh lebih banyak lagi: melepaskan hipotik, untuk memberi kesempatan kepada hipotik yang kemudian untuk memperoleh tingkat yang lebih tinggi, adalah sepenuhnya bertentangan dengan sistem undang-undang mengenai pendaftaran hipotik, namun walaupun demikian itu selalu terjadi dan suatu putusan yang menyatakan bahwa itu tidak sah, sedangkan kebiasaan seperti itu sudah merakyat, akan menimbulkan kesulitan yang luas ruang lingkupnya. Tidak ditulisnya dengan tangan sendiri atau tidak diperlengkapinya dengan tulisan baik suatu obligasi atau surat-surat gadai dapat disebut bertentangan dengan pasal 1878 B.W. dan meskipun di sini dapat disandarkan pada sejarah secara berlawanan dengan arti harfiahnya,”203 juga dengan tidak mengingat hal itu tidak dapat diterapkannya pasal ini pada surat-surat itu akan harus diterima. Kalau tidak, maka malapetakanya tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
441
Kebiasaan membuat pagina-160 hukum. Berulangkali ada penerimaan fakta-faktanya lagi. Orang berbuat dan melakukan hal ini dalam kepercayaan, bahwa orang boleh berbuat begitu; teraturnya jalannya kejadian dalam lingkungan-lingkungan yang luas bertumpu pada sahnya perbuatan—hukum akan melupakan tugasnya untuk menormakan keadaan-keadaan nyata, bilamana hukum tidak menghiraukan kenyataan dan sekonyong-konyong atas dasar peraturan-peraturan yang barangkali sudah dilupakan menghapus kekuatan dari perbuatan. Seperti halnya kadaluwarsa ada di samping alas hak pada perolehan hak-hak subyektif; maka kebiasaan ada di samping undang-undang pada pembentukan hukum. Dari bukan-hukum dapat menjadi hukum. Ini adalah kebijaksanaan lama yang sudah ditemukan oleh ahli-ahli skolastik dan ahli-ahli hukum gereja.204
442
   Apabila perbedaan antara hukum pelengkap dan hukum pemaksa menyebabkan bahwa dalam hukum pemaksa tempat kebiasaan lebih sempit daripada pada hukum pelengkap—sifat dari kebiasaan dan dasar yang oleh hukum dijadikan alasan untuk menerimanya, tidaklah berbeda. Baik di dalam hukum pemaksa maupun dalam hukum pelengkap kejadian nyatalah yang menetapkan hukum. Juga pada peraturan pemaksa. batas antara tata susila dan hukum akan tergantung kepada keadaan apakah kejadian itu memperoleh arti yang sedemikian pentingnya, sehingga peraturannya akhirnya dapat diberlakukan sebagai hukum.
443
Seluruh hubungan antara anggota-anggota dari keluarga yang sama mengenai penggunaan dan pemakaian habis apa yang menjadi milik bersama yang oleh orang-orang tertentu .disebut hukum kebiasaan,205 adalah hubungan tata susila; tidak dapat ditunjukkan adanya pertentangan hukum, di mana kepada pertentangan hukum itu dapat diakui pengaruh yang menentukan. Sebaliknya kebiasaan, bahwa wanita kawin menempatkan nama suaminya di muka namanya sendiri menjadi hukum segera setelah orang mengakui, bahwa dengan penunjukan nama yang sedemikian itu dapat terjadi penandatanganan menurut hukum. Bagi saya itu tidak meragukan.
444
Justru karena suatu kemungkinan untuk mempertahankannya di muka hukum tidak dapat ditunjukkan, maka peraturan bahwa istri. harus mematuhi suaminya, yang terpajang sebagai suatu peraturan hukum di dalam kitab undang-undang kita (pasal 106 B.W.), dikesampingkan oleh kebiasaan. Prosedur dari perpisahan meja dan ranjang in abstracto akan dapat dipakai untuk mempertahankan peraturannya—tidak melakukannya. Tidak ada pengacara yang dari fakta bahwa istri tidak patuh kepada suami akan pagina-161mencoba membuatnya menjadi suatu perbuatan melampaui batas dalam arti menurut pasal 233 B.W. Tidak ada hakim yang akan membenarkan dia. Di sini—walaupun putusan yang menolak tuntutan seperti itu tidak ada—kita boleh mengatakan adanya suatu hukum kebiasaan yang bertentangan dengan undang-undang. Bahkan tidak ada keragu-raguan.206
445
Dan sama saja seperti halnya pada kebiasaan melawan hukum pelengkap juga di sini kesadaran dari orang berbuat hanya negatif penting. Syarat adanya keyakinan khusus baik di sini maupun di sana tidak boleh orang menetapkannya; boleh dikehendaki, bahwa fihak-fihak yang bersangkutan ketika mereka mulai melakukan perbuatan seperti yang mereka lalukan itu tidak menyadari adanya pertentangan dengan undang-undang. Keragu-raguan terhadap hal itu baru kemudian, kebanyakan oleh sarjana hukum: seorang pengacara yang cerdas memulai suatu acara, di mana apa yang selalu dilakukan orang tidak diakui sahnya, atau seorang ahli mengajukan keberatan dalam suatu karangan di majalah atau buku pelajaran.
446
Orang-orangnya sendiri berbuat secara polis, mereka tidak tahu lain daripada bahwa yang mereka lakukan itu dibolehkan dan berakibat seperti yang mereka gambarkan. Juga di sini ada analogi dengan kadaluwarsa dan syarat adanya itikad baik.207 Itikad baik, bertahun-tahun berbuat terus-,menerus seakan-akan sesuatu itu adalah hukum yang kemudian temyata bukan hukum itulah yang di sini seperti halnya pada kadaluwarsa dilindungi oleh hakim, jika ia menyatakan bahwa kebiasaan membuat hukum. Yang bersangkutan akan berpendapat itu bukan hukum andaikata terjadi lain; terhadap mereka yang menentang mereka akan membela diri: anda mengatakan sekarang bahwa ini tidak boleh atau tidak dapat, akan tetapi saya berbuat demikian karena tidak terhitung jumlahnya orang sebelum saya berbuat begitu dan saya tidak tahu lain daripada bahwa itu boleh. Kepercayaan ini dilindungi.
447
   Dengan demikian kita melihat suatu parallelli penuh antara kebiasaan pada hukum pemaksa dan pada hukum pelengkap. Untuk perbedaan yang prinsipiel seperti yang dibuat oleh Geny208 dan Oertmann209 misalnya, tidak ada alasan. Untuk menyelamatkan kebiasaan pergaulan terhadap hukum pelengkap, sedangkan mereka tidak mau menerima kebiasaan terhadap hukum pemaksa, mereka membuat kebiasaan pergaulan sesuatu lain daripada kebiasaan, mereka mengembalikannya kepada kehendak dari fihak-fihak. Keberatan apa yang pagina-162dapat dikatakan terhadapnya, sudah saya katakan di atas; di sini tinggal dapat ditambahkan kepada apa yang saya katakan di atas itu bahwa perbedaan antara keduanya hanyalah bertingkat (graduel). Kebiasaan berhadapan dengan undang-undang didesak mundur oleh kodifikasi; juga sekarang dia tinggal merebut tempat yang sempit, dan sepenuhnya sesuai dengan sistem hukum kita, bahwa juga di tempat-tempat, di mana kebiasaan itu penting, ia tinggal di latar belakang dan argumentasi yang bersifat lain disodorkan ke muka.
448
Sekali lagi hendaknya orang ingat, bahwa sangat jarang sekali suatu putusan tergantung pada satu data itu sendiri dan sepanjang mengenai keberlawanannya kebiasaan undang-undang, yang juga kita di sini mengambil alihnya, selalu terlalu mutlak. Yang menentukan setiap putusan adalah faktor-faktor yang berlain-lainan sifatnya. Karena itu kita juga tidak memberikan tempat tersendiri kepada kebiasaan di samping undang-undang, melainkan memperlakukannya sebagai salah satu a1at bantu (sarana) bagi penemuan hukum setingkat dengan bahasa dan sejarah. Akan tetapi dengan demikian kebiasaan itu lalu tidak dapat diingkari pentingnya dan—meskipun hanya demi apa yang oleh B.M. Taverne disebut “kebenaran” di dalam keputusan-keputusan hakim210 saya akan lebih baik mengatakan kejujuran keputusan hakim—seyogyanya kebiasaan lebih ditampilkan ke depan daripada yang sampai sekarang dilakukan.Akhirnya sekali lagi harus kita ulangi, bahwa perbuatan nyatalah yang ikut menentukan hukum.
449

§ 25 Tuntutan pergaulan; Sifat perkaranya; Interpretasi sosiologis dan interpretasi teleologis.

   Fakta ikut menentukan hukum; juga kejadian kemasyarakatan adalah suatu faktor pada penemuan hukum. Ini masih berlaku pada bidang lain daripada bidang ,hukum kebiasaan, suatu bidang yang jarang dihubungkan dengan bidang yang terakhir itu, akan tetapi dekat sekali dengan itu.
   Orang mengatakan, bahwa sesuatu adalah hukum karena pergaulan menuntutnya. Berkali-kali dipergunakan oleh para ahli, dasar hukum ini pada waktu yang akhir-akhir ini juga menyusup ke dalam yurisprudensi, ya, juga dipergunakan oleh H.R. Ini merupakan suatu gejala yang pantas mendapat perhatian, salah satu butir, yang membedakan metode H.R. sekarang dari
pagina-163metodanya dua puluh tahun yang lalu.211
450
Untuk perkembangan metode itu di dalam batas-batas sempit yang ditentukan oleh sistem kasasi, gejala itu adalah khas. Kita menemukan penyandaran pada tuntutan pergaulan dalam putusan terkenal mengenai ps. 1977 B. W. dalam perkara Veltman melawan Kooper.212 Di situ bermunculan serangkaian pertimbangan-pertimbangan yang terutama bersifat historis. Pada akhir putusan dikatakan: “bahwa ruang lingkup yang luas yang berguna dari peraturan yang dituntut oleh pergaulan adalah ini ...”. Lebih menarik lagz adalah penyandaran pada tuntutan pergaulan dalam putusan-putusan, di. mana H.R.213 menganggap pemberi perintah (lastgever) terikat ' kepada perbuatan-perbuatan dari penerima perintah (lasthebber), juga bila yang akhir ini melampaui perintahnya, asal saja orang ketiga yang berbuat dengan dia, mungkin percaya bahwa ia tetap tinggal dalam batas-batas kewenangannya.
451
Di sini pertimbangannya sepenuhnya berdiri sendiri dan ini lebih-lebih pantas mendapat perhatian, bahkan H.R., setelah pada mulanya dalam tahun 1926 menyatakan bahwa ini akan merupakan penerapan pasal 1807 B.W., dalam tahun 1928 menyatakan, bahwa itu merupakan pengecualian terhadap pasalnya. Suatu pengecualian yang undang-undang sendiri tidak mengetahuinya. Di sini ada penghalusan hukum,214 yang akan dapat didasarkan pada suatu asas hukum,215 akan tetapi yang pada H.R. hanyalah bersandar pada tuntutan-tuntutan pergaulan.
452
   Apakah yang harus kita artikan dengan itu? Bagaimana pun tidak lain daripada ini: bahwa pada tingkah laku-tingkah laku tertentu dalam kehidupan kemasyarakatan pada umumnya diterima, bahwa orang yang berbuat, tidak untuk dirinya sendiri, melainkan berbuat untuk orang lain: zetbaas (orang yang dengan mendapat upah tetap mengurus perusahaan orang lain), agen, pelayan toko, direktur, mereka semua melakukan serangkaian perbuatan dalam perusahaannya, yang pada umumnya dianggap sebagai perbuatan-perbuatan untuk orang yang mengangkat mereka, yang biasanya memang demikian. Akan tetapi apabila sesekali mereka melakukan perbuatan tidak untuk yang mengangkat mereka—karena tidak adanya kuasa—akan tetapi tampak lahiriyahnya ada, maka orang mengatakan dan juga H.R. mengatakan bahwa orang boleh mempercayai apa yang tampak keluar.216 Itu dituntut oleh pagina-164pergaulan, artinya tanpa itu setiap perbuatan yang cepat dan terus-menerus dengan semua orang yang disebut itu tidak mungkin, penyelidikan khusus mengenai kewenangan mereka akan tidak dapat terjadi dan tidak terjadi.
453
   Persamaannya dengan hukum kebiasaan mudah dikenali. Di sana sini suatu perbuatan dalam hidup bersama, kepada siapa hukum tergantung, di sana sini kepercayaan pada akibat hukum dari perbuatan itu, yang tidak boleh dikecewakan, karena perbuatan itu umum. Di sana sini adalah semu, yang dijadikan dasar perbuatan. Perbedaannya adalah bahwa di sana kepercayaan, itu mengenai adanya suatu peraturan, yang tidak dapat ditemukan dalam undang-undang, di sini adanya in concreto syarat-syarat nyata dan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu peraturan pemberian perintah, yang dalam kenyataannya tidak ada. Di dalam hukum kebiasaan, apa yang biasanya dilakukan orang menjadi kewajiban menurut suatu peraturan; di sini, siapa yang menciptakan suatu situasi, yang menunjuk kepada suatu peraturan; dianggap terikat pada peraturan itu, meskipun peraturan itu tidak secara langsung dapat diterapkan. Ini dituntut oleh pergaulan; siapa yang mencari hukum harus mengingat tuntutan pergaulan itu.
454
   Jadi ada pengakuan fakta-faktanya, akan tetapi sekaligus ada putusan mengenai kesesuaian dengan tujuan suatu perbuatan. Hakim dapat menolak tuntutan pergaulan itu, akan tetapi dengan demikian ia menyebabkan pergaulan itu mendapat kesulitan. Tujuan dari pemberian perintah tidak dicapai dalam kehidupan kemasyarakatan, bilamana peraturan baru yang diucapkan oleh H.R.217, tidak diterima. Hakim ingin membantu menjadikan kenyataan tujuan ini, karena kehidupan kemasyarakatan sendiri memintanya. Itulah sebabnya bahwa cara penemuan hukum disebut cara penemuan hukum sosiologis maupun teleologis: cara ini menyelidiki kejadian kemasyarakatannya diatur sesuai dengan tujuannya.
455
   Metode ini berguna tidak hanya pada pengaruh yang diakui ada pada tuntutan pergaulan, melainkan juga pada kejadian-kejadian lain. Metode ini juga diterapkan apabila hakim mengambil keputusan “menurut sifat dari perkaranya” (naar de aard der zaak). Ini adalah istilah yang tidak jelas, orang mengartikan bermacam-macam ini dengan istilah itu, Tidak mengherankan bahwa istilah itu sepenuhnya ditolak.218 Namun demikian undang-undang dalam pasal 1339 B.W. yang penting itu menunjuk kepada sifat perjanjian, apabila ia memerintahkan hakim untuk menetapkan apa yang dituntut oleh kebiasaan dan kepantasan pada perjanjian-perjanjian. Ini ada gunanya apabila pagina-165dengan “sifat” itu orang mengartikan tipe (Genis), yang dalam kehidupan kemasyarakatan perjanjian itu masuk ke dalam tipe itu. Orang-orang dapat bergaul satu sama lain dalam hubungan-hubungan yang sangat berbeda dan mereka bebas untuk mengatur hubungan-hubungan itu seperti yang mereka kehendaki, akan tetapi tidak dapat diingkari, bahwa hubungan-hubungan itu dapat diklasifikasi dengan cara tertentu, dapat dikembalikan kepada tipe-tipe dan bagian-bagiannya.
456
Beli, sewa, pemberian perintah, perjanjian kerja adalah tipe-tipe dari perjanjian. Perjanjian penyerahan, beli atas jenis, beli atas percobaan: tipe-tipe dari perjanjian beli; juga dalam pembagian yang lain beli gandum, beli temak dan beli rumah. Setiap tipe dalam kehidupan bersama digarap dengan cara tertentu. Fihak-fihak bebas untuk membuatnya seperti yang mereka kehendaki, akan tetapi ada suatu keajegan (regelmaat) tertentu.
457
Apabila keajegan itu sendiri dianggap mengikat, maka ada hukum kebiasaan; apabila dari tujuan tipe yang ada dalam kehidupan kemasyarakatan itu disimpulkan suatu keputusan, karena keputusan itu yang paling sesuai dengan tujuan itu, maka kita dapatkan suatu penilaian menurut sifat dari perjanjian. Demikianlah keputusan, bahwa pada perjanjian penyerahan dimungkinkan ,pemutusan sebagian, adalah keputusan menurut sifat dari perjanjiannya.219 Dan “sifat” perjanjian antara orang yang memborongkan dengan arsitek, fungsi kemasyarakatan dari yang akhir itulah yang menjadi pedoman bagi Hof Den Haag pada suatu keputusan mengenai batas-batas keterikatan orang yang memborongkan kepada perbuatan-perbuatan si arsitek.220
458
   Sifat itu tampil lebih kuat ke depan apabila kita menghadapi lembaga-lembaga221 seperti hak milik atas tanah, perkawinan dan lain-lain, yang telah berkembang dalam kehidupan kemasyarakatan. Lembaga-lembaga itu mempunyai fungsi dalam hidup, yang mengakibatkan peraturan-peraturan hukum tertentu.
   Ini semua memperlihatkan pentingnya fakta kemasyarakatan untuk penemuan hukum. Akan tetapi juga memperlihatkan, bahwa di sini ruang gerak hakim luas, lebih luas daripada metoda-metoda lain yang ia ikuti. Kenyataan ini sendirilah yang memaksa kita untuk berhemat dengan penggunaan metoda ini. Seorang yang mencari hukum, mencarinya dalam keterikatan;222
tuntutan pergaulan”, “sifat perkaranya”, adalah istilah-pagina-166istilah, yang karena kekaburannya, begitu mudah mengakibatkan kesewenang-wenangan.
459
   Akan tetapi, jika saya mengutarakan hal ini, saya akan segera menempatkan di sampingnya, bahwa ada penemuan hukum atas dasar faktor-faktor yang lain, mengindahkan kejadian-kejadian kemasyarakatan adalah paling penting. Bukan kejadian kemasyarakatan sendiri, melainkan dengan menggunakan analogi dan penghalusan hukum, pada waktu orang mencari garis historis dan pada pertimbangan sejauh mana dalam garis itu dapat diambil langkah lebih jauh, hakim akan harus mengenali secermat mungkin kejadian-kejadian kemasyarakatannya, bentuk-bentuk yang dipergunakan pada kejadian-kejadian kemasyarakatannya itu, juga harus menyelidiki bagaimana aliran-aliran dan usaha-usaha yang menampakkan diri dalam kehidupan itu paling baik mencapai tujuannya.223
460
   Pada kegiatannya itu hakim terikat kepada tujuan-tujuan yang diakui dalam sistem hukum. Bukanlah tugasnya, melainkan tugas dari pembentuk undang-undang, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang radikal di sini kalau diperlukan.224 Di mana dalam kehidupan kemasyarakatan kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan berbenturan, maka pembentuk undang-undanglah, bukan hakim, yang harus memutus. Akan tetapi dalam batas-batas yang ditetapkan oleh sistem, dalam gerak maju perlahan-lahan, orang yang mencari hukum harus juga mengingat perubahan-perubahan yang sehari-hari terjadi dalam kehidupan kemasyarakatan.
461
   Kita harus membatasi diri pada pengamatan-pengamatan umum ini. Baru materinya sendiri gagasan-gagasan ini dapat dikerjakan lebih lanjut dengan contoh-contoh. Di sini tinggal masih harus dicurahkan perhatian pada suatu metoda penafsiran teleologis yang sifatnya agak berbeda. Yaitu ini: bahwa bukannya tujuan dari perbuatan dalam masyarakat yang diselidiki, melainkan tujuan dari suatu ketentuan khusus yang ditanyakan. Di dalam perbuatan kemasyarakatan pembentuk undang-undang mengadakan tindakan; ia ingin mengarahkannya. Orang dapat menyelidiki isi dan luasnya perintah-perintahnya, orang dapat juga bertanya: apa yang pada umumnya ingin dia capai dengan perintah-perintahnya itu? Pertanyaan itu ditanyakan oleh si penafsir kepada dirinya sendiri, apabila ia menyelidiki kemungkinan diadakannya analogi; akan tetapi dia juga dapat menanyakannya pada waktu menetapnya arti suatu peraturan konkrit. Suatu contoh yang baik mengenai pagina-167itu diberikan oleh H.R. mengenai pasal 60 Undang-undang Kepailitan.225
462
Pada kepailitan dapat bertabrakan kepentingan-kepentingan pada kreditur. Si isteri harus dapat mempertahankan jaminan-jaminan yang ia janjikan terhadap suami, juga terhadap para kreditur suaminya, akan tetapi para kreditur harus dibebaskan dari akibat-akibat suatu persengkokolan yang tidak mustahil antara suami-isteri yang merugikan mereka. Pembatasan hak-hak dari kedua belah fihak dalam hal ini diberikan oleh pasal 60 Undang-undang Kepailitan (Fw.). Di situ batas-batasnya tidak jelas sekali. Ketika kemudian H.R. harus menunjukkan batas-batas lebih jauh maka menyimpang dari metodanya yang lazim yang langsung menilai sarana-sarana kasasinya sendiri, ia mulai dengan menguraikan tentang pertentangan kepentingan, tujuan dari pasalnya dan penunjukan pada umumnya kepada kewenangan-kewenangan para kreditur dan suami.
463
Keputusan itu jelas merupakan keputusan yang diberi 'pertimbangan paling bagus dari tahun-tahun terakhir ini. Suatu perumusan lebih lanjut dari tujuan peraturan, penimbangan kepentingan-kepentingan yang di sini saling bertabrakan, seperti yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, dan kemudian lalu keputusan yang lebih konkrit yang dikaitkan kepadanya— itu adalah suatu metoda yang diharapkan orang H.R. akan lebih banyak menerapkannya. Juga ini dapat disebut interpretasi teleologis—akan tetapi juga ini tidak berdiri sendiri, melainkan mendapat pelengkapannya dalam pertimbangan-pertimbangan mengenai bahasa dan sejarah.
464

§ 26 Arti fakta kejadiannya.

   Kita sudah berbicara mengenai fakta-fakta dari masa lalu; kita tunjukkan betapa tergantungnya apa yang menurut hukum harus terjadi kepada apa yang dulu dilakukan orang-orang lain dalam kejadian-kejadian sejenis (hukum kebiasaan); juga pentingnya kejadian kemasyarakatan, di mana fakta itu terjadi, kita selidiki, bagaimana dalam perjalanan waktu muncul tuntutan-tuntutan yang minta pemenuhannya, tujuan-tujuan diusahakan dicapai, yang anya dengan pertolongan hukum dapat dijadikan kenyataan. Sekarang kita masih harus memperhatikan fakta-fakta dari kejadian sendiri. Itu juga penting untuk penemuan- hukum.
465
   Pada penglihatan pertama itu nampaknya aneh. Kita harus mencari peraturannya untuk mengadili kejadiannya, untuk menemukan keputusan pagina-168yang tepat dalam pertentangan pernyataan-pernyataan, di, mana atas dasar fakta-fakta tertentu yang satu menuntut prestasi dari yang lain. Bagaimana peraturan-peraturan itu dapat terletak dalam fakta-faktanya sendiri? Kita menanyakan suatu ukuran untuk kejadiannya, bagaimana kejadiannya sendiri dapat memberikan ukuran itu?
   Keragu-raguan yang timbul dari pertanyaan ini beralasan. Penilaian adalah suatu silogisma, mayornya—di mana pun juga kita mungkin menemukannya —tidak dapat terletak dalam minornya sendiri.
466
Dalam pada itu, dengan demikian itu ditunjukkan, bahwa fakta-fakta dari kejadiannya tidak pernah dapat memberikan peraturan yang akan dipakai untuk menilai kejadiannya, tidak menunjukkan, bahwa fakta-fakta itu untuk keputusannya hanyalah penting sebagai obyek dari penilaian. Ini barulah benar, bilamana keputusan itu diketemukan dengan jalan subsumsi kejadiannya di bawah peraturannya saja. Akan tetapi tidak demikianlah halnya, itu sudah berulang kali kita tunjukkan.226
467
   Di dalam keanekaragaman gejala-gejalanya, yang menjadi dasar dimulainya suatu acara, hakim mencari fakta-faktanya yang penting untuk penilaiannya. Ia tidak dapat melakukan itu tanpa bertitik tolak dari suatu peraturan, suatu keputusan yang dipikirkan—kalau tidak mengapa fakta ini relevan dan yang itu tidak? Di dalam .peradilan kita hanya dapat melihat fakta-faktanya dari , dalam peraturannya, keputusannya.
   Akan tetapi sebaliknya kita melihat peraturan yang kita jadikan sarana penilaian juga hanya dari fakta-faktanya. Siapa yang harus menilai suatu kompleks kejadian-kejadian dan pertentangan hukum yang terjadi dari fakta-fakta itu, harus mencari peraturannya yang akan dia terapkan. Peraturan itu tidak tersedia sudah jadi di mukanya. Memang betul diberikan peraturan-peraturan, akan tetapi bukan peraturan yang tepat untuk kejadiannya. Di samping itu peraturan-peraturan tersebut terus-menerus diubah bentuknya. Kalau tidak demikian bagaimana seorang yang mencari hukum akan dapat menemukan peraturannya yang benar selain dengan menggunakan kejadiannya sebagai titik tolaknya?
468
   Akan tetapi jika kita menerima hal ini, maka kita juga harus menerima, bahwa kejadiannya sendiri ikut menentukan keputusannya, bahwa barang siapa yang memeriksa fakta-fakta itu melihat suatu penyelesaian, yang baginya pada penglihatan pertama nampak sebagai penyelesaian yang tepat, suatu penyelesaian yang harus dikaji dan tidak dapat diterima sebelum bagi pagina-169penyelesaian itu diketemukan tempat di dalam sistemnya, suatu pertanggungjawaban logis dari (dalam) suatu peraturan, akan tetapi yang untuk sementara memuaskan baginya, yang seperti dikatakan orang, tepat untuk kejadian itu. Kalau tidak demikian bagaimana kita boleh mengatakan bahwa kejadiannya diputus menurut hukum? Ini tampak kepada saya inti yang tepat dari apa yang disebut hukum dari kenyataan.
469
   Hijmans pada waktu dulu mengundangkan seruan yang memikat hati. 227Dengan istilah itu diartikan segalanya. Ada orang-orang yang menyamakan hukum dari kenyataan dengan hukum positif dalam arti sosiologis 228untuk orang-orang lain istilah itu adalah suatu semboyan untuk pengakuan unsur-unsur riel dalam kehidupan hukum, dari arti kejadian kemasyarakatan, pergaulan dan apa pun lainnya, untuk pembentukan hukum. Istilah itu memuat kesemuanya ini, juga menurut maksud dari penciptanya, akan tetapi apa yang sebetulnya ia maksudkan, kalau penglihatan saya benar, tidak ditunjukkan. Bagi Hijmanshukum dari kenyataan” adalah pertama-tama penyandaran pada pengertian intuitif mengenai kejadiannya, suatu keputusan menurut pengertian (inzicht) itu.
470
Ia menyebutkan: menilai menurut perasaan hukum dan membedakannya dengan tegas dari kesadaran hukum.229 Istilah “perasaan hukum” lebih baik saya hindari, istilah itu mendua arti (berwayuh arti) dan istilah itu tidak hanya menyangkut “merasa” melainkan juga meliputi pengamatan dan penilaian intuitifnya. Kita harus “menyelami dari segala sisi” kejadiannya, seperti yang dikatakan oleh penulisannya lebih jauh, artinya kita mengetahui sebaik-baiknya apa yang terjadi, berusaha mengerti sebaik-baiknya apa yang dilakukan dan dimaksudkan oleh orang-orang yang bersangkutan—lalu suatu keputusan dalam arti satu atau lainnya memaksakan dirinya kepada kita. Suatu keputusan, —dan di sinilah terletak unsur perasaannya—yang kita nilai “adil” yang memuaskan hati kita.
471
   Akan tetapi apakah dalam hukum kita menilai tidak menurut suatu peraturan? Apakah justru tidak di situ letaknya perbedaannya dengan penilaian menurut keadilan, juga perbedaannya dengan penilaian menurut keadilan,. juga perbedaan dengan penilaian susila?230 Tentu—dalam hukum kita tidak dapat mencukupkan dengan penilaian intuitif, hukum minta perpagina-170tanggungjawaban dan pertanggungjawaban lewat jalan yang rasional. Kita selalu mencari keduanya: baik secara intuitif melihat tepatnya keputusan, karena keputusan itu memuaskan penilaian kita mengenai apa yang konkrit seharusnya dalam kejadian itu, maupun menurut akal sehat suatu penjelasan mengenai keputusannya dari faktor-faktor yang mempunyai wibawa. Apabila kita tidak dapat menemukan yang akhir itu, maka kita lalu meragukan yang pertama, akan tetapi jika pebgembalian kepada faktor-faktor itu sudah berhasil, disusun suatu pernyataan rasional yang dapat dibela—dan untuk seorang sarjana hukum yang terpelajar hal itu biasanya tidak begitu sulit-akan tetapi jika yang pertama, yaitu penerimaan intuitif tidak beres, maka keputusan itu akan tidak memuaskan dan kita mencari sesuatu lain.
472
   Kita menilai selalu sekaligus meraba-raba dari kejadian ke kejadian dan menurut peraturan-peraturan yang sudah tersedia.
   Ini menjadi jelas apabila kita sekali lagi ingat apa yang misalnya terjadi pada analogi dan penghalusan hukum231
hakim memperluas suatu peraturan melebihi isi yang ada menurut arti ilmu bahasa, atau ia membatasinya. Bagaimana ia sampai berbuat seperti itu? Dia melihat kejadiannya dan dia tahu peraturannya, menerapkan secara harfiah peraturan itu ia tidak dapat, akan tetapi untuk kejadian ini ia menghendaki keputusan seakan-akan peraturan itu dapat diterapkan, jadi ia memperluas peraturan itu. Mengapa dan kapan ia boleh berbuat demikian sudah kita tunujukkan di atas. Akan tetapi ia tidak berbuat in abstracto, terlepas dari kejadiannya, melainkan ia lakukan itu ke arah kejadiannya. Justru hal yang sama berlaku pada penghalusan hukum.
473
Di sinilah terletak arti fakta-fakta dari kejadiannya. Itu akan kecil arti pentingnya dalam pembicaraan kita ini, andaikata peraturannya sudah tersedia tidak berubah, ketat mutlak dan menurut kata orang hanya harus “diterapkan” saja. Akan tetapi peraturannya mengubah dirinya, penerapannya adalah pembentukan hukum dan oleh karenanya pembentukan itu terjadi juga berdasarkan kejadiannya. Apakah tidak setiap orang tahu, bahwa peraturan-peraturan baru dalam kehidupan hukum selalu merintis jalannya berdasarkan kejadian-kejadian yang menonjol?
474
Apakah ini tidak berarti lain daripada bahwa kejadiannya sendiri sedemikian menyodorkan suatu penyelesaian dalam arti tertentu, sehingga karenanya penilaian yang harus diucapkan dengan meniadakan peraturan yang lama? Andaikata persaingan tidak jujur dari penerbit buku yang menyuap pelayan pesaingnya tidak sedemikian tidak pagina-171pantasnya—siapa tahu apakah kita memperoleh keputusan tahun 1919 itu? Di dalam kejadiannya sendiri—bagi orang yang melihatnya—dapat terletak penyelesaiannya. Adalah jasa Hijmans-lah yang pertama menunjuk hal ini dengan tegas.
475
   ”Bagi siapa yang melihatnya”—sebab penglihatan ini tidak selalu ada pada setiap orang dan tidak seorang pun memperolehnya tanpa usaha/bersusah payah. “Kejadian-kejadian yang menonjol”, yang setiap orang mendengar apa yang dimintanya adalah langka. Latihan, yang dapaat memperoleh dengan cara yang tidak lebih baik daripada dengan membandingkan nuansa-nuansa yang tidak terhitung jumlahnya yang diberikan oleh kenyataan, mempertajam pengetahuan kita.
   Betapa tidak seringnya terjadi, bahwa suatu kejadian terjadi sebagai suatu contoh sederhana dari suatu tipe tertentu, suatu tipe seperti yang sudah kerap kali diadili, yang peraturannya sudah tersedia dan bahwa bagaimanapun sekonyong-konyong timbul keragu-raguan: apakah itu tepat, apakah tidak ada sesuatu dalam kejadian yang menyimpang dan menutup penerapan peraturan yang tersedia itu? Maka ilmu lalu mencari dan mencoba untuk membenarkan penyimpangan itu dengan minta pertolongan kepada peraturan-peraturan lain, yang menerangkan pengecualiannya. Karena itu yang satu mencari jalan ini, yang lain jalan lain. Akan tetapi semuanya mempunyai tujuan yang sama. Bagaimanapun itu mungkin, andaikata kejadiannya tidak menunjukkan hal ini kepada mereka? Contoh-contohnya mudah didapat. Kita tunjuk ke § 2.
476
   Fakta-fakta dari kejadiannya ikut menentukan peraturannya. Itu berlaku lebih .kuat dari biasanya apabila hakim diberi kebebasan untuk memutus “menurut keadaan”, “menurut keadilan”. Semakin umum istilahnya, semakin luas tempat untuk penilaian individual. Tempat untuk penilaian individual itu paling luas apabila, seperti halnya pada perintah kepada wasit yang dalam penilaian menurut kepantasan dilihat suatu kebalikan dengan penilaian menurut peraturan hukum. Pasal 631 Rv.. bertitik tolak dari kebalikan itu.232 Akan tetapi juga dengan demikian tetap menjadi tugas dari siapa yang mencari hukum untuk menyelidiki apakah keputusannya mentoleransi generalisasi. Suatu keputusan hukum, berlainan dengan penilaian moral, tidak pernah mumi individual.
477
   Menurut sifatnya setiap keputusan menuntut generalisasi. Apabila sesuatu itu bagi A adalah hukum, maka hal itu harus juga hukum bagi B dalam hubungan-hubungan yang sama. Di dalam pembedaan dari apa yang dalam hubungan-hubungan itu sama atau tidak sama itulah terletak kesulitannya. pagina-172Tugas sarjana hukumlah untuk dengan penguraian mencari, apa yang dalam penilaian itu mentoleransi generalisasi dan karenanya juga dapat penting dalam kejadian-kejadian yang lain dan apa yang harus dimengerti mumi individual. Bagi orang yang menelusuri hukum peradilan ini adalah Inggris ini merupakan pusat kegiatannya.233 Juga di negeri kita pada penyandaran pada yurisprudensi yang banyak terjadi hal ini semakin besar artinya.
478
   Keputusan dari tahun 1919 mengenai perbuatan melawan hukum dalam tujuan dan rumusannya mempunyai tendensi umum yang kuat, fakta-faktanya untuk perhatian kita sepenuhnya di desak ke latar belakang, akan tetapi hal itu tidak menghapus fakta, bahwa hakim, pada saat harus memberikan keputusan, harus membuat loncatan dari interpretasi yang baru, harus mengarahkan matanya pada fakta-fakta itu dan fakta-fakta itu menjadi ada artinya untuk keputusannya, pada umumnya tidak dapat dikatakan tanpa mengetahui mengenai kejadiannya dalam ruang sidang; dalam hal ini tidak terbukti apa pun dari keputusan itu.
479
   Kita sudah mengatakan, bahwa kita selalu mencoba untuk mengembalikan suatu kejadian kepada suatu peraturan. Namun terjadi juga, bahwa hakim tidak berhasil melakukannya. Itu terbukti paling jelas di tempat-tempat di mana undang-undang memberikan ruang gerak yang luas kepada hakim; pada pengertian-pengertian seperti kesalahan, itikad baik, dan sebagainya. Dapat terjadi, bahwa hakim menemukan atau membuat peraturannya dan dari situ meyimpulkan, bahwa kejadiannya harus diputus begini atau begitu. Dapat juga terjadi bahwa ia menjumlah fakta-faktanya lalu berkata: barang siapa berbuat begitu mempunyai kesalahan, tidak beritikad baik, bertentangan dengan tata susila. Lalu ia tidak menunjukkan apa yang umum dan apa yang khusus dalam keputusannya. Barangkali ia tidak dapat menunjukkannya, ia merasa keputusannya hanya sebagai keputusan yang tidak dapat dihindari. Orang-orang sesudah dia lalu dapat melihat apa yang dalam keputusan itu dapat mengakibatkan formula yang mempunyai ruang lingkup yang lebih umum.
480
   Khususnya harus diindahkan apa yang individual dari keputusannya, dalam hal hakim tidak mempergunakan norma-norma umum, melainkan peraturan-peraturan konkrit yang ditentukan oleh fihak-fihak. Penafsiran perjanjian atau surat wasiat adalah pencarian hukum, di mana tidak hanya kejadian nyatanya khusus, melainkan juga peraturannya khusus. Akan tetapi di sini obyek yang pagina-173masuk ajaran perjanjian dan pernyataan kehendak terakhir. Di sini di dalam pengantar umum ini masih ada suatu hal yang minta perhatian kita.
481

§ 27 Kesadaran hukum

   Sampai sekarang kita tidak mengatakan apa-apa mengenai suatu faktor pada penemuan hukum, yang menurut beberapa orang seharusnya menempati tempat yang paling sentral, yaitu kesadaran hukum. Sekarang, setelah kita menelusuri semua faktor-faktor yang menentukan keputusan, kita harus mencurahkan perhatian kita pada butir yang satu itu. Dengan istilah kesadaran hukum lalu orang tidak memandangnya sebagai penilaian hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang hidup dalam manusia mengenai apa yang hukum, atau apa yang seharusnya hukum, suatu kategori tertentu dari kehidupan kejiwaan kita, yang menyebabkan kita dengan evidensi langsung lepas dari lembaga-lembaga positif,. membedakan antara hukum dan bukan hukum, seperti kita membedakan antara benar dan fidak benar, baik dan buruk, cantik dan jelek. Menurut para ahli yang saya ketahui, kesadaran hukum ini adalah sumber dari semua hukum. Demikianlah misalnya Krabbe.234
482
   Seorang dari mereka yang menganut pendapatnya, Kranenburg, beranggapan bahkan telah menemukan “wet” berfungsinya kesadaran hukum ini. “Setiap anggota masyarakat”, demikianlah ia katakan 235
terhadap pembagian syarat-syarat rasa senang dan tidak senang (lust en onlust) sama dan sebanding, sepanjang ia tidak menciptakan sendiri syarat-syarat untuk terjadinya rasa senang dan tidak senang khusus: sekian banyak rasa senang dan tidak senang sesuai dengan syarat-syarat yang diciptakan oleh masing-masing orang menjadi bagiannya. Ini adalah wet kesadaran hukum yang terakhir; menurut ukuran inilah diadakannya penilaian kepentingan-kepentingan; menurut ukuran itulah kepentingan setiap orang ditimbang; penimbangan dan pertanggungjawaban ini adalah fungsi yang sesungguhnya dari hukum.
483
   Sekarang saya mempunyai banyak keberatan dan keberatan-keberatan penting. baik terhadap kesimpulan ini maupun terhadap metoda diketemukannya kesimpulan itu, yaitu metoda empiris-analitis, yang beranggapan dari sejumlah besar penilaian hukum dapat menarik suatu pagina-174kesatuan pembagi terbesar, yang sebagai “wet” akan menguasai semua penilaian-penilaian ini. Gagasannya saja, bahwa ada aturan umum (algemene wettelijkheid) seperti itu, yang bagi Kranenburg bukannya hasil penyelidikan, melainkan titik tolak dan aksioma, saya anggap tidak dapat ditoleransi.
484
Gagasan itu bertumpu pada anggapan, bahwa apa yang seharusnya kita lakukan sepenuhnya dapat ditentukan oleh suatu penyelidikan intelektual dan bahwa kebenaran tertinggi terdapat .dalam suatu gagasan umum atau dalil, yang dengan deduksi itu ditemukan kebenaran konkrit gambaran-gambaran yang merupakan bagian dari suatu pandangan kebenaran dan pandangan hidup yang intelektualistis dan rasionalistis, yang sepenuhnya saya tolak. Akan tetapi di sini bukan tempatnya untuk mendalaminya lebih lanjut dan bukan pula tempatnya untuk suatu kritik terhadap filsafat hukum Kranenburg pada umumnya.236 Saya hanya harus mengetengahkan hal ini, karena saya menganggap wajib memberikan pertanggungjawaban terhadap Kranenburg, mengapa saya dengan bertitik tolak dari pendirian yang lain dari pada dia, saya tidak dapat memberikan tempat kepada yang ia tuntut bagi dalilnya. Di sini kita hanya harus menelusuri apakah kiranya arti dari hukum ini dan “aksioma kesebandingan (evenredigheidspostulaat)” pada penemuan hukum, yaitu hukum in concreto.
485
   Secara ringkas adalah ini: bahwa aksioma kesebandingan itu adalah asas hukum dan justru suatu asas hukum yang bernilai tinggi dan luas jangkauannya, yang mempunyai arti yang kita akui ada pada asas-asas hukum pada umumnya di atas, tidak lebih kecil, tetapi juga tidak lebih besar dari itu. Menurut pendapat saya adalah usaha yang sia-sia untuk menemukan kembali di mana-mana asas keseimbangan ini, asas “do ut des”, asas tukar dan kesamaan nilai dasar. Menurut pendapat saya itu tidak menerangkan baik mengenai wibawanya—di mana nilai dari apa yang secara historis di bawa serta, bagaimana menemukan kemungkinannya memilih hukum perkawinan—tidaklah perkawinan berlangsung dan seharusnya berlangsung apabila “ketidaksenangannya” jauh melampaui “kesenangannya”?
486
pasti, kesamaan harga itu, kalau saya menghadapi pertanyaan, siapa yang 'harus memutus kalau ada perbedaan pendapat, suami atau orang ketiga?—maupun hak milik—yang perolehan (voortbrenging) nampaknva merupakan satu-satunya alasan pembenarannya—maupun hukum waris, yang Kranenburg sendiri tidak mengerti betul bagaimana dan yang memang ia tegaskan, bahwa pagina-175oleh kesadaran hukumnya dan barang kali juga oleh kesadaran hukum dari banyak teman-teman sebaya kita tidak mudah dapat diterima, tetapi tidak, bahwa untuk kesadaran hukum dari segala waktu hal itu tidak dapat diterima—maupun akhirnya keterikatannya kepada perjanjian.
487
Perbedaan antara Kranenburg dan saya barangkali kelihatan paling jelas dalam kejadian yang terakhir ini. Sependapat dengan rekan sejawat saya, saya akui arti dari asas keseimbangan dalam hukum perjanjian. Akan tetapi berlainan sekali daripada menjadi dasar dari keterikatan kepada perjanjian, asas itu menurut pendapat saya justru memberi batas dari keterlibatan. Asas keseimbangan menuntut ekuivalensi dari prestasi—asas keterikatan kepada kata-kata yang diucapkan menuntut dipegangnya kata-kata itu, juga apabila tidak ada ekuivalensi. Dalam sistem hukum kita perjanjian-perjanjian itu pada umumnya mengikat—pada pengecualian yang khusus sekali perjanjian tidak mengikat, bilamana keseimbangan nilai prestasi-prestasinya terputus (tidak ada).
488
Asas itu menjadi dasar dari batalnya perjanjian dalam hal salah satu fihak terlalu diuntungkan dalam hak yang lebih dulu (sebelumnya); asas itu mempunyai arti untuk ajaran kesesatan, akan tetapi keterikatan kepada kata-kata yang diucapkan tidak pernah dapat disimpulkan dari suatu asas, yang menghapus keterikatan itu dalam kejadian-kejadian tertentu. Seperti yang kerapkali terjadi, ini adalah kecenderungan untuk mengembalikan semua gejala kepada satu gejala dan untuk melihat satu-satunya pengetahuan yang mungkin di dalamnya, yang meniadakan pandangan polos pada hukum dan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat ditoleransi.
489
   Ada lebih banyak asas yang kita ikuti pada penemuan hukum, penimbangan yang satu terhadap yang lain pada waktu memberikan keputusan konkrit senantiasa menjadi tugas orang yang mencari hukum. sejarah hukum menunjukkan sederetan keputusan-keputusan yang berulangkali berubah-ubah, di mana kadang-kadang asas yang satu dan kadang-kadang asas yang lain lebih berat bobotnya. Hukum perjanjian, dan arti ekuivalensi dari prestasi dalam hukum perjanjian dalam berbagai sistem hukum, memberikan contoh yang pantas menjadi pelajaran mengenai asas-asas itu.
   Akan tetapi apakah dengan penolakan dalil kesadaran hukum juga ditolak pula arti dari kesadaran hukum sendiri sebagai faktor untuk penemuan hukum? Dengan sendirinya pertanyaan itu harus dijawab tidak. Sekarang kita harus menyelidiki apa arti kesadaran hukum sebagai faktor untuk penemuan hukum
.
   Istilah kesadaran hukum berwayuh arti. Pertama-tama istilah itu menunjukkan suatu kategori dari kehidupan kejiwaan individual, akan tetapi sekaligus berguna untuk menunjukkan apa yang sama-sama ada dalam
pagina-176penilaian-penilaian dalam suatu lingkungan tertentu.
490
Apabila saya melihat ketidak-adilan dan saya melawannya, maka saya berkata, bahwa kesadaran hukum saya bertolak terhadap ketidak-adilan itu—akan tetapi dalam arti yang kedua saya pakai kata itu, jika saya mengatakan, bahwa kesadaran hukum menuntut perbaikan keadaan golongan pekerja. Sekarang arti rangkap ini mudah dapat dimengerti. Sebab dengan penilaian susila kesadaran hukum perbedaannya justru dalam hal ini, yaitu bahwa kesadaran hukum tidak hanya mencela perbuatan atau keadaan, melainkan juga menghendaki bahwa masyarakat melawannya.237 Penyandaran pada penilaian orang lain, sesama anggota dari masyarakat yang sama, terletak dalam sifat dari penilaian hukum. Jadi dapat dimengerti, bahwa dicari suatu penilaian bersama dan juga penilaian bersama itu dipertanggungjawabkan kepada kesadaran hukum yang sama itu.
491
   Dalam pada itu, dalam pembicaraan kita ini keduanya harus kita pisahkan. Karena generalisasi istilah itu kehilangan isi perasaannya yang sesungguhnya.
   Apabila sekarang kita menanyakan apa nilainya kesadaran hukum individual untuk penemuan hukum, maka pertanyaan itu tidak lain daripada pertanyaan bagaimana keputusan mengenai apa yang hukum itu terjadi, suatu pertanyaan yang akan dibicarakan dalam paragraf berikutnya. Di sini pertanyaannya pada tempatnya, apa artinya penilaian dari lingkungan, kesadaran hukum dalam arti kedua yang dimaksudkan di atas, bagi penemuan hukum.
492
   Menurut pendapat saya jelas tidak benar, bahwa—seperti yang dinyatakan oleh Krabbeisi dari kesadaran hukum itu adalah hukum. Sudah karena alasan ini hal itu tidak benar, karena adanya isi umum dari kesadaran hukum suatu bangsa seperti itu tidak dapat ditunjukkan. Kita tidak berhak untuk mengatakan, bahwa kesadaran hukum dari semua orang, dan juga tidak berhak mengatakan bahwa kesadaran hukum dari suatu mayoritas, menuntut ini atau itu. Kita tidak tahu apa-apa mengenai hal itu. Apa yang kita sebut “kesadaran hukum” dalam hubungan ini adalah tidak lain daripada suatu gambaran yang sedikit kabur mengenai apa yang seharusnya hukum, tidak lebih daripada pendapat umum. Sistem parlementer berusaha mencari metoda untuk mengenalnya dan mendistilasi peraturan undang-undang dari dalamnya. Alangkah tidak sempurnanya hasilnya! Akan tetapi di luar itu kita sangat sedikit mengetahui tentang keyakinan rakyat atau keyakinan dari mayoritas.
493
Kita tidak pernah dapat menyatakan, bahwa keputusan satu atau lainnya mengenai suatu kejadian konkrit dituntut oleh kesadaran hukum rakyat. pagina-177Untuk keperluan itu keputusan sedemikian itu menghendaki sekali pengetahuan dari segala keadaan, penimbangan semua faktor-faktor, yang menunjuk kepada suatu arah. Ini hanya dapat terjadi setelah pertimbangan yang masak, suatu penilaian sepintas 1aIu dari seorang awam tidak ada harganya untuk keputusan seperti itu. Kita tidak sampai lebih jauh daripada keyakinan umum yang kabur mengenai apa yang pada umumnya seharusnya. Dan bahkan untuk keyakinan-keyakinan seperti itu sangat sukar untuk menentukan apakah didukung oleh orang banyak dan lebih-lebih apakah itu keyakinan-keyakinan hukum, dan tidak lebih banyak ucapan-ucapan yang didiktekan oleh kepentingan pribadi atau kepentingan golongan atau oleh purbasangka.
494
   Generalisasi reaksi dari kesadaran hukum individual dalam suatu kejadian tertentu menjadi suatu peraturan umum dari kesadaran hukum sudah karena alasan berikut tidak mungkin, karena kesadaran hukum baru bicara bilamana seorang manusia dengan kesadaran pertanggungjawaban mengeluarkan penilaiannya. Dalam hal ini penting diperhatikan pemberitaan dari B. Ter Haar Bzn., bahwa hakim Europa di Indonesia yang mencari hukum tidak tertulis yang hidup dalam keyakinan hukum, kerapkali terbentur pada hambatan, bahwa para kepala rakyat tidak mampu untuk memberitahukan isi dari hukum adat, selama kereka tidak ikut mengalami suatu kejadian konkrit dan harus memutusnya.238 Anggapan, bahwa kita pada waktu mencari hukum mengenai pertanyaan tarmaksud akan harus bertumpu pada keyakinan hukum rakyat, tidak mengakui sifat dari keputusan, yang terdapat dalam setiap penilaian hukum; suatu keputusan yang hanya dapat diambil bilamana dirasakan pertanggungjawabannya.239 Tugas sarjana hukumlah untuk meyakininya.
495
   Dengan demikian sama sekali tidak berarti, bahwa kesadaran hukum dalam arti ini selanjutnya —lebih baik saya katakan pendapat umum —untuk penemuan hukum sepenuhnya tidak ada artinya. Siapa yang mencari hukum, mencari suatu peraturan masyarakat. Itu tidak berakibat, bahwa ia harus bertanya kepada masyarakat, apa isinya peraturan itu nantinya, melainkan apakah masyarakat mentoleransi dan menerima peraturan itu. Kesadaran pagina-178hukum terlebih-lebih adalah kesadaran mengenai bukan hukum. Syaratnya boleh ditetapkan, bahwa mereka yang bersangkutan tidak melawan terhadap suatu keputusan karena keputusan itu menimpa mereka sebagai bukan hukum.
496
Kita harus membatasi diri pada yang negatif ini. Justru karena pendapat umum, kehendak rakyat, menurut kata orang juga bukan keyakinan yang dibatasi secara tajam mengenai apa yang seharusnya, melainkan suatu dorongan yang kabur untuk mencapai apa yang dilihat secara remang-remang:
une volonte d'aspiration, d'adhesion, de sujetion,
seperti yang ditegaskan oleh Maurice Hauriou240, maka pendapat umum itu bukan dasar dari hukum, akan tetapi memang penting untuk pertanyaan apakah suatu peraturan yang dirancang dapat menjadi hukum yang menetap.
497
Apabila pendapat umum tidak menerimanya, melawannya, maka peraturan itu lama-kelamaan tidak dapat ditoleransi.241 Dalam Injil Matheus terdapat cerita, bahwa Nabi Isa setelah menyatakan bahwa pada asasnya perkawinan itu tidak dapat diputuskan, atas pertanyaan mengapa Musa mengizinkan perceraian asalkan kepada si wanita diberikan surat cerai, menjawab: “karena kekerasan hatimu, akan tetapi pada mulanya tidak seperti itu”. (XIX:7). Barang siapa terpanggil untuk mencari hukum harus bertanya kepada dirinya sendiri, apakah kekerasan hati dari masyarakat mentoleransi peraturan yang pada asasnya tepat yang ia rencanakan itu.
498
   Untuk hukum perdata ini semuanya terutama penting, di mana undang-undang memberikan kebebasan yang luas kepada hakim. Demikian misalnya pada batalnya perjanjian-perjanjian yang bertentangan dengan tata susila. Menurut Ch. Petit dalam disertasinya yang penting mengenai hal ini,242 pandangan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang sesuai dengan ajaran Krabbe-lah yang di sini yang menyebabkan keputusan itu. Dia menyerah kepada ilusi kekanak-kanakan bahwa penilaian mayoritas menghapus perbedaan-perbedaan subyektif yang berlainan dan yang tinggal adalah unsur obyektif, faktor keadilannya sebagai unsur kebersamaan. Apa keberatan-keberatan saya terhadap ajaran ini, disimpulkan dari yang sudah diutarakan di muka. Akan tetapi dekat sebelumnya243 penulis yang sama mengatakan, bahwa penilaian hukum harus memuaskan para pencari hukum. Ini tampak tepat bagi saya; suatu peraturan yang dilawan oleh kalangan luas sebagai bukan hukum tidak dapat dipaksakan. Ini adalah sesuatu yang sepenuhnya lain daripada penyimpulan peraturan dari pendapat-pendapat umum. pagina-179
499
   Perjanjian perencanaan (opzet-contract), perjanjian di mana para pemborong mengatur penawarannya pada suatu pendaftaran tertentu dan memperjanjikan bahwa orang yang menawarkan paling rendah dan memperoleh pekerjaan itu, membayar ganti kerugian kepada yang lain-lain, di kalangan para pemborong sendiri menyadari apa yang tidak diperbolehkan; sepanjang yang mengenai hal itu dapat diramalkan sesuatu, suatu peradilan wasit dari kalangan ahli-ahli tidak akan menganggap adanya pertentangn dengan tata susila. HR.244 menganggap ada pertentangan dengan tata susila; pertanyaannya sekarang hanyalah: apakah kalangan dari mereka yang bersangkutan dapat menerima hal ini? atau apakah ini terletak jauh di luar pandangan mata mereka, apakah kebalikannya sudah begitu mendarah-mendaging, sehingga mereka jalan terus dan tidak menggubris keputusannya?
500
   Hakim selalu merupakan alat perlengkapan dari masyarakat—keputusannya bukanlah penilaian susila individual, melainkan suatu keputusan yang diberikan dengan kekuasaan, yang mengikat masyarakat. Itu membawa akibat, bahwa dia harus mengenal pendapat-pendapat yang berlaku di antara orang-orang yang tunduk kepada kekuasaan hukumnya, bahwa kepada kemungkinan melawan pendapat-pendapat yang berlaku itu ada batas-batasnya. Batas-batas itu ia bebas. Dan di samping itu masih ada perbedaan antara apa yang dipikirkan umum dan apa yang dipikirkan dalam lingkungan-lingkungan tertentu. Semakin umum pendapat itu meresap, semakin kuat pendapat umum itu.
501
Apabila pendapat umum itu menyangkut suatu golongan tertentu, maka tetap ada kemungkinannya, habwa pembentukan hukum, didukung oleh masyarakat yang lebih besar, mewajibkan kepada lingkungan dari orang-orang yang berangkutan suatu peraturan, yang oleh lingkungan itu, andaikata lingkungan itu berdaulat, tidak akan ditoleransi (dibiarkan). Jadi mungkin saja, bahwa hakim tetap menyebut opzet-contract bertentangan dengan tata susila dan bahwa meskipun demikian para pemborong jalan terus dengan kontrak itu; akan tetapi jika terjadi pertentangan yang sedemikian itu, maka lama-kelamaan masyarakat yang lebih besar, dalam hal ini Negara, akan harus menumpas perbuatan-perbuatan ini degan tindakan-tindakan yang lebih keras atau hakim akan harus menyisih dan harus mengakui, bahwa apa yang dalam hal ini ia nyatakan sebagai bertentangan dengan tata susila tidak dapat dipaksakan kepada mereka yang tidak dapat menerima peraturannya.   Sejauh ini pendapat umum penting untuk penemuan hukum. pagina-180
502

§ 28 Keputasan.

   Tibalah waktunya kita mengikat benang-benang yang sudah kita pintal. Kita telah membicarakan berbagai data yang diperlukan pada penemuan hukum: pertama-tama undang-undang dalam artinya menurut bahasa sehari-, hari, kemudian sejarah teks, tradisi, kebiasaan, analogi dan penghalusan serta apa pun lainnya yang mungkin. Berulang kali kita sampai pada kesimpulan, bahwa suatu skema umum yang tuntas mengenai arti dari data itu bagi:, penemuan hukum, suatu tingkatan antara data-data itu satu sama lain, tidak dapat diberikan. Kita—dan semua negara dengan kodifikasi—bertahun-tahun lamanya hidup di bawah pendapat yang memutlakkan penafsiran undang-undang menurut ilmu bahasa, dengan susah payah kita melepaskan diri dari pendapat itu, atau barangkali saya harus mengatakan kita sedang membebaskan diri dari pendapat itu.
503
Akan tetapi sama halnya kita tidak boleh memutlakkan undang-undang dalam artinya menurut ilmu bahasa, kita tidak boleh memutlakkan tradisi seperti halnya pada madzab Sejarah, atau yurisprudensi seperti halnya pada ajaran presiden. Nilai dari ini semua tetap relatif. Dan suatu tingkatan seperti yang dicoba ditetapkan oleh pasal 1 Kitab Undang-undang Swis245, tidak ada. Kebiasaan tidak ada di belakang sesudah, interpretasi, melainkan juga ikut bicara di dalam interpretasi. Untuk suatu yurisprudensi tetap kadang-kadang penafsiran historis atau sistematis yang lebih diutamakan harus menyisih dan hakim harus mengindahkan peraturan yang akan ia bentuk andaikata ia pembentuk undang-undang tidak saja apabila satu atau lain landasan tidak ada padanya, melainkan ia mencarinya terus-menerus dalam segala karyanya.
504
   Akan tetapi apabila keputusan tidak dapat ditarik dari data tertentu berdasarkan suatu skema logis, lalu bagaimanakah keputusan itu ditemukan? Suatu gambaran tua dapat membantu kita: gambaran timbangan dari Themis. Hakim menimbang, akan tetapi bukannya seperti yang sekarang dibayangkan orang bahwa di tangan yang satu terdapat hak, di tangan yang lain bobotnya yang dicap oleh undang-undang atau kesadaran hukum, melainkan kedua hak itu dipertimbangkan terhadap satu sama lain. Masing-masing dari fihak-fihak melemparkan ke dalam timbangan itu apa yang dapat menentukan bagi kemanfaatannya, apa yang hanya dapat ia tambahkan kepada keyakinan argumentasi; siapa yang haknya terberat bobotnya, itulah yang menang. Apabila gambaran ini menunjukkan dengan jelas penilaian dari hak masing-masing, maka dalam satu segi gambaran itu ada kekurangannya. Gambaran pagina-181itu tidak memperlihatkan, bahwa barang siapa mencari hukum, kita katakan di sini hakim, terlibat sendiri dalam pekerjaan, bahwa penimbangan itu tidak pribadi (onpersoonlijk).
505
Hakim berbuat lain daripada mengamati untuk keuntungan siapa timbangan itu membalik, ia memutus. Keputusan adalah suatu perbuatan yang pada akhirnya berakar dalam hati nurani orang yang melakukannya. Keputusan adalah suatu perbuatan yang diharapkan dari hakim. Bukannya tanpa arti, bahwa dalam keputusan-keputusan kita, setelah ditimbang masak-masak, kadang-kadang setelah “pertimbangan-pertimbangan” yang tidak ada akhirnya (panjang sekali) mengenai apa yang diajukan untuk mengukuhkan keuntungan dan kerugiannya, sebelum dicantumkan kata-kata “menetapkan hukum”.
506
Setelah riak gelombang panjang pandang-pandangan, kata yang minta perhatian untuk keputusan dan di samping itu menunjukkan sifatnya yang khas—lalu keputusannya sendiri: pendek, positif. Menetapkan hukum adalah tugas hakim. Saya percaya, bahwa dalam setiap penilaian ilmiah terdapat lebih daripada pengamatan dan pembuktian logis, namun entah pendapat itu benar atau tidak benar, penilaian hukum adalah lebih dari itu—penilaian hukum tidak pernah dapat dikembalikan kepada kedua hal itu. Penilaian hukum bukanlah penilaian ilmiah, penilaian hukum adalah pernyataan kehendak: harus begini. Pada akhirnya penilaian hukum adalah suatu loncatan, seperti halnya setiap perbuatan, setiap penilaian susila adalah suatu loncatan.
507
   ”Anda seharusnya” atau “anda tidak seharusnya”, “anda boleh” atau “anda tidak boleh”, itulah inti dari setiap keputusan dan konstitutif. Kata seperti itu hanya dapat diucapkan oleh orang yang dalam hati nuraninya yakin akan keputusan itu, Penilaian hukum berakar dalam bagian susila dari kehidupan kejiwaan kita; setiap hakim yang baik selalu berusaha lagi untuk memberlakukan apa yang dalam hati nuraninya sendiri dapat ia pertanggungjawabkan. Sejauh ini setiap penilaian hukum adalah irrasional.
508
   Akan tetapi penilaian hukum itu sekaligus adalah suatu penilaian, yang diucapkan dalam suatu fungsi yang diperintahkan oleh masyarakat. Itu mengandung dua hal: ia harus bertumpu pada wibawa—ia harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Pertanggungjawaban itu hanya dapat terjadi dengan suatu penalaran, yang mempunyai wibawa dalam suatu masyarakat tertentu. Sejauh itu setiap penilaian hukum adalah rasional. Di dalam kewajiban untuk mempertimbangkan, segi dari peradilan ini menemukan sepenuhnya pertimbangkan rasionalnya.
509
   Akan tetapi apabila wibawa ini, seperti berulangkali kita utarakan, adalah relatif, artinya bahwa berbagai faktor berdiri berdampingan yang masing-masing tidak di bawahkan satu sama lain, apakah lalu bukan kesewenang-pagina-182wenangan jika yang satu lebih diutamakan daripada yang lain? Jika sekarang hakim berpegangan pada sejarah, kemudaian berpegangan pada teks dalam arti harfiahnya untuk melumpuhkan pembuktian historisnya?
   Data-data yang sudah kita bicarakan mempunyai wibawa. Akan tetapi wibawa tidak minta apa yang oleh orang Jerman disebut “kepatuhan bangkai”, sehingga barang siapa patuh, membuat dirinya menjadi alat dari orang yang memerintah, melainkan rasa hormat. Hukum hanya dapat ditemukan dengan menghormati undang-undang pertama-tama, dengan menghormati segalanya yang selanjutnya mempunyai wibawa.
510
   Keputusan hukum pasti tidak pernah suatu “kesewenang-wenangan”. Saya letakkan harapan saya pada setiap orang, yang ikut serta dalam peradilan; apabila ia sungguh-sungguh dalam pekerjaannya, maka ia tidak akan pernah mengalaminya sebagai kesewenang-wenangan. Setidak-tidaknya di dalam keputusan yang sesungguhnya dari persengketaan hukum kesewenang-wenangan itu tidak terdapat. Ini akan menjadi lebih jelas lagi, apabila orang memperhatikan, bahwa sebagian dari tugas hakim dalam kehidupan bersama kita memang mempunyai sesuatu yang sewenang-wenang—di mana saja di mana apa yang tidak dapat diukur secara kuantitatif harus ia ubah menjadi angka-angka, di situ ada sesuatu yang sewenang-wenang.
511
Hendaknya orang ingat .kepada ukuran hukuman, juga kepada pemberitahuan ganti kerugian, kalau uang tidak ekuivalen dengan kerugian yang diderita, melainkan hanya sekedar bantuan dan pemuasan. Lalu kerugiannya ditaksir “ex aequi et bono”. Penyebutan ini khas, hakim merasa, bahwa ia meninggalkan bidang hukum: “Sekarang saya katakan f100,-, akan tetapi saya juga dapat mengatakan f150,-”. Akan tetapi juga di sini kesewenang-wenangan itu terbatas. f1000,- akan bukan hakim lagi, dan f1,- juga tidak.
512
   Ada keterikatan: lahiriah dan batiniah. Suatu peni1aian hukum harus selalu muat dalam sistem hukum; yang baru, yang menjadi miliknya sendiri dibatasi oleh semua data dari sistem ini. Yang baru itu hanya dapat diucapkan dengan ragu-ragu harus ada tempat untuk itu. Orang yang mencari hukum dapat menunjukkan arah yang menurut penilaiannya harus ditempuh oleh perkembangan. Sejauh ini penilaiannya, semakin keputusannya menyangkut persoalan-persoalan yang fundamenta1.246
513
Akan tetapi kebebasan lahiriah adalah selalu kebebasan yang terbatas. Kewajiban untuk mempertimbangkan adalah suatu jaminan, .bahwa kebebasan itu tidak disalahgunakan. Karena itu hakim diwajibkan memberi dirinya sendiri dan orang lain pertanggungjawaban pagina-183mengenai penilaiannya, berkewajiban untuk bertanya kepada dirinya sendiri apakah betul dorongan-dorongan apa adanya (zakelijk), artinya pertimbangan-pertimbangan yang mempunyai dasarnya dalam kejadiannya, dan bukan simpati atau antipati terhadap fihak-fihak yang menuntun dia; ia dipaksa untuk menunjukkan, sampai sejauh mana keputusannya sebagai peraturan hukum mentoleransi generalisasi. Itulah sebabnya, bahwa begitu pentingnya alasan-alasan yang menggerakkan hakim disebutkan dalam keputusan, bahwa dia tidak berpuas diri dengan mantera (argumentasi yang tidak membuktikan sesuatu) atau (ungkapan-ungkapan yang terlalu populer).
514
   Betapa mudahnya orang sesat di sini, ditunjukkan oleh cerita dari Hermann Isay di dalam bukunya Rechtsnorm und Entscheidung.247 Ia bercerita mengenai ketua dari suatu pengadilan, di mana dia bekerja sebagai ketua panitera bawahannya. Pada waktu istirahat sekolah ada anak-anak sekolah sedang bermain-main di tempat bermain; salah seorang dari mereka tanpa disengaja melempar batu mengenai muka salah seorang temannya; akibatnya: anak yang terkena batu itu buta sebelah. Ayah dari si korban minta ganti kerugian kepada ayah dari anak yang kurang berhati-hati itu. Pasal 1384 Code (pasal 1367 BW). dipakai sebagai dasar tuntutannya.
515
Majelis pengadilan bersesuaian pendapat, bahwa tuntutan itu harus ditolak. Anak-anak itu pada waktu istirahat ada di bawah pengawasan guru dan ini meniadakan tanggungjawab si ayah. Akan tetapi sebelum keputusan diucapkan ketua pengadilan mengetahui, bahwa tergugat adalah seorang pria yang berusia 65 tahun yang baru 8 tahun kawin. Ini merupakan a1asan baginya untuk menunda keputusannya: apabila orang yang setua itu masih membuat anak, maka ia harus memikul akibatnya, katanya. Ia membuka kembali persidangan dan keputusannya berupa kebalikannya.
516
Saya tidak begitu heran terhadap hakimnya, lebih heran terhadap persetujuan seorang seperti Isay mencarikan contoh yurisprudensi inz. Ia menyebutkan sebagai contoh yurisprudensi ini. Ia menyebutkan sebagai contoh, betapa seringnya “perasaan hukum” itu memutus—saya akan menggunakannya sebagai ilustrasi dari anggapan, bahwa pertimbangan-pertimbangan yang tidak obyektif (zakelijk) kadang-kadang merusak keputusan. Hakim ini terpengaruh oleh kebenciannya terhadap perkawinan pada usia tua. Saya tidak akan membicarakan sejauh mana ini sendiri dapat dibenarkan, pokoknya seharusnya kebencian terhadap perkawinan pada usia tua itu tidak boleh berpengaruh dalam keputusan ini.
517
Sebab, itu tidak ada hubungannya dengan persoalan yang dihadapkan kepada hakim dalam perkara ini. Ini akan segera menjadi jelas, apabila pagina-184pertimbangnnya diucapkan. Suatu pertimbangan seperti: “seorang ayah tidak bertanggungjawab apabila anaknya, di halaman sekolah, di bawah pengawasan guru, karena tidak berhati-hati menyebabkan kerugian, tetapi ia bertanggungjawab jika ia tua dan sudah tua ketika ia membuat anaknya”, jelas tidak mungkin. Antara persoalan pertanggungjawaban dan usia tidak ada hubungan yang dapat kita pikirkan. Suatu keputusan seperti ini berdosa terhadap asas pertama dari keadilan, memperlakukan sama sesama hidup - ayah tua atau muda dalam hal ini sepenuhnya sama.
518
   Pada Isay kasus ini mendapat tempat dalam suatu pembuktian, bahwa pada akhirnya perasaanlah yang menentukan keputusan, alasan-alasan hanya mempunyai arti sekunder. Ia mendasarkan diri pada pengalaman banyak hakim, yang semuanya menyatakan: keputusannya selalu segera jelas mereka lihat, alasan-alasannya baru kemudian mereka cari. Ini mungkin benar untuk banyak orang, akan tetapi tidak berarti, bahwa alasan-alasan itu tidak sudah ikut serta dalam keputusan, juga dalam pandangan intuitif yang ada pada hakim. Argumen-argumen yang berdasar akal sehat dan argumen-argumen perasaan dalam penilaian akhir dapat kita bedakan dengan jalan analisis, dalam kenyataannya hanya ada argumen-argumen yang tidak terpisah.
519
   Menurut segi perasaan dari kehidupan kejiwaan kita, penilaian hukum menyangkut sekaligus pemisahan intuitif antara baik dan buruk, penilaian susila dan dialaminya oleh masyarakat, yang di dalam masyarakat itu hukum ini harus dijadikan kenyataan—menurut akal sehat penilaian hukum menyangkut sekaligus pertanggungjawaban terhadap masyarakat dan wibawa yang berlaku dalam masyarakat itu serta terhadap hati nurani sendiri.
   Terhadap masyarakat unsur akal sehat tampil ke depan, unsur intuitif di tempat kedua. Di dalam jiwa kita (inwendig) hubungannya justru terbalik. Pertimbangan akal sehat dari keputusan hati nurani, betapa pun merupakan keharusan bagi kita sendiri, tidak menyentuh intinya—sebaliknya keluar dapat disaksikan adanya “perasaan hukum”, akan tetapi memindahkannya kepada orang-orang lain tidak mungkin, apalagi membuktikannya.
520
   Menemukan hukum adalah selalu pekerjaan intelektual dan pekerjaan intuitif susila sekaligus. Itu adalah keputusan mengenai apa yang ada dan apa yang harus dalam satu kesatuan dan justru karena itu dibedakan baik dari penilaian susila maupun dari penilaian ilmiah.
   Karena unsur rasional keluar tampil ke depan, maka kerap kali tampaknya keputusannya dapat dikembalikan sepenuhnya kepada “sumber” dari mana keputusan itu dinyatakan mengalir. Kita sudah menunjukkan, bahwa ini adalah semu (tampaknya saja). Akan tetapi sebaliknya sekarang kita tidak boleh mengatakan, bahwa perasaan hukumlah yang mendiktekan
pagina-185keputusannya dan bahwa teks-teksnya lalu dicarikan. Juga hakim, yang secara intuitif langsung “melihat” keputusannya setelah suatu perkara dihadapkan kepadanya, juga meskipun dia belum tahu persis bagaimana dia akan memberi pertimbangannya, di dalam pandangan intuitifnya itu ia menggunakan pengetahuannya, di dalam pandangan hukumnya—pengalamannya seluruhnya.
521
Juga mengenai para cendikiawan orang bercerita, bahwa mereka melihat penyelesaian-penyelesaian problema-problema, sebelum mereka dapat membuktikannya. Akan tetapi ini tidak menutup fakta, bahwa hanya oleh studi penyelesaian itu diperoleh. Demikian pula halnya di sini. Pengalaman para hakim yang dijadikan sandaran oleh Isay memang mujarab untuk membuktikan tidak tepatnya ajaran subsumsi yang lazim akan tetapi hal tiu tidak boleh mengakibatkan sifat memihak yang lain, seolah-olah di dalam unsur-unsur intuitif tidak sekaligus terdapat unsur-unsur intelektual yang kuat. Barang siapa memutus (mengadili) maka, ia tunduk kepada wibawa yang mempertanggungjawabkan dia. Wibawa itu harus ia kenal.   Dan di dalam setiap kasus keharusan untuk mempertimbangkan juga yang diketemukan secara intuitif tidak dengan dasar-dasar semu, melainkan dengan dasar-dasar yang dapat disandangnya, yang mempunyai wibawa dan yang diterima, memperlihatkan keterikatan kuat ke luar pada penemuan hukum.
522
   Akan tetapi keterikatan itu juga ke dalam (batiniah). Justeru karena keputusan itu adalah keputusan hati nurani, maka keputusan itu sepenuhnya bebas dari sewenang-wenangan. Barulah suatu keputusan itu dapat dipertanggungjawabkan, apabila hakim dapat bersaksi: saya tidak dapat (berbuat) lain. Orang akan balik bertanya: akan tetapi bagaimana ini dapat dipertahankan, sedangkan di dalam setiap acara mengenai kepentingan yang manapun juga untuk prinsip (pendirian) fihak yang lain dapat dikatakan satu atau lain hal, sedangkan juga terjadi, bahwa dalam ruang sidang majelis hakim diperdebatkan lama dan hangat, sedangkan hampir tidak ada keputusan yang berarti yang tidak dikritik dan diserang? Apakah tidak lebih justru pendirian dari mereka, yang berpendapat bahwa dalam banyak perkara hakim tidak memutus, melainkan harus menengahi?248
523
   Hendaknya orang membedakan. Ada menengahi dan menengahi. Jelas, bijaksanalah untuk menasihati fihak-fihak untuk kerukunan dengan jalan masing-masing mengorbankan sesuatu. Akan tetapi bukannya karena kerukunan ini hukum, melainkan karena perdamaian itu kadang-kadang adalah pagina-186sesuatu hal yang lebih tinggi daripada hukum dan demi penghematan waktu, uang dan penegasan urat syaraf perdamaian harus lebih diutamakan daripada pertentangan.249 Akan tetapi nilai dari perdamaian seperti itu terletak dalam penerimaan oleh fihak-fihak.
524
Nilai ini tidak ada sangkut-pautnya dengan keputusan-keputusan yang menengahi.
   Keputusan yang menengahi juga tidak terdapat dalam berbagai kejadian, yang dikutip di sini. Sudah barang tentu sangat mungkin terjadi bahwa dalam suatu acara yang rumit hakim berkesimpulan, bahwa pada beberapa segi A betul, dan pada beberapa segi yang lain B yang betul; mungkin juga bahwa ia menjatuhkan keputusan, yang tidak menyetujui pendirian A maupun pendirian B, melainkan yang di dalamnya dianut suatu pendapat antara (tussenmening). Bahkan mungkin, bahwa pendapat-antara itu sebagai penghalusan hukum adalah hukum baru. Demikianlah misalnya ajaran kompensasi hutang yang diakui dalam tahun-tahun 1910-1920; kesalahan dari si korban pada perbuatan melawan hukum tidak menghapus pertanggungjawaban dari si pembuat, kesalahan si korban ini juga tidak melangsungkan pertanggungjawaban ini tanpa batas, melainkan menguranginya.
525
Keputusan-keputusan seperti itu bukanlah keputusan-keputusan yang menengahi. Hakim memberikan keputusan yang menengahi apabila ia mengatakan: “untuk kedua belah fihak dikatakan sesuatu, saya tidak tahu siapa yang benar, jadi pertentangan anda saya pecahkan dengan jalan keduanya sebagian dinyatakan benar, sebagian tidak benar”. Saya tidak ragu- ragu untuk mengatakan bahwa ini bukan hukum (onrecht). Titik-tolak Hartzfeld: bahwa bagaimanapun dalam setiap ilmu terjadi, bahwa pria yang kepadanya diajukan suatu problema, menjawab: saya tidak tahu, itu memperlihatkan bahwa ia tidak menghargai sifat dari keputusan hakim; ini tidak bersifat penilaian ilmiah. Dari hakim diharapkan perbuatan. Ia harus berani memikul tanggung jawabnya: pada akhirnya saya katakan a atau b, dan tidak a dan b. Siapa yang tetap ragu-ragu dan tidak dapat mengambil tindakan untuk memutus, tidak pantas menjadi hakim.250
526
   Dan dengan ini saya kembali kepada pertanyaan-pertanyaan yang tadi dilontarkan: bagaimana mungkin, bahwa ada sekian banyaknya perselisihan faham dalam persoalan-persoalan hukum, namun keputusan hakimlah yang harus menjadi satu-satunya keputusan yang mengikat? Pada hemat saya, jawabnya terletak dalam pertanggungjawabannya. Keputusan bukanlah satu- pagina-187satunya yang mungkin dalam sistem hukum dan barangkali orang lain akan memutus lain, akan tetapi untuk' dia setiap penyelesaian yang lain tidak mungkin, karena keputusan itu adalah keputusan hati nurani. Akan tetapi keputusan hati nurani seperti itu hanya dapat dijatuhkan orang, bilamana orang sadar akan pertanggungjawabannya, bilamana hakim bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya. Di dalam perbedaan pertanggungjawaban itulah terletak perbedaan antara pengacara dan hakim.
527
Apabila orang dapat menerima keseluruhan uraian dalam bab ini, maka dapat dimengerti sekali, bahwa di dalam sekian banyak kejadian dapat dikatakan sesuatu terhadap pendirian dari kedua belah fihak: argumentasi dari kedua belah fihak mempunyai nilai, nilai relatif. Hukum mengakui nilai-nilai itu keduanya, akan tetapi pada akhirnya menanyakan keputusannya. Pertanggungjawaban pengacara adalah adalah pertanggungjawaban yang lain, yang kurang daripada pertanggungjawaban hakim. Ia tidak usah yakin bahwa dia akan mengucapkan sebagai hakim apa yang ia minta sebagai pengacara, meskipun secara psikologis dapat dimengerti, bahwa dia sambil mengerjakan suatu perkara meyakinkan dirinya sendiri, bahwa satu-satunya keputusan yang mungkin adalah keputusan yang menguntungkan dia. Sebaliknya hakim harus memutuskan—ia harus mendengar keduanya, akhirnya tugasnya adalah memilih.
528
Dari pengacara diminta pembuktiannya, dari hakim diminta perbuatannya. Dan perbuatan itu harus sebagai setiap perbuatan, yang lain daripada permainan,251 untuk dia pada saat ini merupakan perbuatan yang diperintahkan, yang satu-satunya yang mungkin. Seorang hakim yang jelek, atau lebih umum seorang sarjana hukum yang jelek adalah dia yang berkata: “Saya berpendapat. Dan setiap sarjana hukum, kalau dia menilai memberikan suatu keputusan yang ia ambil andaikata dia jadi hakim. Pilihannya adalah pilihan dalam kebebasan, tetapi justru karena itu kebebasan dalam keterikatan, lahiriah dan batiniah. Itu adalah kewajibannya. Tidaklah keliru, bahwa bukannya hakim yang cerdas atau terpelajar, melainkan hakim yang bijaksanalah yang didambakan. Bijaksanalah hakim yang tahu dan mampu berbuat, yang kenal dan dapat, yang membuat pengetahuannya tunduk pada perbuatannya.
529
   Akan tetapi tetap ada bantahan yang terakhir. Pada akhirnya dengan segala pembatasan-pembatasan bagaimanapun hati nurani hakim adalah batu pengkaji yang tertinggi. Suatu kepastian di atasnya tidak dapat anda sebutkan. Dan hati nurani dapat sesat. Apakah juga hakim dalam contoh Isay yang pagina-188keputusannya anda cap sebagai bukan hukum barangkali dalam hati nuraninya tidak yakin telah menetapkan hukum?
   Itu mungkin, saya tidak tahu. Dan pasti, sifat subyektifnya tetap ada. Akan tetapi janganlah orang beranggapan, bahwa pekerjaan intelektual mumi itu memberikan kepastian yang lebih besar. Yang satu dan yang lain adalah tetap pekerjaan manusia, itu tidak sempurna dan dapat. keliru. Orang-orang lain akan menilai lain daripada yang saya1akukan sebagai hakim, banyak dari apa yang diajukan sebagai keputusan tentang hukum, dan oleh dia yang memberikannya juga dianggap sebagai satu-satunya yang mungkin, ternyata tidak dapat bertahan. Akan tetapi lebih baik menerima yang tidak sempurna dan subyektif ini daripada mengamat-amati semu yang tidak tahan kritik. Ini tidak mengurangi keterikatan obyektif ari keputusannya bagi dia yang mengucapkannya.
530
   Dan selebihnya: juga saya percaya, bahwa hati nuraninya individual bukanlah yang menentukan di sini. Akan tetapi itu bukan lagi urusan dari ilmu hukum, setidak-tidaknya tidak masuk dalam rangka buku ini untuk menyelidiki252 apa yang di sini dapat memberikan arah. Pada hemat saya hanya ada dua kemungkinan: atau suatu gagasan, yaitu gagasan hukum salah satu bentuk pengejawantahan jiwa dunia, yang di sini dapat menjadi bintang penunjuk jalan, atau hati nurani tunduk kepada kekuasaan yang lebih tinggi, yang diwahyukan sebagai orang dalam Alam dan Sejarah yang menyambut individu dan masyarakat dengan tuntutan-tuntutannya yang tanpa syarat.
   Yang pertama adalah pikiran dari idealisme, yaitu dalam bentuk-bentuk panteistisnya Hegel; yang kedua adalah tuntutan kepercayaan Kristiani.

_______________
531

Bibliografie

Allen, Carleton Kemp. Law in the Making. Oxford: Clarendon Press, 1927.
Apeldoorn, L. J. van. Inleiding tot de studie van het nederlandse recht,. 12e ed. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1954.
———. Inleiding tot de studie van het nederlandse recht,1e druk. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1932.
———. De Synode en de predikantstraktementen: welke houding moeten de gemeenten aannemen tegenover het synodale reglement op de predikantstraktementen? : een advies. De strijd om het recht in de Nederlandsch Hervormde Kerk : eene rede. Arnhem: Gouda Quint, 1925.
Asser, Carel, Anne Anema, Jacob Houdijn Beekhuis, H. van Goudoever, Joseph Limburg, Eduard Maurits Meijers, Ludwig Elisa Hubert Rutten, and Paul Scholten. Mr C. Asser’s Handleiding Tot de Beoefening van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht. Zwolle, 1915.
Austin, John, Robert Campbell, and Sarah Austin. Lectures on Jurisprudence; or, The Philosophy of Positive Law. London: J. Murray, 1879.
Bacon, Francis, James Spedding, Robert Leslie Ellis, and Douglas Denon Heath. Collected Works of Francis Bacon. London: Routledge/Thoemmes, 1996.
Beaumanoir, Philippe de, and Amédée Salmon. Coutumes de Beauvaisis. Paris: Picard, 1970.
Bemmelen, P. van. Rechtsgeleerde Opstellen. Leiden: publisher not identified, 1891.
Beneditty, N. de, and Paul Scholten. Rechtsgeleerde opstellen van de hand van oud-leerlingen, aangeboden aan Prof. Mr. Paul Scholten ter gelegenheid van zijn 25-jarig hoogleeraarschap. Haarlem: De Erven F. Bohn, 1932.
Bergbohm, Karl. Jurisprudenz und Rechtsphilosophie: kritische Abhandlungen. Vol. 1. Leipzig: Duncker & Humblot, 1892.
Bierling, E. R. Juristische Prinzipienlehre. Freib., 1905.
Binder, Julius. Philosophie Des Rechts, 1925.
Binding, Karl. Die Normen und ihre Übertretung. Eine Untersuchung über die rechtmässige Handlung und die Arten des Delikts, 1872.
Blackstone, William, David Lemmings, and Wilfrid R Prest. Commentaries on the Laws of England. Book I, 2016.
Bregstein, Marie Henri. “Ongegronde vermogensvermeerdering.” Universiteit van Amsterdam, 1927.
Burckhardt, Walther. Die lücken des gesetzes und die gesetzesauslegung. Bern: Stämpfli & Cie., 1925.
———. Die Organisation der Rechtsgemeinschaft: Untersuchungen über die Eigenart des Privatsrechts, des Staatsrechts und des Völkerrechts. Zürich: Polygraphischer Verlag, 1971.
Buys, J. T. De Grondwet: toelichting en kritiek. Arnhem: publisher not identified, 1883.
Cleveringa, R.P. “De Zakelijke Werking Der Ontbindende Voorwaarde.” Leiden, 1919.
Dicey, Albert Venn. Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London: Macmillan, 1915. http://galenet.galegroup.com/servlet/MOML?af=RN&ae;=F153346495&srchtp;=a&ste;=14.
Duguit, Léon. Traité de droit constitutionnel: par Léon Duguit ... Paris? Fontemoing?, 1921.
Duynstee, W. J. A. J. Burgerlijk Recht En Zielzorg. Bussum: Brand, 1919.
Ehrlich, Eugen. Grundlegung der Soziologie des Rechts. Berlin: Duncker & Humblot, 1913.
Fenet, P. Antoine. Recueil complet des travaux préparatoires du Code Civil 1. 1. Osnabrück: Zeller, 1968.
Fockema Andreae, J.P. Tien jaren rechtspraak van den Hoogen Raad: bijdrage tot de leer der wetsuitlegging. Leiden: S.C. van Doesburgh, 1904.
Gény, François. Méthode d’interprétation et sources en droit privé positif: essai critique. Edited by Raymond Saleilles. Vol. I, 1919.
———. Science et technique en droit privé positif : nouvelle contribution à la critique de la méthode juridique. Vol. I. Paris: Receuil Sirey, 1912. https://www.worldcat.org/title/science-et-technique-en-droit-prive-positif-francois-geny/oclc/216510358&referer;=.
Gierke, Otto Friedrich von. Deutsches Privatrecht. Leipzig: Duncker & Humblot, 1895.
Goodhart, Arthur L. Essays in Jurisprudence and the Common Law,. Cambridge: England] The University Press, 1931.
Gray, John Chipman. Nature and Sources of the Law. (1906). Place of publication not identified: Quid Pro, Llc, 2015.
Gruijs, C. “De Strijd over de Historische Interpretatie.” Utrecht, 1933.
Haar, B. ter. De rechtspraak van de landraden naar ongeschreven recht. Weltevreden: Kolff & Co., 1930.
Hamaker, Hendrik Jacob, Cornelis Willem Star Busmann, and Willem Leonard Pieter Arnold Molengraaff. Verspreide Geschriften ... Verzameld Door Mr. W.L.P.A. Molengraaff En Mr. C.W. Star Busmann. Haarlem, 1911.
Hauriou, Maurice. Principes de droit public à l’usage des étudiants en licence (3e anée) et en doctorat es sciences politiques. Paris: Recueil Sirey, 1916.
Heck, Ph. “Gesetzesauslegung und Interessenjurisprudenz.” archciviprax Archiv für die civilistische Praxis 112, no. 1 (1914): 1–318.
Hedemann, J.W. Die Flucht in Der Generalklauseln: Eine Gefahr Für Recht Und Staat. Tübingen: Mohr, 1933.
Heller, Hermann. Die Souveränität: ein Beitrag zur Theorie des Staats- und Völkerrecht. Berlin: De Gruyter, 1927.
Hijmans, I. Henri. De tweesprong der rechtswetenschap. Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1933.
———. Het recht der werkelijkheid. Rede uitgesproken bij de aanvaarding van het hoogleeraarsambt aan de Universiteit van Amsterdam, op den 31sten October 1910. Haarlem: Erven Bohn, 1910.
Hoetink, H.R. “Rechtsregel En Rechtsbeslissing.” Indisch Tijdschrift van Het Recht 137 (1933): 600.
Hofmann, Ludwig Christoph. Het Nederlands Verbintenissenrecht: De Algemene Leer Der Verbintenissen. 3e ed. Groningen: J.B. Wolters, 1930.
Horvath, B. “Gerechtigkeit Und Wahrheit.” Revue Internationale de La Théorie Du Droit IV (1930 1929).
Houwing, Johannes Fredericus. Dwaling bij overeenkomsten: naar nederlandsch recht. Eerste gedeelte (Art. 1358 B. W.). S.C. van Doesburgh, 1888. ———. Rechtskundige opstellen. Haarlem: De Erven Bohn, 1921.
Huber, Eugen. “Recht und Rechtsverwirklichung: Probleme der Gesetzgebung und der Rechtsphilosophie.” 1925.
Isay, Hermann. Rechtsnorm und Entscheidung. Berlin, 1929.
Jellinek, Georg, and Walter Jellinek. Allgemeine Staatslehre, 2017.
Jhering, R. von. Civilrechtfälle Ohne Entscheidungen, Zu Akademischen Zwecken Herausgegeben. Rostock-Leipzig: Breitkopf und Härtel, 1847.
———.Geist Des Romischen Rechts Auf Den Verschiedenen Stufen Seiner Entwicklung, von Rudolf Jhering. Leipzig: Breitkopf und Hartel, 1858.
———. Jherings Jahrbucher fur die Dogmatik des burgerlichen Rechts. Jena: Verlag von Gustav Fischer, 1897.
Kahn, B.A. “„Conventions" of Politieke Stelregels.” Universiteit van Amsterdam, 1919.
Kan, J. van. Inleiding tot de rechtswetenschap. Haarlem, 1931.
Kanter, P.J. de. “Rechtsgronden en rechtsmiddelen.” [s.n.], 1928.
Kelsen, Hans. Die philosophischen Grundlagen der Naturrechtslehre und des Rechtspositivismus. Charlottenburg: R. Heise, 1928.
———. Hauptprobleme der Staatsrechtslehre. Tübingen: Mohr, 1911.
———. “Rechtswissenschaft und Recht: Erledigung eines Versuchs zur Überwindung der ‘Rechtsdogmatik.’” Zeitschrift für öffentliches Recht III (1922).
Kelsen, Hans, and Matthias Jestaedt. Allgemeine Staatslehre Studienausgabe der Originalausgabe 1925, 2019.
Kohnstamm, Philipp Abraham. Het waarheidsprobleem: grondleggende kritiek van het christelijk waarheidsbewustzijn. Haarlem: Tjeenk Willink, 1926.
Kosters, J. De Plaats van Gewoonte En Volksovertuiging in Het Privaatrecht. Arnhem, 1912.
Krabbe, H. De moderne staatsidee. Leiden: Nijhoff, 1915. http://books.google.com/books?id=bwowAQAAMAAJ.
———. Die lehre der rechtssouveränität. Beitrag zur staatslehre,. Groningen: J.B. Wolters, 1906.
Kranenburg, R. Positief recht en rechtsbewustzijn: inleiding in de rechtsphilosophie, 1928.
Lask, E. “Rechtsphilosophie.” In Die Philosophie im Beginn des zwanzigsten Jahrhunderts: Festschrift für Kuno Fischer unter Mitwirkung von O. Liebmann ... [et al.] ; herausgegeben von W. Windelband., edited by W Windelband. H
Laurent, François. Avant-projet de revision du code civil. Bruxelles: Typographie Bruylant-christophe & Compagnie, 1882.
Lebrun, Auguste. “La Coutume, ses sources, son autorité en droit privé: Contribution à l’étude des sources du droit positif à l’époque moderns.” Pichon et Durand-Auzias, 1932.
Leeuwen, H.J. van, and I. Henri Hijmans. Is het gewenscht hem, die door zijn niet onrechtmatig handelen gevaar voor schade doet ontstaan, aansprakelijk te stellen, indien de schade werkelijk intreedt? Zoo ja, welke beginselen behooren daarbij richtsnoer te zijn; moet de regeling zijn algemeen, of is het verkieslijk haar te beperken tot bepaalde onderwerpen? ’s-Gravenhage: Belinfante, 1913.
Locré, Jean-Guillaume. Legislation civile, commerciale et criminelle, ou Commentaire des codes francais. Vol. I. Bruxelles: Societe typographique Belge, 1837.
Loeff, J. A. “Publiekrecht tegenover privaatrecht. Proeve van theoretisch-kritisch onderzoek naar het karakter van het publieke recht ...” University of Leiden, 1887.
Merkel, Adolf. “Ueber das Verhältnis der Rechtsphilosophie zur Positiven Rechtswissenschaft.” Grünhut’s Zeitschrift I (1874).
Merkl, Adolf Julius. Die Lehre von der Rechtskraft, entwickelt aus dem Rechtsbegriff, eine rechtstheoretische Untersuchung von Dr. Adolf Merkl. Leipzig: F. Deuticke, 1923.
Mokre, Hans. Theorie des Gewohnheitsrechts. Wien: Springer, 1932.
Molengraaff, Willem Leonard Pieter Arnold. Leidraad Bij de Beoefening van Het Neferlandsche Handelsrecht. D. 1 D. 1. 5e ed. Haarlem: Bohn, 1923.
Mommsen, Theodor, Paul Krueger, and Alan Watson, eds. Corpus Iuris Civilis, Digesta. The Digest of Justinian Latin Text Edited by Theodor Mommsen with the Aid of Paul Krueger : English Translation Edited by Alan Watson. Many reprints. Philadelphia, Pa: University of Pennsylvania Press, 1985.
Montesquieu, Charles de, and Jeanne Holierhoek. Over de geest van de wetten. Amsterdam: Boom, 2006.
———. De l’esprit des lois. Edited by Laurent Versini. Vol. I and II. Paris: Gallimard, 1995.
Moor, Julius. “Das Logische Im Recht.” Revue Internationale de La Théiorie Du Droit II (August 1927): 185.
Oertmann, Paul. Rechtsordnung und Verkehrssitte insbesondere nach bürgerlichem Recht ; zugleich ein Beitrag zu den Lehren von der Auslegung der Rechtsgeschäfte und von der Revision. Leipzig: Deichert, 1914.
Opzoomer, Cornelis Willem. Aantekening op de wet, houdende algemeene bepalingen der wetgeving van het Koningrijk, 1857.
Perreau, Étienne, Ernest, Hippolyte. Technique de La Jurisprudence Pour La Transformation Du Droit Privé. Paris: Sirey, 1912. http://bibliotheque.bordeaux.fr/in/faces/details.xhtml?id=mgroup%3Ap+unimarcbu_720770.
Petit, Ch. J.J.M. “Overeenkomsten in Strijd Met de Goede Zeden.” Universiteit van Leiden, 1920.
Planiol, Marcel, Georges Ripert, and Jean Boulanger. Traité élémentaire de droit civil de Planiol Tome I. Paris: Pichon & Durand-Auzias, 1950.
Praag, L. van. Rechtspraak en voornaamste litteratuur betreffende de Wet houdende algemeene bepalingen, de afschaffingswet en de overgangswet van 1829. ’s-Gravenhage: Gebr. Belinfante, 1928.
———. Op de grenzen van publiek en privaat recht. ’s-Gravenhage: Belinfante, 1930.
———. Rechtspraak en voornaamste litteratuur ... op de rechterlijke organisatie en het beleid der justitie ...s-Gravenhage: Gebr. Belinfante, 1906. http://catalog.hathitrust.org/api/volumes/oclc/65164140.html.
Puchta, G.F. Das Gewohnheitsrecht. Erlangen: Palm’sche Verlagsbuchhandlung, 1828.
Regelsberger, Ferdinand. Pandekten. Bd. 1. pp. xviii. 717. Leipzig, 1893.
Reinach, Adolf. “Die a priorischen Grundlagen des bürgerlichen Rechts.” In Jahrbuch fur Philosophie und phanomenologische Forschung. Bd. 1, 1913. ———. Zur Phänomenologie des Rechts; die apriorischen Grundlagen der bürgerlichen Rechts. München: Kösel-Verlag, 1953.
Renard, Georges. La valeur de la loi: critique philosophique de la notion de loi, pourquoi et comment il faut obéir à la loi. Paris: Librairie du Recueil Sirey, 1928.
Rengers Hora Siccama, D.G. “Review in WPNR van Paul Scholten: Beginselen van Samenleving.” W.P.N.R 3306/7 (1933).
———. “Review in Themis van Paul Scholten: Beginselen van Samenleving.” Rechtsgeleerd Magazijn Themis, 1933, 328 vgl.
Röell, J, and J Oppenheim. Bijdrage tot regeling der administratieve rechtspraak. Haarlem: De Erven, 1899.
Rousseau, Jean-Jacques. Du Contrat social, ou Principes du droit politique, par J.-J. Rousseau. Paris: A. Hiard, 1836.
Sauer, Wilhelm. Grundlagen des Prozessrechts. Stuttgart: F. Enke, 1919.
Savigny, Friedrich Karl von. System des heutigen römischen Rechts. Edited by Otto Ludwig Heuser. Vol. I. Berlin Veit, 1840. http://archive.org/details/systemdesheutige01saviuoft.
Schapp, Wilhelm. Die neue Wissenschaft vom Recht. Berlin: W. Rothschild, 1930.
———., G. “Wijsgeerige En Juridische Rechtsbeschouwing.” Rechtsgeleerd Magazijn Themis, no. 1917, 1922.
Scholten, Paul. “2. Recht En Levensbeschouwing.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, I:120–61. Zwolle: Tjeenk Willink, 1949.
———. “6. Recht En Billijkheid.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, I:225–81. Tjeenk Willink, 1949.
———. “7. Recht En Moraal.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, I:282–95. Tjeenk Willink, 1949.
———. “8. Recht En Gerechtigheid.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, I:296–317. Tjeenk Willink, 1949.
———. “10. Beginselen van Samenleving.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, I:330–80. Zwolle: Tjeenk Willink, 1949.
———. “61. Spraakverwarring.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, III:90–93. Tjeenk Willink, 1951.
———. “66. Convenances Vainquent Loi.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten IV, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, III:196–212. Tjeenk Willink, 1954.
———. “75. Over Rechtspersonen I.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, III:298–323. Tjeenk Willink, 1951.
———. “76. Over Rechtspersonen II.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, III:323–43. Tjeenk Willink, 1951.
———. “81. Het Vermogen Der Commanditaire Vennootschap.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, III:390–401. Tjeenk Willink, 1951.
———. “112. Het Beding Ten Behoeve van Derden. Historische Interpretatie.” In Verzamelde Geschriften van Prof. Mr. Paul Scholten, edited by G.J. Scholten, Y Scholten, and M.H. Bregstein, IV:268–90. Tjeenk Willink, 1954.
———. Beschouwingen over recht. Haarlem: Bohn, 1924.
Somló, Felix. Juristische Grundlehre. Pp. ix. 556. Leipzig, 1917.
Stahl, Friedrich Julius. Die Philosophie des Rechts. Vol. I. Tübingen: Mohr, 1854.
Stammler, R. Theorie Der Rechtswissenschaft (Origineel 1911). BiblioLife, 2013. https://books.google.fr/books?id=t8SzngEACAAJ.
———. Die Lehre von dem richtigen rechte. Berlin : J. Guttentag, 1902. http://archive.org/details/dielehrevondemr00stamgoog.
Struycken, Antonius. Het staatsrecht van het Koninkrijk der Nederlanden: eerste deel. Arnhem: Gouda Quint, 1915.
Suárez, Francisco. Tractatus de Legibus Ac Deo Legislatore, Etc. Pp. 835. Antverpiæ, 1613.
Suijling, J.Ph. Inleiding tot het burgerlijk recht 1e stuk. Haarlem: De Erven F. Bohn, 1927.
———. Inleiding tot het burgerlijk recht 2e stuk. Haarlem: De Erven F. Bohn, 1934.
Taverne, Bernard Maria. De taak van den strafrechter. Zwolle: Tjeenk Willink, 1918.
Thiel, J.H. “De Goede Trouw van Derden En Haar Bescherming Tegenover de Handelingen van Partijen.” Universiteit van Amsterdam, 1903.
Thon, August. Rechtsnorm und subjectives Recht: Untersuchungen zur allgemeinen Rechtslehre. Weimar: H. Böhlau, 1878.
Tourtoulon, Pierre de. Les principes philosophiques de l’histoire du droit. Lausanne: Payot, 1919.
Tuhr, Andreas von. Der Allgemeine Teil des deutschen bürgerlichen Rechts. Vol. 1. Leipzig: Duncker und Humbolt, 1910.
Wijnveldt, J, and M.P. Vrij. Behoort in Het Wetboek van Strafrecht Een Algemeen Beginsel Te Worden Opgenomen, Waarbij de Strafbaarheid Wordt Uitgesloten Bij Gebreke van Schuld? Zoo Neen, Hoe Kan Dan Worden Tegemoet Gekomen Aan de Bezwaren van Het in Het Wetboek Ontbreken van Zulk Een Algemeen Beginsel? (1930, Pre-Advies). Handelingen NJV, 1930.
Windscheid, Bernhard, and Theodor Kipp. Lehrbuch des Pandektenrechts. Vol. 1. Frankfurt am Main: Rütten & Loening, 1906.
Wurzel, Karl Georg. Das Juristische Denken: studie. Wien: Perles, 1904.
Zevenbergen, W. Formeele encyclopaedie der rechtswetenschap als inleiding tot de rechtswetenschap. ’s-Gravenhage: Belinfante, 1925.
Zitelmann, Ernst. Irrtum und Rechtsgeschäft: eine psychologisch-juristische Untersuchung. Dillenburg: Verlag und Antiquariat Gruber, 2000.
______________

Catatan akhir


1Dikutip dar Renard, La valeur de la loi(1928), halaman 138.
2Fenet, Recueil complet des travaux préparatoires du CodeCivil I, 534.
3N.J. 1919, 161, W. 10365 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen.
4Pengantar (1919, cetakan ke-2, 1927. 5 No. 34).
5H.R. 9 Nov. 1906, W. 8543 dalam perkara Amsterdamse Bar Compagnie melawan Vogelzang.
6H.R. 2 Nov. 1922, N.J. 1923, 87, W. 10978 dalam perkara Van Boven melawan de Vrachtvaart.
7H.J. 1916, 450, W. 9949, dalam perkara de Hollandse Spoor melawan Morré.
8Lihat keputusan 15 Juni 1928, N.J. 1928, 1604, W. 11856, dalam perkara Carp's Garenfabrieken melawan de Belgische Filature.
9Hof Colmar, 2 Mei 1855, Dalloz, Recueil périodique 1856, 2. 9.
10Lihat Suyling, loc. cit. II No. 105.
11Organization der Rechtsgemeinschaft (1927) halaman 265 dan berikut, 275.
12Loc.cit., hal. 259.
13Mengenai hal ini silahkan membandingkan dengan Adolf Merkl, Die Lehre von der Rechtskraft (1923). Merkltergolong madzab Hans Kelsenyang pada waktu akhir-akhir ini menarik perhatian, yang di bawah ini akan diuraikan lebih lanjut. Orang dapat mengakui kebenaran dari ajaran “Stufenbau” dalam hukum, tingkatan-tingkatan norma hukum tanpa menerima ajaran Kelsenseluruhnya.
14Pendapat ini paling tajam kita jumpai pada Zitelmann, Irrtum und Rechtsgeschäft (1879).
15Bandingkan W. Zevenbergen, Encyclopaedie der Rechtswetenschap (1925) halaman 121.
16Die Normen (1872).
17Ini terjadi dalam karya A. Thon. Rechtsnorm und Subjectives Recht (1878). Banyak jumlah penulis yang mengikuti dia.
18Lihat karyanya yang berjudul Traité de droit constitutionnel I, cetakan kedua tahun 1921. Bandingkan pandangan saya W.P.H.R. 2802 dan berikut.
19Bandingkan Zevenbergen, loc. cit. halaman 276. Zevenbergen sendiri mengakui arti mandiri dari kewenangan dalam hukum. Selanjutnya Kelsen, Allgemeine Staatslehre(1925) § 12.
20Dalam hal diadakan uraian lebih luas juga akan diperlukan diferensiasi di sini. Dalam hukum janji di samping janji yang sesungguhnya dapat ditetapkan penguasaannya. Lihat W. Schapp, Die neue Wissenschaft vomRecht (1930).
21Loc. cit. halaman 9.
22Bandingkan Somlo, Juristische Grundlehre (1917) § 69; A. Reinach, Die apriorischen Grundlagen des bürgerlichen Rechts(1913) halaman 702. Lihat juga karangan saya Convenances vainquent loi, Verhandelingen Kon. Akademie van Wetenschappen Afd, Letterkunde, 1930.
23Menarik sekali, bagaimana dalam hukum dari zaman kita bentuk-bentuk baru menampakkan dirinya, dimana janji dan perintah dalam hubungan baru merupakan dasar dari hukum. Demikianlah halnya dalam hukum persekutuan, perjanjian kerja kolektif, reglemen kerja. Bandingkan mengenai hal itu Marius G. Levenbachdalam kumpulan karangan yang dipersembahkan oleh penulis (1932) halaman 301 dan berikutnya.
24Berlainan pendapat mengenai pembedaan antara hukum pemaksa dan hukum pelengkap, Van ApeldoornInleiding tot de studie van het Nederlands Recht(1933) halaman 94. Ia berpendapat bahwa hakim terikat dengan cara yang sama kepada peraturan hukum pelengkap seperti kepada peraturan hukum pemaksa. Dalam hukum pelengkap ia hanya melihat penataannya dan menyandarkan diri pada ps. 11 A.B.: Hakim tidak boleh menilai kelayakan undang-undang. Terhadap hal ini saya ingin mengemukakan, pertama-tama bahwa selalu meragukan untuk menyimpulkan sifat keterikatan kepada undang-undang dari undang-undangnya sendiri, akan tetapi di samping itu bahwa hakim tidak menilai keadilan undang-undang pelengkap daripada kebiasaan, juga tidak jika ia pada umumnya pada penemuan hukum menghargai kurang tinggi wibawa ketentuan pelengkap daripada wibawa ketentuan pemaksa. Lihat juga karangan saya Beschouwingen over Rechthalaman 179.
25I, 293.
26Peristiwa Vrouw Elske, H.R. 29 Mei 1896, W. 6817.
27Peristiwa sapi kota Rheden, H.R. 21 April 1898, W. 7116.
28Bandingkan L. van Praag, Op de grenzcn van publiek-en privaatrecht (Pada batas antara hukum publik dan hukum perdata), 1923.
29Het Burgerlijk Wetboek I, halaman 3. Juga demikian Ulpianus: Publicum jus est quod ad statum rei Romanae spectat, privatum quod ad singulorum utilitatem (D.I,1,2).Akan tetapi sangat meragukan, apakahstatus rei Romanae”tidak berarti konstitusi, jadi hukum tata negara yang sesungguhnya disini dilawankan dengan hukum perdata. Bandingkan juga Van ApeldoornInleidinghalaman 81 dan berikut.
30Bandingkan Burckhardt, loc. cit halaman 17 dan berikutnya.
31De augm. scient. VIII, 3 dikutip dari JellinekAllgemeine Staatslehre,halaman 385.
32De Grondwet (1884), II, 335 dan berikutnya.
33Bijdrage administratieve rechtspraak(Sumbangan peradilan administratif) 1899, 66 dan berikutnya. Untuk aliran ini khas sangat sefihak J.A. Loeff, Publiek en Privaatrecht, dis. 1887. Lihat juga rancangan-rancangan undang-undang mengenai peradilan administratif yang diajukan oleh penulis yang sama ini yang kemudian menjadi Menteri Kehakiman.
34Die Lehre der Rechtssouveränität1906, 31 dan berikutnya.
35Dalam cetakan ke-8, halaman 324 dan berikutnya, Catatan itu tetap penting, meskipun sekarang ada gejala-gejala perkembangan ke arah pendapat-pendapat kontinental.
36Dalam ulasannya untuk Kon. Academie van Wetenschappen, Afd. Letterkunde, 1894. Verspreide GeschriftenVII, 134.
37Hamaker tidak cukup memperhitungkan hal ini. Pada umumnya kesimpang-siuran mengenai hal ini untuk sebagian adalah akibat dari disatukannya banyak hal yang heterogen sebagai hukum publik. Saya berbeda pendapat dengan Hamaker, karena saya menganggap hukum publik adalah hukum (halaman 38 diatas) dan juga bahwa saya memberikan arti lain kepada undang-undang dalam hukum perdata.
38Lihatlah terutama pandangan-pandangan Meijersmengenai keputusan 20 ov. 1924, N.J.1925, 89 dalam W.P.W.R.2883, 4.
39Zevenbergen, loc. cit., halaman 310; Ph. Heck, Gesetzesauslegung und Interessenjurisprudenz(1914) halaman 23 dan berikutnya.
40People will not look forward to posterity who never look backward to their ancestors”. Kutipan ini saya angkat dari Houwing, Rechtskundige Opstellen1921, halaman 166.
41Dalam arti itu lihat Suyling, Inleiding, I no. 24.
42Mengenai hal ini terutama E. Lask, Rechtsphilosophiedalam Die Philosophie im Beginn des zwanzigsencn Jahrhunderts(Fischer Festgabe 1907, halaman 305).
43Bandingkan mengenai wibawa pada umumnya Ph. Kohnstamm, Het waarheidsprobleem1926, halaman 311.
44Avant-projet de revision du Code Civil(1882) I, blz. 183.
45Das Juristische Denken(1904), halaman 41.
46Bandingkan Wurzel, loc. cit., halaman 40.
47Aantekening op de Wet houdende Algemene Bepalingen1884, halaman 221.
48Lihat Hof Leeuwarden 21 April 1915,N.J.1915, 405, W. 9766.
49Loc. cit., halaman 222.
50D XXV,4,I,II.
51D I, 3, 17.
52Keputusan 26 Mei 1926, N.J. 1926, W. 11515 dalam perkara Van Oppen melawan Penerima pajak-pajak pewarisan di 's-Gravenhage.
53Tien jaren rechtspraak van de Hogen Raad, Leiden 1904, halaman 92.
54Heck, loc. cit., halaman 121 melawankan arti “normatif” dari kata-kata yang di sini ditolak terhadap arti “heuristisch” yang juga saya terima.
55Lihat formuleringnya pada Von Tuhr, Alg. Theil des bürg. Rechts (1910) I, halaman 38 “ An der unzweifelhaften grammatischen Bedeutung der Worte findet die Auslegungstätigkeit ihre unverrückbare Schranke.”
56Lihat buku penuntun ini V3(Anema) 225.
57Keputusan 22 Mei 1908, W. 8721; lihat buku penuntun ini I, 271.
58Mengenai materi dalam paragraf ini dan paragraf-paragraf berikutnya bandingkanlah juga C. Gruys, De strijd over de historische interpretatie, dis. Utrecht 1933.
59Bandingkan E.R. Bierling, Juristische PrinzipienlehreBd. IV (1911), halaman 275.
60Rechtsgronden en Rechtsmiddelen, Leiden 1928.
61Bandingkan mengenai persoalan ini Hof Amsterdam 8 Mei 1930, W. 12150 dan H.R. 27 Maret 1931, N.J. 1931, 701 W. 12311.
62Bandingkan J.P.Fockema Andreae, loc. Cit. halaman 138.
63Secara prinsipiel hal ini diingkari oleh Hijmans. Lihat pidato rektoralnya yang sangat khas: De tweesprong der rechtswetenschap, 1933. Ia hanya mengakui nilai pedagogik dari sistematik.
64Jurisprudenz und Rechtsphilosophie(1892).
65Keputusan 17 Juni 1909, W. 8947, lihat buku penuntim ini 18 halaman 623.
66H.R. 7 Juni 1929, dalam perkara Negara melawan. Buitenlandse Bankvereniging, N.J. 1929, 1285, W. 12009.
67Bandingkan juga Zevenbergen, loc. cit., halaman 318/9 dan yang dikutip disitu.
68Bandingkan tulisan-tulisan saya dalam W.P.N.R. tahun 1922, no. 2741 dan seterusnya.
69Lihat W.P.N.R. 2742, 3029.
70Lihat Geist des romischen RechtsBd. III (1858). Bandingkan juga Unsre Aufgabe (1857) dalam Jherings JahrbucherBd. I, juga dalam Gesammte AufsatzeBd. I.
71Lihat buku penuntun ini I6halaman 621.
72Halaman II7,56.
73Rechtskundige opstellen, halaman 132, buku penuntun ini (vanGoudoever), halaman III, 131.
74IV3, halaman 229.
75Buku penuntun ini V3, halaman 144.
76Verspreide GeschriftenII, halaman 72 dan seterusnya, buku penuntun ini 117, halaman 171.
77Lihat buku penuntu ini halaman II7, 6 dan seterusnya, halaman 425 dan seterusnya.
78Keputusan 19 Januari 1889, W. 5666 dan keputusan 25 Pebruari 1898, W. 7090.
79Lihat Sauer, Grundlagen des Prozessrechts (1919), halaman 58 dan seterusnya.
80Themis 1915, halaman 625, Inleiding II, halaman 298.
81Keputusan 4 Maret 1926 dalam perkara Wijnen melawan De Eerste Tilburgse Bontweverij, N.J.1926, 504, W. 11489 dan keputusan 11 Maret 1926 dalam perkara Van Duysen melawan De Eewal, N.J. 1926, 509, W. 11585.
82Handelingen Ned. Jur. Ver. 1913, prasaran-prasaran I.H. Hijmansdan H.J. van Leeuwen.
83Menarik perhatian, bahwa dalam peristiwanya sendiri, dimana H.R. menerapkan fiksi mengenai maksud fihak-fihak untuk memberlakukan ajaran tentang pemutusan sebagian, ketidak-sempumaan dari sarana bantuan sudah muncul. Lihat catatan saya dalam N.J., loc. cit.
84Les principes philosophiques de l’histoire du droit(1908-1919) halaman 440 dan seterusnya.
85Bandingkan Kohnstamm, Loc. cit., halaman 72 dan seterusnya.
86Rechtswissenschaft und Recht. Zeitschrift für offentl. Recht, III(1922), halaman 192 dan seterusnya. Bandingkan juga Julius Moor, Das Logische im Recht, Revue internationale de la théoriedu droit II(1927/8), halaman 185.
87Ini adalah pendapat dari “algemene rechtsleer”, yang terutama dipropagandakan oleh A. Merkel, Ueber das Verhältnis der Rechtsphilosophie zur Positiven Rechtswissenschaft, Grünhut's Zeitschrift Bb. I (1874) dan oleh banyak penganutnya.
88Bandingkan Stammler, Theorie der Rechtswissenschaft (1911) passim. Juga Somlo, Juristische Grundlehre(1917), terutama par. 5.
89Die apriorischen Grundlagen des bürgerlichen Rechts(1913), lihat halaman 840.
90Loc. cit., halaman 190 dan seterusnya.
91Telah dikutip di atas, halaman 98(block 218), lihat juga halaman 625. Selanjutnya saya anjurkan kepada setiap orang yang menghendaki pengetahuan lebih dalam mengenai persoalan-persoalan yang dibkarakan disini, untuk membaca bab mengenai “Le droit purdalam buku de Tourtoulonhalaman 480.
92Bandingkan W.P.N.R.2754 dan seterusnya dan 3052.
93Lihat kritik Binder, Philosophie des Rechts(1925), halaman 149 dan seterusnya. Bindertidak melihat, bahwa kritiknya terhadap daya kerjanya tidak mengubah asas, penunjukkan dari bentuk-bentuk dasar logisnya sendiri.
94Demikianlah TertullianusD.I, 3, 27. Bandingkan Geny, Science et technique en droit privé I(1914), No. 53, halaman 157.
95Lihat juga Van Goudoever dalam buku penuntun III ini, halaman 154 dan seterusnya.
96Janganlah orang menganggap, bahwa di sini ada pertentanjan dengan halaman 7 di mana dibuktikan bahwa mempertimbangkan kesalahan sendiri bukanlah penerapan sederhana pasal 1365 KUHPerd. Di dalam asas: di mana ada kesalahan, di situ ada kerugian, maka kesalahan adalah sikap yang tercela semata-mata, dalam ps. 1365, sebagai unsur kewajiban mengganti kerugian: kurang penghati-hati terhadap diri atau barang orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan kepada si pembuat.
97Dalam disertasinya, De goede trouw van derden en haar bescherming tegenover de handelingen van partijen (Amsterdam 1903).
98Lihat buku penuntun iniII7halaman 180 dan seterusnya.
99Bandingkan H. Heller, Die Souveränität (1927), halaman 49.
100Lihat Handelingen Ned. Jur. Vereniging 1930, prasaran-prasaran J. Wijnveldtdan M.P. Vrij.
101Lihat terutama pidato Vrijdi Jur. Ver., Handelingen II, halaman 46.
102Demikianlah Bergbohmyang dikutip diatas. Di negara kita bagian terbesar dari ilmu hukum dalam abad ke-19.
103Lihatlah Stammler, Die Lehre vom richtigen Recht (1902). Bandingkan G. Scholten, Wijsgerige en Juridesche Rechtsbeschouwing, R.M. 1917.
104Menurut faham-Katolik Roma tidak hanya asas-asas, melainkan bahkan peraturan-peraturan tidak berlaku jika itu bertentangan dengan hukum alam. Tidak “berlaku” ini tidak berarti, bahwa juga hakim Katolik Roma yang didalam dinas negara tidak boleh memperhitungkannya. Bandingkan Duynstee, Burgerlijk Recht en Zielszorg(1909), halaman 32.
105Bandingkan Recht en Levensbeschouwing(1915) saya, juga dalam Beschouwingen over Recht (1924).
106Bandingkan buku penuntun I ini, halaman 52.
107Demikianlah M. Mendels, Handelingen Jur. Ver. 1922 I, halaman 3 dan seterusnya, juga II, halaman 220.
108Bandingkan Savigny, System (1840, I halaman 292. Windscheid-Kipp, Lehrbuch des Pandektenrechts, cetakan ke-9 (1906), I, par. 22.
109Bandingkan Handelingen Ned. Jur. Vereniging 1922, prasaran-prasaran dari G. van Slooten Azn. dan M. Mendels. Contoh-contoh dari prasaran Van Slooten,halaman 10.
110Disini Van Kanmengatakan “keamanan hukum”; lihat Pengantamya halaman 194.
111Bandingkan Van Praag, Rechterlijke Organisatie(1925) II, halaman 587.
112H.R. 31 Des. 1920, N.J. 1921, 275, W. 10711.
113Lihat halaman 97 (block 234).
114Halaman 400.
115Keputusan 31 Mei 1919, N.J. 1919, 608, W. 10437.
116Lihat buku penuntun I ini, halaman 244.
117Lihat H.R. 7 Nov. 1930, N.J. 1931, 91, dengan catatan dan diskusi mengenai hal itu dalam N.J.B. 1931.
118Ini saya angkat dari de Tourtoulon, loc. cit., halaman 431. Ia tidak memberitahukan tempat penemuan usul Portalis.
119Die Lücken des Gesetzes und die Gesetzesauslegung (1925), halaman 85.
120Bandingkan B. Horvath, Gerechtigkeit und Wahrheit, Revue intemationale de la théorie du droit, IV(1929/1930), halaman 9.
121Bandingkan mengenai istilah-istilah ini Kelsen, Die philosophischenGrundlage der Naturrechtslehre und der Rechtspositivismus(1928), halaman 15/16. Horvath, loc. cit.
122Perbedaan itu betul diadakan oleh J.P. Fockema Andreae, loc. cit halaman 11. Ia melawankan interpretasi menurut asal dengan interpretasi menurut terjadinya undang-undang. Juga oleh P. van Bemmelen, Rechtsgeleerde opstellen(1891) I, halaman 6: interpretasi historis dan interpretasi legislatif. Mengenai interpretasi historis pada umumnya lihatlah disertasi akademik dari C. Gruys, Utrecht (1933).
123Contoh H.R. 12 Maret 1926, N.J. 1926, 777, W. 11488, dalam perkara Koolen melawan Kotapraja Gouda mengenai perikatan alami.
124Lihatlah diskusi dari penulis ini dengan L.C. Hofmann mengenai Bourjondan wibawanya untuk interpretasi ps. 1977 B.W. dalam W.P.N.R.2060 dan 2075.
125Lihat sesudah ini halaman 158(§20)dan seterusnya.
126Kesasatan pada perjanjian(1888).
127Halaman 148.
1281916 No. 2427 - 31.
129Amsterdam 1927.
130Locré, Législation civile I, 157.
131Lihat Penunut halaman II7,149 dan seterusnya.
132Prasaran untuk Broederschap van Candidaat-notarissen (1924).
133W.P.N.R.2452-6 (Tahun 1916 dan 1917).
134De zakelijke werking van de ontbindende voorwaarde (Jangkauan kebendaan dari syarat pemecah) disertasi akademik Leiden (1919).
135Ini tidak diakui oleh Geny, Méthode d'interprétation No. 99. Mengenai hal ini lebih banyak di bawah ini.
136Demildanlah OpzoomerWet Algemene Bepalingen (1884) halaman 151.
137Bandingkanlah definisi dari Stahl, Die Philosophie des Rechts113(1854) halaman 293. “Rechtsinstitute sind Komplexe von Tatsachen und tatsächlichen Beziehungen und ihren rechtlichen Normen, die sammtlich durch die Einheit der ihnen innewohnenden Bestimmung ein unauflösliches Ganzes bilden”. Juga Savigny, SystemI, §5. Dalam arti lain G. Renardmempergunakan pengertiannya, La théorie de l'Institution (1930) lihat halaman 26.
138Mengenai penunjukkan luas dari gejala-gejala sejenis di Prancis lihatlah pada E.H. Perreau, Technique de la jurisprudence en droit privé (1921) I, halaman 17 dan seterusnya.
139Locré I, 157.
140Kemp Allen, Law in the making(1927) halaman 118 dan seterusnya.
141Terlebih-lebih Openbaar Ministerie melakukannya.
142Keputusan Strooppot dari 29 Juni 1928, N.J. 1928, 1138, W. 11864.
143Bandingkanlah J.W. Hedemann, Die Flucht in die Generalklauseln(1933).
144Lihat halaman 13, 100 (block 46, 296) di atas.
145J.C. Gray, The nature and.the sources of law(1916) halaman 171.
146Méthode d'interprétation, cetakan kedua (1919) II n. 146 dan seterusnya; bandingkan juga n.194 dan scterusnya.
147Loc. cit. halaman 50, penulisan dengan huruf miring oleh Geny.
1483 Maret 1905, W. 8191 dalam perkara Blaauboer melawan Berlips dan melawan Van Aalst.
149Bandingkan L.C. Hofmann, De Algemene leer der verbintennissen, cetakan ketiga (1933), halaman 226 dan seterusnya.
150Bandingkan juga Van Apeldoorn, Inleiding halaman 76 dan seterusnya.
151Commentaries on the laws of EnglandI,69.
152Lihat Penuntun I ini halaman 295.
153Lihat Penuntun I ini halaman 243.
154Deutches Privatrecht I(1895) I halaman 179. Yang pertama adalah hukum sarjana hukum, yang kedua hukum rakyat.
155Penuntun I ini halaman 628.
156Kesimpulan pada H.R. 11 Desember 1914, NJ. 1915, 238, W. 9755 dalam perkara Koning melawan Wijsman dan Sigling. Dalam NJ. kesimpulan ini keliru disebut atas nama pokrul jendral Noyon. Menarik, bahwa juga kesimpulan Advokat Jendral Besierpada H.R. 10 Mei 1929, N.J. 1929, 1585, di mana ia menyatakan “secara pribadi sangat menyetujui sarana kasasi”, akan tetapi bagaimanapun berkesimpulan untuk menolaknya karena bertentangan dengan yurisprudensi tetap dari H.R. mengenai pasal 1223 B.W.
157Rb. Den Haag 27 Mei 1915, N.J. 1915, W.P.N.R.2374.
158Penuntun IIini, halaman 358.
159Bandingkan juga Van Apeldoornhalaman 76.
160Bandingkan E. Huber, Recht und Rechtsverwirklichung(1921) halaman 438 dst.
161Lihat halaman 115 (block 324) di atas.
16220 Januari 1921, N.J. 1921, 1084, W. 10681; contoh-contoh selanjutnya: Hof Den Haag 15 Maret 1910, W.8984; Hof Den Bosch 22 Januari 1901, W. 7555; Rb. Amsterdam 17 April 1925, N.J.1925, 861, W. 11391 dan sebagainya.
163Kesimpulan pada keputusan 5 April 1907, W. 8524.
164Kepustakaan yang lebih baru mengenai hukum kebiasaan: Aug. Lebrun, La coutume(1932), H. Mokre, Theorie des Gewohnheitsrechts(1921).
165Bandingkan perbedaan dalam hukum Inggris antara common law (yurisprudensi tradisi) dan custom.
166Lihat pidato saya mengenai Hukum dan Keadilan (1932) dan Asas-asas kehidupan bersama (1934), penyampaian ke IIe.
167Loc. cit. halaman 223 dan seterusnya teristimewa 233 dan seterusnya. Juga KELSEN: “Wie ein Rechtssatz, den dauernd nicht angewendet wird, aufhört Norm zu sein, wie eine langjährige Pflichtverletzung allmählich anfangt ihren Charakter zu verlieren, wie ein Sollen durch ein Sein verstört, oder aus einem Sein ein Sollen wird, das ist eine für die juristische Konstruktion nicht fassbare Tatsache, ist juristisch ein Mysterium”. Hauptprobleme der Staatslehre(1911) halaman 344.
168D.I. 3, 32, 1.
169Pandekten (1893) halaman 94.
170Das Gewohnheitsrecht(1828 dan 1837) I, 144. Mutatis mutandis dapat dikatakan hal yang sama dari kesadaran hukum Krabbe. Mengenai hal itu lihat di bawah ini§ 27. .
171Het Staatsrecht van het Koninkrijk der Nederlanden(1915) §39 db.
172kebanyakan”: dalam hal itu tidak benar. Lihat di bawah ini.
173Keputusan 5 Juni 1874, W. 3735.
174Keputusan 26 Juni 1908, W. 8729 dalam perkara Barzilai melawan Grossman.
175Keputusan 7 April 1932, N.J. 1932, 1613, W.12463 dalam perkara Kamps melawan Heilbron. Lihat catatan di bawah keputusan dalam N.J.
176Lihat kutipan-kutipan dalam Leidraad, cetakan ke-6, halaman 12, karya Molengraaff.
177Loc. cit.
178De plaats van gewoonte an rechtsovertuiging in het privaatrecht - (1912).-#- 179Handelingen Nederland Juristenvereniging 1916, I., halaman 188.-#-180Rechtskundige opstellen(1921) halaman 292.
181Lihat juga Beschouwingen over het rechthalaman 163 dan seterusnya.
182Keputusan 1908 yang dikutip pada halaman 141-142 di atas.
183Hof Amsterdam 5 Maret 1915, NJ. 1916 halaman 987, W.9868.
18419 April 1890, W. 5865.
185Lihat catatan dalam NJ. yang dikutip pada halaman 141-142(ftn. 175). Perbedaannya adalah akibat dari kecenderungan untuk mengembalikan kebiasaan kepada kehendak orang yang bersangkutan, yang pada janji yang lazim akan lebih mudah daripada pada kebiasaan yang sesungguhnya.
186Dalam arti itu Geny, Méthoden. 130 dan seterusnya, Kostersloc. cit. halaman 102.
187Genyn. 132.
188Lihat halaman 69(block 207)dan seterusnya di atas.
189Lihat halaman 26 (block 80) dan seterusnya.
190Coutumes de Beauvoisis. Dalam edisi Salmon n. 682, 683.
191Pendapat ini terutama diperoleh atas jasa Eugen Ehrlich(Soziologie des Rechts, 1913)—akan tetapi ia membuat kesalahan dengan menyamakan perbuatan ini dengan hukum, dengan demikian tidak mengakui baik arti undang-undang maupun sifat normatifnya, yang terletak dalam setiap hukum.
192Lectures of jurisprudence(1861-1863); tempatnya terdapat dalam cetakan ke-4 (1879) halaman 560.
193Theorie der Rechtsquellen(1929) halaman 425.
194Conventions” of politieke spelregels, disertasi akademik Amsterdam 1919.
195Kebalikan kita dengan Kahn kelihatan jelas dalam suatu perbandingan yang baik, yang disusun oleh penulis ini. Perkembangan hukum, katanya, adalah suatu jam yang jarum-jarumnya meluncur tidak secara tidak kelihatan, melainkan meloncat dari waktu ke waktu. Itu tidak saya akui: jarum-jarum itu meluncur, tetapi kita hanya dapat menunjukkan di mana jarum-jarum itu berada, jika jarum-jarum itu sudah mencapai angka menit.
196Hof Leeuwarden 12 Juni 1918, dalam perkara Hoven & Zoon melawan Sannes' Yerhandel, N.J.1918, 2104.
197Lihat kutipan kepustakaan dan keputusan-keputusan hakim pada Van Praag, Wet Algemene Bepalingen 1928, ad pasal 3, n. 6. Bandingkan juga par. 293 Deutsche Zivil Prozess Ordnung.
198Leidraad, cetakan ke-5, halaman 208.
199Van Apeldoorn, De synode en de predikantstractementen(1925) halaman 7 memberi daftar panjang.
200Di antaranya seorang ahli dari hukum gereja kita seperti Mr. Van. Apeldoorn.
2012 Januari 1846, W. 674.
202Seperti itu berlaku terhadap pembaruan hak-hak berburu yang lama oleh keputusan raja berdaulat pada tanggal 26 Maret 1814, suatu keputusan yang ditanggali pada suatu saat di mana Raja Berdaulatwenang untuk mengambil keputusan itu akan tetapi diundangkan dalam Staatsblad sesudah pengundangan Grondwet, yang menyebabkan kewenangan itu hapus. Mengenai hal itu lihat Kosters, Het oude jachtrecht(1910 halaman 102 db., terutama ucapannya: “Bahkan jika orang menyatakan tidak mengikatnya keputusan-keputusan pembaruan, di sini orang akan cenderung menerima adanya hukum kebiasaan yang, terjadi joleh yurisprudensi tetap dan praktek yang berlandaskan yurisprudensi tetap itu.
203Rechtbank Amsterdam 13 Maret 1907, W. 8567.
204Geny, Méthode I, n. 116 dan Suarez, De legibus ac Deo legislatore, Idb. cap. 1, n. 5, selanjutnya cap. 15.
205Ehrlich, loc. cit., halaman 90.
206Lihat halaman 91(block 262)di atas.
207Penuntun ini, II7, halaman 199.
208Méthode I, n. 129 dan n. 133.
209Rechtsordnung und Verkehrssitte(1914) halaman 349 db.
210De taak van de strafrechter(tugas hakim pidana) – 1918.
211Fockema Andreaemengenai hal ini setidak-tidaknya tidak mengatakan apa-apa dalam 'Tien jaar-nya, lihat halaman 54(block 165)di atas.
2123 Februari 1922, N.T. 1922, 388, W. 10864.
21318 Tuni 1926, N.J. 1922, 388, W. 11529 dalam perkara Altena melawan V.d. Horst; er Maret 1928, N.J. 1928, 730, W. 11837 dalam perkara Huidenmaatschappij melawan Disconto Bank.
214Lihat halaman 86(block 248) di atas.
215Lihat halaman 90 (block 260) di atas.
216Lihat Van der Heydendalam Rechtsgeleerd Magazijn1928, halaman 1 dan seterusnya.
217Peraturan “baru” juga di sini rumusan hakimdan juga dari rumusan ini berlaku apa yang kita lihat pada hukum kebiasaan.
218Bandingkan Windscheid, Lehrbuch des Pandektenrechts9te Auflage (Kipp,1906) par. 23 noot la; Geny, Méthode II, n. 159.
219Bandingkan catatan atas H.R. 11 Maret 1926, N.J. 1926 508, W. 11485.
22025 November 1926, N.J. 1928, 1006, W.11712.
221Lihat halaman 143 (block 329) di atas.
222Lihat par. §21di atas.
223Lihat halaman 135 (block 313,314) di atas.
224Lihat halaman 155(block 353)di atas.
225Dalam perkara Mr. Smalthout qq. melawan de Haan, 23 Mei 1924, N.J.1924, 817, W. 11292.
226Lihat halaman 16(block 46), 120(block 296), 143(block 329)di atas. Bandingkan juga Julius MoorDas Logische im Recht, Revue intemationale de la theorie du droit II, 193.
227Het recht der werkelijkheid/Hukum kenyataan (1910).
228Di sini lebih ditekankan pidato kedua dari Hijmanstentang persimpangan jalan dari ilmu hukum yang telah dikutip pada halaman 76(block 187).
229Het recht der werkelijkheid, halaman 17.
230Lihat tulisan saya Beschouwingen over recht, halaman 200 dan “Recht en MoraalHandelingen van de Vereniging voor Wijsbegeerte des Rechts)XIII (1927).
231Lihat di atas. Saya mengatakan “misalnya”, sebab hal itu juga berlaku untuk metoda interpretasi menurut bahasa atau tradisi, akan tetapi yang paling jelas pada analogi danpenghalusan hukum.
232Bandingkan tulisan saya Beschouwingen over rechthalaman 184 dst.
233Bandingkan A.L. Goodhart,Essays in jurisprudence and common law(1931) halaman 1. dst, terutama halaman 10 dan 19.
234De moderne Staatsidee(1915) halaman 42 dst.
235Positief recht en rechtsbewustzijn(hukum positif dan kesadaran hukum), cetakan ke-2 (1928) halaman 130.
236Bandingkan penilaian terhadap cetakan ke-2 dari buku yang dimaksud dalam W.P.N.R.3091/2 oleh G. Scholtendan dalam Ned. Juristenblad1928, halaman 761 dan 783, oleh J.H. Carp.
237bandingkan tulisan saya Recht en Moraaldalam Handelingen Vereniging voor Wijsbegeerte des Rechts(1927) halaman 15.
238Yurisprudensi Landraden menurut hukum tidak tetulis (1930) halaman 11.
239Ini tidak hanya soal kepentingan psikologis, seperti diutarakan oleh Hoetinkdalam pandangannya yang membangkitkan perhatian (Rechtsregel en rechtsbeslissing, Indisch Tijdschrift van het rechtEd. 137 (1933 halaman 600). Itu menyebabkan dikenalnya sifat keputusan hukum. Pemisahan tajam yang dibuat oleh Hoetink antara pandangan pedagogis-psikologis dan teoritis mengenai hukum menurut pendapat saya tidak ada.
240Principes de droit public, cetakan ke-2 (1916) halaman 274.
241Ingat kepada perundang-undangan minuman keras Amerika.
242Leiden 1920, halaman 47.
243Halaman 46.
2448 Juni 1923, N.J.1923, 1031, W. 11071 dalam perkara Kadt melawan Prins.
245Lihat halaman 10(block 32).246Lihat tulisan saya
(1914) juga dalam Beschouwingen over recht.
2471929, halaman 61.
248C.A.L. Hartzfelddengan sekuat tenaga memperjuangkan cara peradilan Idhat Rechsverfijning(1919), Handelingen Ned. Juristenvereniging 1916, prasaran-prasaran ari Loder dan G. Kirberger. Bandingkan juga tulisan saya Spraakverwarring. W.P.N.R.2632.
249Bandingkan pidato pembukaan dari Jhr. D.R. de Marees van Swinderenuntuk rapar Juristenvereniging 1931.
250Berlainan mengenai keputusan-keputusan menengahi dari Hymans, De tweesprong der rechtswetenschaphalaman 10.
251Bandingkan tulisan saya Beginselen van samenleving (1934), halaman 46. Berlainan Rengers Hora Siccamadalam kedua penilaiannya terhadap cetakan pertama dari karya ini dalam W.P.N.R.3306/7 dan Themis1933 halaman 328. dan seterusnya.
252Dasar yang lebih dalam dari yang dikatakan di sini saya coba untuk menunjukkannya dalam pidato rektoral saya Recht en geregtigheid(1932) dan dalam tulisan saya Beginselen van samenleving(1934).

Site owned by Huppes-Cluysenaer and developed by Woovar